Tan Malaka di Era Media Sosial: Andai Ia Masih Hidup

Tan Malaka dikenal sebagai salah satu pemikir politik paling gigih dan tanpa kompromi di masa pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir pada 2 Juni 1897 di Sumatra Barat dan hidup dalam masa kolonialisme Belanda hingga proklamasi kemerdekaan. Semasa hidupnya, Tan Malaka menulis banyak buku dan artikel tentang sosialisme, nasionalisme, serta perjuangan rakyat kecil. Ia sering bergerak di garis keras, menekankan pentingnya ideologi dan teori dalam politik. Jika ia masih hidup di era digital kini, rasanya ia tidak akan menyia-nyiakan segala platform media sosial yang ada untuk menyebarkan pemikirannya. Media sosial, dari blog hingga video singkat di YouTube atau TikTok, bisa menjadi ‘kuburan’ ideologis atau ladang subur gagasan, tergantung cara digunakan. Menurut saya, Tan Malaka pasti akan masuk sebagai konten kreator yang produktif dan kritis, meskipun bentuk karyanya berbeda dengan konten-konten komersial yang sering kita lihat sekarang.
Tan Malaka adalah sosok yang sangat menaruh perhatian terhadap sejarah dan konteks sosialnya. Misalnya, dalam buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang ditulisnya tahun 1943, ia berupaya menggabungkan filsafat Barat dengan kearifan lokal Nusantara untuk membentuk cara berpikir revolusioner bangsa Indonesia. Kesadaran sejarah ini menunjukkan bahwa jika hidup kini, Tan Malaka mungkin akan membuat konten-konten edukatif tentang sejarah Indonesia. Ia bisa menyiarkan ulang narasi masa lalu melalui video dokumenter pendek atau tulisan di platform digital, menjelaskan bagaimana kolonialisme dan perjuangan bangsanya relevan dengan situasi sekarang. Konten semacam itu dapat mengajak generasi muda mengingat akar perjuangan, misalnya dengan membandingkan kondisi era 1940-an dengan realitas media sosial hari ini. Komentar kecerdasannya tentang sejarah dan politik masa lalu akan mengalir dalam bahasa yang lugas dan populer, tapi tetap memegang kaidah EYD sehingga enak dibaca khalayak luas.
Sebagai pemikir politik dan filsuf, Tan Malaka pasti akan mengaitkan konten kreatornya dengan ideologi yang ia pegang. Pada masa lalu Tan Malaka dikenal sebagai komunis nasionalis, yang artinya ia paham betul bahwa perjuangan kemerdekaan harus disertai pemahaman ekonomi-politik. Ia menggabungkan konsep Marxisme dengan keinginan mewujudkan negara merdeka yang adil. Dalam dunia digital sekarang, orang biasa jadi konten kreator hanya demi popularitas atau kepentingan sesaat. Namun saya merasa Tan Malaka tidak akan terjebak begitu saja menjadi viral tanpa makna. Misalnya, ketika orang lain membagikan meme politik, Tan Malaka mungkin justru membuat video penjelasan yang mendalam di YouTube tentang teori politik Marx, menambahkan konteks sejarah. Ia juga bisa menulis artikel blog atau tweet yang menyindir golongan pragmatis. Dalam perspektif filsafatnya, politik harus dijiwai oleh idealisme, bukan sekadar transaksi kekuasaan. “Menurut saya, Tan Malaka pasti akan sangat kritis melihat kondisi partai politik saat ini,” ungkap seorang mahasiswa pascasarjana.
Pandangan Tan Malaka terhadap partai politik zaman sekarang mungkin akan sangat tegas. Sejarah mencatat bahwa Tan Malaka sering mengritik kelompok nasionalis yang dianggapnya mudah menyerah atau tidak cukup radikal. Ia pernah menyebut beberapa tokoh pemimpin “terlalu lembek” karena tidak menghadapi penjajah dengan keras. Maka jika melihat situasi sekarang di Indonesia, yang sering kita saksikan adalah partai-partai yang berganti-ganti koalisi dan platform demi mengejar kursi kekuasaan. Ideologi ideologinya tampak kabur; perhatian lebih kepada menang pemilu atau merebut jabatan ketimbang visi besar. Saya yang juga anggota tim percepatan pembangunan daerah pernah berpikir: Tan Malaka pasti akan mencibir “politik dagang sapi” seperti ini. Ia mungkin akan membahas melalui vlog atau podcast bagaimana partai menjadi kehilangan jati diri, hingga hanya berani ngomong isu hangat di media sosial daripada memikirkan nasib petani, buruh, dan rakyat kecil. Kritik seperti ini kemungkinan akan disampaikan dengan gaya blak-blakan, lugas tapi mengundang pemikiran, karena Tan Malaka terkenal tidak suka basa-basi.
Dalam sisi pemikiran filosofisnya, konten Tan Malaka juga akan banyak berisi teori dan logika. Seperti yang ia tuliskan dalam Madilog, logika dan dialektika adalah senjata berpikir untuk membongkar ideologi dominan. Oleh sebab itu, akun-akun media sosial Tan Malaka — katakanlah channel YouTube atau podcastnya — mungkin berisi diskusi intelektual, debat, dan kuliah daring tentang teori politik atau sejarah pemikiran. Ia bisa membedah film-film sejarah di blog, atau mengadakan sesi tanya jawab di Twitter dan Instagram Live. Sosok Tan Malaka yang sarat dengan kampanye intelektual ini bisa membantu mengembalikan minimnya kedalaman wacana politik kita. Tentu gaya bahasanya akan ringan dan mengalir, karena sesuai permintaan, misalnya ia bisa bercerita tentang pengalamannya saat di Eropa dengan gaya bercerita yang santai, namun tetap pakai kaidah bahasa yang benar. Intinya, saya membayangkan konten-konten Tan Malaka menggabungkan humor ringan dan kritik tajam, agar tetap menarik tanpa kehilangan substansi ideologisnya.
Apabila kita tengok media sosial modern, semua orang jadi konten kreator, termasuk aktivis politik. Tan Malaka akan bermain di semua platform medsos: ia mungkin membuat blog sebagai arsip tulisan politiknya; memanfaatkan Twitter untuk menyebar kutipan-kutipan inspirasional; membagikan infografis sejarah di Instagram; dan mengunggah video ceramah maupun diskusi panjang di YouTube. Bahkan ia mungkin menguji audiens muda dengan video berdurasi satu menit di TikTok, merangkum isu berat dengan bahasa gaul supaya dimengerti anak muda. Sebagai mahasiswa pascasarjana yang aktif juga di dunia digital, saya membayangkan Tan Malaka akan sangat agresif menjangkau audiens milenial. Ia bisa saja live streaming setiap peringatan Hari Pahlawan sambil membahas arti perjuangan dengan gaya interaktif, menjawab komentar penonton. Keberadaannya di media sosial akan menyediakan konten-konten bernuansa sejarah, politik, dan filsafat, sehingga berbeda dari kebanyakan konten ringan sekarang.
Namun, apakah Tan Malaka akan menjadi konten kreator layaknya selebritas online sekarang? Mungkin sebagian kontennya akan viral, tapi bukan itu tujuannya. Nyatanya, konten-konten yang bermakna kadang tidak mendapat popularitas seperti konten dangkal. Saya melihat bahwa Tan Malaka akan tetap menilai media sosial sebagai alat edukasi dan propaganda. Mungkin ia tidak peduli dengan jumlah subscriber atau likes, melainkan dengan seberapa efektif pesannya diterima masyarakat. Ia mungkin bahkan menantang kontroversi: mengunggah analisis-analisis kritis yang membuat orang berpikir dua kali, meski artinya ia bisa menjadi sorotan pihak berkuasa atau partai mapan. Dari sudut pandang tim percepatan pembangunan daerah, kami melihat bahwa penyebaran gagasan di era digital penting untuk pembangunan masyarakat. Tan Malaka sebagai konten kreator bisa berperan sebagai corong intelektual yang menggugah kesadaran politik warga di daerah, misalnya tentang hak pilih atau soal keadilan sosial.
Dalam hal pandangan politik, Tan Malaka pastinya akan mengecam pragmatisme yang merajalela. Ia hidup di masa lalu, dengan perjuangan yang masih jelas musuhnya (kolonial Belanda), sehingga berideologi kuat terasa alamiah. Kini, ketika musuh bukan lagi sekutu yang jelas, partai cenderung berkompromi. Sementara Tan Malaka selalu menekankan konsistensi prinsip. Saya berpendapat bahwa ia akan membuat konten perbandingan: misalnya wawancara dengan sejarawan atau diskusi dengan mahasiswa tentang bagaimana seharusnya politik dijalankan. Dalam konteks pragmatisme partai, dia mungkin akan berkata sambil tersenyum, “Politik tanpa prinsip itu seperti kapal tanpa kompas.” Seringkali, banyak kader partai yang ingin bekerjasama dengan semua kekuatan, membuat garis perjuangan kabur. Tan Malaka akan menyoroti itu, baik melalui tulisan maupun videonya, dan mendesak agar partai kembali memperkuat dasar ideologi, bukan hanya strategi kemenangan jangka pendek. Kalimat-kalimatnya bisa penuh retorika, seperti yang biasa ia gunakan dahulu.
Meskipun konten-kontennya akan dipenuhi kritik tegas, Tan Malaka juga memiliki sisi lembut dalam menginspirasi. Ia lahir dari latar pendidikan tinggi, tapi suka bergaul dengan rakyat biasa. Jika masih hidup, mungkin ia juga mendokumentasikan kunjungan ke pedesaan dan berbincang dengan petani tentang makna kemerdekaan. Saya sebagai mahasiswa dan anggota tim percepatan pembangunan daerah sangat berharap Tan Malaka zaman kini menggunakan teknologi untuk menggambarkan realitas pembangunan daerah. Ia mungkin membuat video membandingkan kondisi desa kini dengan zaman pendudukan Belanda, sehingga masyarakat menyadari capaian sejarah dan tantangan modern. Dengan fokus sejarah, ia akan menekankan pentingnya merawat hasil perjuangan masa lalu. Dalam hal filsafat, Tan Malaka selalu percaya bahwa teori harus teruji oleh praktik. Jadi kontennya juga bisa berisi eksperimen sosial kecil: misalnya menguji teori keadilan distributif lewat proyek sosial di media, lalu menganalisis hasilnya.
Secara ringkas, jika Tan Malaka hidup di era sekarang, sangat mungkin ia akan memanfaatkan semua media sosial sebagai sarana berkreativitas dan beropini. “Saya membayangkan Tan Malaka tidak membatasi diri hanya ke satu platform,” kata seorang teman saya. Di YouTube, ia bisa menjadi vlogger sejarawan-politikus; di Twitter, komentator tajam; di Instagram, memberi inspirasi visual dengan kutipan pemikiran; di podcast, mendiskusikan filsafat politik. Namun di balik gaya modern itu, isi pesannya tetap berakar dari ilmu sejarah, politik, dan filosofi. Konten-kontennya tidak akan dangkal; ia akan mengajak anak muda memahami asal-usul bangsa, menggali nilai-nilai keadilan sosial, dan mempertanyakan praktik politik pragmatis. Ia mungkin juga berkolaborasi dengan akademisi, pegiat media sosial, dan pemimpin masyarakat, menjembatani dunia kampus dengan dunia nyata lewat konten digital.
Sebagai pengingat, hingga kini belum ditemukan literatur ilmiah yang membahas secara khusus skenario Tan Malaka sebagai konten kreator. Namun dari pemikiran dan jejaknya, kita bisa menalar kemungkinan perannya. Saya merasa Tan Malaka akan menjadi ‘content creator’ yang khas — ia tak sekadar membuat konten demi view, melainkan konten untuk mengedukasi dan menggerakkan. Dalam dunia yang sekarang penuh informasi dan hoaks, mungkin sosok seperti Tan Malaka bisa mengarahkan percakapan politik kembali ke ranah substansi. Sebagai mahasiswa pascasarjana saya yakin, jika konten kreator seperti beliau hadir, masyarakat kita bisa belajar mengaitkan teori dan praktik, sejarah dan masa kini, agar tetap berpegang pada semangat ideologis perjuangan bangsa.**