Pendidikan Kaum Tertindas: Suatu Jalan Peradaban Akal

Pendidikan Kaum Tertindas merupakan sumber inspirasi yang penting bagi mereka yang ingin terlibat dalam gerakan perubahan sosial. Buku ini menawarkan perspektif, bahasa pemberdayaan, dan metode konkret untuk mewujudkan perubahan yang berkelanjutan.

Pendidikan Kaum Tertindas: Suatu Jalan Peradaban Akal
Pendidikan Kaum Tertindas: Suatu Jalan Peradaban Akal

Penulis buku Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire, merupakan seorang pendidik dan filsuf asal Brasil yang mengangkat isu identitas budaya dan perjuangan untuk merdeka dari kolonialisme Portugis. Dalam masa kecilnya, Freire tumbuh dalam keluarga kelas menengah yang terdampak krisis ekonomi nasional, hingga mengalami kelaparan. Berangkat dari pengalaman pribadi tersebut, ia bercita-cita menghapus kelaparan di Brasil melalui pendidikan. Freire menolak sistem masyarakat berbasis kelas (Freire, 2000), dan memiliki keyakinan bahwa kaum tertindas mampu mengubah komunitasnya sendiri secara mandiri.

Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1970, sebagai pendekatan metodologis sekaligus bahasa pemberdayaan, yang tidak hanya mengadvokasi perubahan sosial, tetapi juga mendorong kemandirian kaum tertindas serta mereka yang berpihak kepada mereka. Freire menekankan bahwa meskipun kaum tertindas terlihat “bodoh”, mereka memiliki kapasitas untuk melihat dunia secara kritis. Sebagai contoh, meskipun di tingkat akar rumput banyak yang buta huruf, mereka tetap memiliki kearifan lokal dan keterampilan hidup yang tinggi.

Lebih lanjut, buku Pendidikan Kaum Tertindas menyajikan perangkat kritis untuk merefleksikan serta memahami hubungan antara kaum penindas dan kaum tertindas. Maka dari itu, pedagogi kaum tertindas dijelaskan sebagai “instrumen untuk penemuan kritis mereka bahwa baik mereka maupun penindasnya adalah manifestasi dari dehumanisasi” (Freire, 2000, hlm. 48).

Bagi siapa pun yang tertarik pada hubungan antara pendidikan dan perubahan sosial, buku ini menjadi bacaan penting. Seperti yang dikatakan Aronowitz, “Freire tetap menjadi penulis paling penting dalam pendidikan populer dan tentunya pendiri virtual dari perspektif yang dikenal sebagai Pedagogi Kritis” (Aronowitz, 2012).

Secara keseluruhan, Pendidikan Kaum Tertindas terdiri dari empat bab utama:

  1. Bab pertama membahas konsep pedagogi kaum tertindas dan kontradiksi antara kaum penindas dan tertindas.
  2. Bab kedua menyoroti pendidikan model “perbankan” sebagai alat penindasan.
  3. Bab ketiga berfokus pada pentingnya dialog.
  4. Bab keempat mengulas pendekatan antidialogis dan dialogis dalam teori tindakan budaya.

Dalam buku ini, terdapat tiga gagasan utama yang diangkat oleh Paulo Freire, yakni kaum tertindas sebagai pelaku pembebasan, model pendidikan sebagai praksis pembebasan, dan peran dialogis dalam mewujudkan perubahan sosial.

Kaum Tertindas sebagai Pelaku Pembebasan

Freire berpendapat bahwa kaum tertindas memiliki kapasitas untuk membebaskan diri mereka sendiri dan sekaligus membebaskan para penindas. Buku ini ditulis sebagai panduan metodologis untuk memberdayakan kaum tertindas dan membangkitkan kesadaran mereka agar memperjuangkan kebebasan secara mandiri. Ia menyatakan bahwa:

“Tugas kaum tertindas: untuk membebaskan diri mereka sendiri dan para penindas mereka juga, … Hanya kekuatan yang muncul dari kelemahan kaum tertindas yang cukup kuat untuk membebaskan keduanya” (Freire, 2000, hlm. 44).

Dalam hal ini, Freire menekankan bahwa kebebasan harus diperjuangkan dan bukan diperoleh sebagai hadiah. Oleh karena itu, tanggung jawab utama berada di tangan kaum tertindas, bukan pada penindas.

Freire juga menyampaikan bahwa kaum penindas tidak memiliki kapasitas untuk memahami realitas penindasan, karena mereka tidak mengalaminya. Hanya kaum tertindas yang merasakan dan memahami penindasan secara mendalam dan mampu menilai pentingnya kebebasan dan kemanusiaan sejati.

Model Pendidikan sebagai Praksis Pembebasan

Freire mengkritik model pendidikan konvensional yang disebut sebagai sistem “perbankan”, di mana siswa dianggap pasif dan hanya menerima informasi dari guru. Model ini menganggap siswa sebagai “wadah kosong” yang perlu diisi oleh pengetahuan dari guru yang merasa dirinya lebih tahu.

Freire menyatakan:
“Guru menampilkan dirinya kepada siswanya sebagai hubungan yang berkebalikan; dengan menganggap ketidaktahuan mereka mutlak, dia membenarkan keberadaannya sendiri.” (Freire, 2000, hlm.72).
Contohnya, guru mengajar dan siswa belajar; guru mengetahui segala sesuatu dan siswa tidak mengetahui apapun; guru berbicara dan siswa hanya mendengarkan (Freire, 2000).
Model ini melanggengkan ketimpangan kekuasaan dan hanya melayani kepentingan penindas, yang tidak ingin dunia berubah (Freire, 2000).

Sebagai alternatif, Freire memperkenalkan pendidikan pembebasan, yaitu model pendidikan yang mengandalkan refleksi kritis dan aksi nyata (praksis). Praksis dijelaskan sebagai “refleksi dan tindakan yang diarahkan pada struktur yang akan diubah” (Freire, 2000, hlm.126), yakni kombinasi antara teori dan praktik.

Pendidikan pembebasan mendorong persepsi, pemahaman, dan kesadaran siswa. Oleh karena itu, kata Freire, “praktik pendidikan hadap-masalah sejak awal mensyaratkan agar kontradiksi guru-siswa harus diselesaikan” (Freire, 2000, hlm. 80).

Peran Dialogis dalam Mewujudkan Perubahan Sosial

Freire juga menekankan pentingnya dialog sebagai jalan untuk perubahan sosial yang berkelanjutan. Menurutnya, manusia diciptakan bukan untuk berdiam diri, melainkan untuk mengungkapkan pikiran dan bertindak. Dialog yang sejati dilandasi oleh cinta, harapan, iman, dan kerendahan hati.

Tanpa elemen-elemen tersebut, dialog tidak akan menghasilkan kepercayaan yang menjadi landasan untuk pertukaran ide yang otentik. Dalam dialog sejati, pemikiran kritis menjadi kunci. Proses dialogis merupakan langkah awal menuju transformasi sosial.

Dalam konteks ini, Freire mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif harus bersifat partisipatif dan penuh kasih. Kepemimpinan tersebut membantu menciptakan kesadaran kritis, karena hanya dengan kesadaran itulah masyarakat dapat memahami bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam proses transformasi sosial.

Freire menyarankan agar kaum tertindas percaya pada kemampuan mereka untuk melakukan perubahan. Ia juga mendorong adanya ruang untuk berdialog agar solusi atas permasalahan sosial dapat ditemukan bersama.
Seperti yang ditegaskan Freire:
“Sangatlah penting bahwa kaum tertindas berpartisipasi dalam proses revolusioner dengan kesadaran yang semakin kritis akan peran mereka sebagai Subyek transformasi” (Freire, 2000, hlm.127).

Perubahan Otentik Berkelanjutan

Pendidikan Kaum Tertindas memiliki sejumlah keunggulan. Pandangan Freire yang humanis mencerminkan harapan terhadap relasi antara kaum penindas dan tertindas, yakni relasi yang dilandasi penghargaan terhadap martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Freire juga menawarkan paradigma pendidikan baru yang menuntun siswa (atau kaum tertindas) untuk memahami dunia secara kritis. Perspektif Freire sangat optimis, dengan menekankan harapan, keyakinan, dan cinta sebagai kekuatan pendorong agar setiap individu bisa aktif dalam proses pengambilan keputusan menuju perubahan yang berkelanjutan. Ide-ide tersebut sangat berguna bagi kaum tertindas dan mereka yang bergerak di bidang advokasi sosial, seperti kader PMKRI, dalam membangun perubahan sosial yang bermakna.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa sebagian besar ide Freire menantang struktur kekuasaan yang ada. Ia mengkritik upaya bantuan yang bersifat karitatif dari kaum penindas yang menurutnya bukanlah solusi permanen. Perubahan sejati hanya bisa dicapai melalui proses humanisasi, yakni pemberdayaan, penciptaan kesadaran kritis, penyadaran, kepemimpinan partisipatif, dan kolaborasi aktif. Sayangnya, gagasan-gagasan ini tidak mudah diimplementasikan dalam realitas sosial yang kompleks.

Setelah membaca buku ini, kita akan menyadari bahwa perubahan sejati berawal dari inisiatif kaum tertindas itu sendiri. Perspektif ini relevan tidak hanya bagi individu, tetapi juga untuk organisasi seperti PMKRI, masyarakat sipil, hingga institusi pemerintahan yang bekerja langsung dengan komunitas akar rumput.

Pembaca akan terdorong untuk menghadirkan perspektif baru dalam menghadapi masalah sosial. Walau perubahan tidak bisa dicapai dalam waktu singkat, buku ini mengingatkan kita bahwa dunia penuh dinamika dan tantangan. Oleh karena itu, semangat dan visi perubahan harus terus dipelihara.

Pendidikan Kaum Tertindas merupakan sumber inspirasi yang penting bagi mereka yang ingin terlibat dalam gerakan perubahan sosial. Buku ini menawarkan perspektif, bahasa pemberdayaan, dan metode konkret untuk mewujudkan perubahan yang berkelanjutan.

Paulo Freire secara khusus mengajak kaum tertindas untuk bangkit dan mengambil tindakan pembebasan. Di saat yang sama, ia juga menyerukan kepada para pemimpin dan penindas untuk membuka ruang dialog dan partisipasi yang bermakna bersama masyarakat akar rumput.

Buku ini adalah pedoman metodologis yang berharga bagi siapa saja yang ingin menciptakan perubahan otentik dan berkelanjutan di tengah masyarakat.

Editor: Farhan Azizi

Tinggalkan Balasan