ADVERTISEMENT

Peristiwa Bom Atom Hiroshima 6 Agustus 1945

Bayangkan pagi yang tenang di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, ketika penduduknya sedang memulai hari sebagaimana biasa. Tiba-tiba pada pukul 08.15 pagi, sebuah pesawat pembom AS mendaratkan bom uranium “Little Boy” tepat di atas kota itu. Ledakan dahsyatnya segera menghancurkan pusat kota Hiroshima. Sekitar 70.000–80.000 orang tewas seketika dalam ledakan itu; laporan lain menyebut total korban tewas bisa mencapai 90.000–136.000 orang, termasuk mereka yang meninggal belakangan akibat luka parah. Sebagian besar kota luluh lantak, hanya sedikit struktur baja-beton yang bertahan, dan kehancuran itu langsung mengubah Hiroshima menjadi puing-puing.

Hiroshima sendiri sebelum bom bukanlah kota kecil. Saat itu kota ini menjadi pusat kegiatan militer dan logistik Jepang. Markas Angkatan Darat Umum Kedua Jepang dan ratusan ribu personel militer berpangkalan di dekat Hiroshima. Ada gudang senjata, pabrik persenjataan, serta pusat komunikasi penting di sana. Namun sekalipun fungsi strategisnya besar, penduduk Hiroshima pada umumnya adalah warga sipil biasa yang bekerja di industri ringan dan tempat tinggalnya sebagian besar terbuat dari kayu. Bom atom menghantam di antara pemukiman penduduk, sehingga korban yang jatuh hampir seluruhnya adalah warga sipil.

Peristiwa pengeboman Hiroshima berlangsung di tengah Perang Dunia II yang berkecamuk di Pasifik. Sejak 1941 Jepang dan Amerika Serikat terlibat perang sengit yang merenggut jutaan nyawa. Seiring kekalahan Jerman pada Mei 1945 dan berakhirnya perang di Eropa, Sekutu mengalihkan semua sumber daya untuk mengalahkan Jepang. Amerika bahkan sudah menyiapkan invasi darat ke kepulauan Jepang, yang diperkirakan akan menelan korban ratusan ribu prajurit AS jika terus berlanjut.

Di saat bersamaan, AS telah sukses mengembangkan senjata nuklir lewat Proyek Manhattan, dan dua bom siap pakai tersedia pada musim panas 1945. Pada Juli 1945 Sekutu (AS, Inggris, dan China) mengeluarkan Ultimatum Potsdam yang menuntut Jepang menyerah tanpa syarat. Mereka menegaskan bahwa jika Jepang tidak menyerah, dunia akan menyaksikan kehancuran total. Jepang tetap bersikukuh menolak tuntutan itu, sehingga ketegangan mencapai puncaknya pada awal Agustus 1945.

Bombardir atom dijatuhkan dengan berbagai pertimbangan. Pihak Sekutu berargumen bahwa pengeboman Hiroshima dan kota-kota lainnya dapat memaksa Jepang menyerah tanpa perlu invasi darat. Dengan mengincar kota-kota yang menjadi pusat militer dan industri Jepang, Sekutu berharap perang bisa diakhiri lebih cepat sehingga tidak banyak korban tambahan berjatuhan. Kota Hiroshima sendiri dipilih karena fungsi strategisnya sebagai basis persenjataan dan pusat logistik militer Jepang.

Ketika ultimatum tidak diindahkan, AS melancarkan serangan nuklir pertama. Pada pagi 6 Agustus 1945, bom atom “Little Boy” dijatuhkan di Hiroshima oleh pesawat B-29 Enola Gay. Ledakan dahsyatnya segera menghancurkan sebagian besar kota tersebut. Menurut laporan Tirto, puluhan ribu warga tewas seketika akibat ledakan, dan total kematian mencapai sekitar 146.000 orang dalam tiga bulan berikutnya. Pemboman Hiroshima ini diikuti tiga hari kemudian oleh pengeboman Nagasaki dengan bom plutonium “Fat Man”. Pada akhirnya, pada 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Akibat bom Hiroshima sungguh luar biasa. Saat bom meledak, penduduk Hiroshima diperkirakan berjumlah sekitar 340.000 orang. Ledakan membunuh sekitar 70.000–80.000 di antaranya seketika, sebelum 3 bulan bahkan sekitar 146.000 orang dilaporkan tewas. Mayoritas korban adalah warga sipil; hampir 90% korban berasal dari kalangan non-militer. Kebanyakan jenazah bahkan hilang tanpa jejak di pusat ledakan karena panas ekstrem menguapkan banyak korban.

Ledakan sinar panas dan gelombang kejut itu juga memicu kebakaran hebat. Mayoritas bangunan di Hiroshima terbuat dari kayu dan tanah liat yang mudah terbakar. Sehingga tak heran jika kobaran api melahap pusat kota hanya dalam hitungan menit setelah bom meledak. Hanya sedikit struktur beton yang masih berdiri. Sisa bangunan paling terkenal adalah Genbaku Dome (bekas Hiroshima Prefectural Industrial Promotion Hall), yang sekarang dibiarkan utuh sebagai simbol pengingat. Sekarang Genbaku Dome tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, menggambarkan kehancuran bom atom sekaligus harapan perdamaian dunia. Selama berbulan-bulan setelah ledakan, para penyintas yang terluka parah dan terpapar radiasi terus meninggal dunia karena komplikasi luka bakar dan keracunan radioaktif. Kejadiannya benar-benar membuat kota Hiroshima kehilangan separuh populasinya dalam waktu singkat.

Tragedi Hiroshima meninggalkan jejak yang sangat panjang. Ribuan orang yang selamat dari ledakan — yang disebut hibakusha — menanggung penderitaan akibat radiasi nuklir seumur hidup. Banyak di antara mereka kemudian menderita kanker, leukemia, dan penyakit serius lainnya yang dipicu oleh paparan radiasi bom. Laporan pasca-perang mencatat pula dampak pada bayi dalam kandungan: angka kelahiran bayi dengan ukuran kepala kecil (mikrosefali) meningkat di antara wanita hamil saat itu. Bahkan efek genetik radiasi tercatat menurunkan kualitas kesehatan pada generasi berikutnya.

Selain efek fisik, para hibakusha juga menghadapi beban sosial. Mereka sempat mengalami diskriminasi karena kekhawatiran masyarakat awam bahwa penderitaan dan cacat akibat radiasi bisa menurun ke keturunannya. Banyak penyintas yang ditakuti atau dijauhi orang lain meskipun secara fisik mereka masih sehat. Perlahan, stigma sosial ini makin berkurang seiring bertambahnya pemahaman medis, tetapi trauma psikologis dan emosi tetap membekas. Hingga kini kata “hibakusha” mengingatkan dunia akan korban yang tak terhitung, baik yang langsung maupun yang terus menderita setelahnya.

Dari sudut pandang geopolitik, pemboman Hiroshima juga membayangi dunia selama Perang Dingin. Ancaman penggunaan senjata nuklir menjadi momok yang mendominasi hubungan AS-Uni Soviet dan negara-negara adidaya lain pascaperang. Tragedi Hiroshima membuat semua negara menyadari konsekuensi horor dari ledakan nuklir, sehingga selanjutnya pemanfaatan senjata semacam itu dihindari hingga saat ini.

Di Jepang, peristiwa 6 Agustus 1945 selalu diabadikan dengan upacara peringatan perdamaian. Sejak 1947, setiap tanggal 6 Agustus pukul 08.15 pagi (waktu ledakan) di Hiroshima dilaksanakan tabuh bel perdamaian dan hening cipta. Upacara ini digelar di Hiroshima Peace Memorial Park, di hadapan monumen peringatan bagi para korban. Para pejabat tinggi (termasuk perdana menteri Jepang) dan keluarga korban berkumpul untuk mendengarkan nama-nama korban, berdoa, dan mendengarkan pidato harapan damai. Pada pukul 08.15 semua orang mengheningkan cipta, menandai detik-detik saat bom atom meledak. Dalam sambutannya wali kota Hiroshima dan tamu seraya menyampaikan pesan agar umat manusia belajar dari kesalahan masa lalu dan berkomitmen pada perdamaian.

Setiap tahun, taman peringatan di Hiroshima itu penuh dengan simbol perdamaian. Tugu Genbaku Dome yang tersisa di pusat kota ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia – menjadi saksi bisu kehancuran nuklir sekaligus lambang harapan agar senjata nuklir dihapuskan. Di area yang sama didirikan Museum Peringatan Perdamaian Hiroshima, yang memajang foto korban dan artefak peristiwa tersebut agar generasi mendatang memahami betapa dahsyatnya kekuatan bom atom. Suasana peringatan tersebut jauh dari nuansa politis; lebih banyak pesan harapan dan damai, mulai dari burung bangau kertas hingga makna bel perdamaian. Masyarakat Hiroshima bahkan memiliki tradisi suisou (mengapungkan lentera): pada malam 6 Agustus, lentera kertas dinyalakan dan diletakkan di Sungai Motoyasu sebagai doa untuk para arwah dan simbol harapan kedamaian. Semua elemen ini menunjukkan bahwa upaya mengenang bom atom Hiroshima lebih diwarnai harapan dan refleksi ketimbang kebencian.

Secara global, nama Hiroshima menjadi simbol peringatan dunia tentang bahaya nuklir. Penyintas Hiroshima yang tetap hidup banyak menjadi advokat anti-nuklir. Misalnya, Setsuko Thurlow – seorang gadis berusia 13 tahun saat ledakan – tumbuh menjadi tokoh penting Kampanye Internasional untuk Menghapus Senjata Nuklir (ICAN), yang memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian 2017. Kisah Thurlow dan aktivis hibakusha lain sering dikutip untuk menyuarakan pesan perdamaian. Jepang sendiri menegaskan sikapnya pascaperang: konstitusi damai (tahun 1946) melarang berperang, dan sejak 1967 Jepang menjalankan “tiga prinsip non-nuklir” (tidak memproduksi, tidak membawa, dan tidak memperkenankan senjata nuklir). Ini semua merupakan warisan langsung dari pengalaman kelam Hiroshima.

Peristiwa Hiroshima juga terus menjadi bahan refleksi dan perdebatan global. Sebagian orang berargumen bahwa serangan itu mempercepat berakhirnya perang, sehingga jumlah korban yang lebih besar di kedua pihak berhasil diminimalkan. Namun yang lain menilai bahwa penggunaan senjata nuklir terhadap kota yang padat penduduk sipil pada dasarnya tidak etis dan dapat dianggap sebagai kejahatan perang. Pandangan-pendapat yang bertentangan ini menunjukkan betapa kompleksnya warisan Hiroshima. Yang pasti, hingga sekarang Jepang dan dunia mengenang 6 Agustus bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk meneguhkan tekad bahwa “peristiwa memilukan itu memang pernah terjadi” dan tak boleh diulangi.

Dalam rangkaian peringatan itu tersimpul satu pesan utama: Hiroshima adalah pengingat pentingnya perdamaian. Monumen seperti Genbaku Dome menggambarkan kekuatan destruktif terhebat yang pernah diciptakan manusia sekaligus harapan akan penghapusan senjata nuklir di masa depan. Setiap tahunnya, dengan hati hening para penyintas, warga lokal, dan pengunjung internasional belajar untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu dan berdoa demi perdamaian dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *