Superman 2025: Mitos Baru di Tengah Krisis Identitas Budaya

James Gunn dan Peter Safran memulai babak baru dalam DC Studios dengan merilis Superman pada 11 Juli 2025. Film ini menampilkan David Corenswet sebagai Clark Kent/Superman, Rachel Brosnahan sebagai Lois Lane, dan Nicholas Hoult sebagai Lex Luthor, sekaligus menjadi film solo Superman terbesar dalam sejarah dalam hal opening weekend. Film ini dirilis dengan anggaran sekitar US$225 juta dan berhasil membuka dengan sekitar US$123 juta di domestik serta total global US$217 juta, menjadikannya salah satu pembukaan terbesar tahun ini (Polygon).
Lebih dari sekadar tontonan superhero, film ini menyoroti tema-tema kebudayaan seperti identitas imigran dan moralitas universal. Reaksi publik beragam—mulai dari penerimaan hangat hingga kritik atas pendekatan progresif atau “woke” yang terasa sengaja dijalin ke dalam narasi (Vanity Fair).
Latar Budaya & Sejarah Ikonis Superman
Superman pertama kali diciptakan oleh Jerry Siegel dan Joe Shuster pada tahun 1938, lahir dari konteks kekhawatiran terhadap fasisme. Tokoh ini sejak awal dimaksudkan sebagai simbol moral dan keadilan—baik dalam komik maupun adaptasi lain. Versi James Gunn melanjutkan warisan ini dengan menegaskan supremasi nilai kepedulian, belas kasih, dan inklusivitas.
Dalam bingkai budaya saat ini, di mana isu imigran dan keanekaragaman sosial menjadi perdebatan sengit di AS dan global, narasi Superman sebagai simbol imigran yang menjunjung kebaikan dasar kemanusiaan memberikan resonansi yang kuat, sekaligus memicu kontroversi dari pihak konservatif yang menyebut film “terlalu woke”.
Reboot & Pendekatan Visual
Superman (2025) merupakan reboot yang direncanakan sebagai tonggak awal era baru DCU, menggantikan warisan berat dari Snyderverse. Gunn membawa estetika visual baru: lebih cerah, optimis, dan penuh keajaiban ketimbang gelap dan berat. Kritik membandingkan transisi ini sebagai pemulihan kembali semangat imajinatif yang sempat hilang sejak era Christopher Nolan dan Zack Snyder.
Pendekatan ini juga mencakup fokus pada elemen-elemen kultural yang tidak biasa untuk film superhero mainstream—seperti tokoh Krypto the Superdog, yang digambarkan sebagai anjing penyelamat yang nakal dan realistis, mencerminkan pengalaman nyata pemilik anjing daripada stereotip sentimental yang biasa muncul di Hollywood. Karakter ini justru memicu peningkatan pencarian adopsi anjing—Google melaporkan lonjakan hampir 300 % untuk schnauzer, jenis yang mirip dengan Krypto (The Guardian).
Tema Emosi dan Ketegangan Seksual
Salah satu aspek menonjol dalam film ini adalah eksplorasi ketegangan emosional dan seksual yang disebut sebagai “edging”—penundaan klimaks emosional dan seksual yang memberikan intensitas subtekstual. Loisa dan Clark Leonard menyampaikan desire yang tertahan, memperluas interpretasi karakter secara lebih dewasa dan reflektif. Gunn juga memperkenalkan unsur humor dewasa seperti referensi fistiing dan dominasi seksual ringan lewat karakter pendukung—penyajian yang berani untuk film superhero mainstream (Decider).
Pendekatan ini membuka diskusi budaya tentang bagaimana film populer bisa menyisipkan isu-isu tabu secara subtile namun tetap bisa diterima secara luas.
Reaksi Kritikus dan Publik
Film ini meraih rating sekitar 83–85% kritik positif di Rotten Tomatoes dan memperoleh CinemaScore A‑, mencerminkan penerimaan publik yang kuat meskipun ada kritik tentang kekosongan emosional atau karakter yang kurang dalam.
Beberapa kritikus menyebut Superman kurang menggali kedalaman karakter, sementara yang lain memuji interpretasi Corenswet dan Brosnahan yang dianggap membawa sentuhan emosional dan kemanusiaan. The Times of India menyebut film ini “menghibur tanpa berat secara emosional”—nilai 3.5/5, memuji visual, kinerja aktor, sekaligus menyebut ketidakhadiran kedalaman yang kadang terasa. The Guardian menyoroti Krypto sebagai refleksi realistis dari kehidupan anjing peliharaan yang kacau dan tidak sempurna—keputusan penceritaan yang segar.
Di kalangan konsersatif, film ini dianggap terlalu politis. Serial kritik menyebut Superman sebagai simbol imigran dan bayangan moralitas liberal yang idealis, menandakan film ini sengaja menyampaikan pesan sosial tertentu. Namun, banyak analis memandang bahwa film ini tetap menjunjung nilai-nilai klasik Superman—hanya membingkai ulang dengan sensitif terhadap konteks zaman sekarang.
Resonansi Kebudayaan pada Audiens Global
Menurut diskusi komunitas dan survei publik, film ini tiba tepat ketika dunia merasa terfragmentasi atau jenuh dengan moralitas sinis. Di forum Reddit, seorang pengguna menyatakan:
“James Gunn’s Superman seems like it’s coming at the perfect time… people are yearning to feel hope again”.
Superman hadir tidak sekadar sebagai sosok berkuasa, tapi sebagai pengingat nilai-nilai universal—kelembutan, keadilan, dan empati—yang dianggap langka di tengah iklim sosial dan politik saat ini.
Lonjakan global box office film ini—dibanding debut Jurassic World: Rebirth dan F1—menuai reaksi kuat. Film ini menembus angka pembukaan terbesar solo Superman—mengungguli Man of Steel (US$116 juta debut) dan kalah hanya dari Batman v Superman: Dawn of Justice (US$166 juta)—dengan total domestik sekitar US$125 juta, dan global US$217 juta saat awal peredarannya.
Signifikansi dalam Isu Representasi
Film ini menghadirkan citra represntasi yang progresif:
- Superman sebagai imigran metaforis, membawa pesan inklusi dan keadaban universal.
- Jon Kent, anak Superman dalam komik DC saat ini, digambarkan sebagai karakter biseksual, dan hubungannya dengan super hero transaktif lainnya melanjutkan tradisi diversifikasi yang disambut dan dikritik sekaligus oleh berbagai pihak.
Melalui narasi ini, film berupaya memposisikan Superman sebagai simbol keadilan generasi modern bukan hanya lewat kekuatan fisik, tapi juga moral dan sosial.
Dampak terhadap Genre dan Industri
Superman membuka era baru bagi DCU dengan menunjukkan bahwa campuran blockbuster aksi dengan konten budaya progresif bisa tampil sukses komersial—bahkan mungkin menjadi strategi film studio lainnya ke depan. Produksi ini bisa menjadi momentum bahwa film IP lama bisa di-reboot dengan sudut pandang baru yang tetap mencakup massa yang luas, bukan hanya fanbase tradisional.
Tren 2025 menunjukkan dominasi film berbasis IP: sebagian besar blockbuster adalah sekuel, remake, atau adaptasi; namun Sinners (film original karya Ryan Coogler) membuktikan bahwa orisinalitas pun masih punya tempat dan dapat menuai kesuksesan besar—dengan pendapatan domestik melebihi US$258 juta dan mengungguli film lain dari Marvel maupun Disney(movieweb.com).
Keberhasilan Superman—sebagian karena warisan franchise dan sebagian karena pergeseran budaya—menyoroti bagaimana waralaba lama dapat direvitalisasi secara relevan.
Kesimpulan
Superman (2025) bukan sekadar film superhero besar; ia menjadi simbol kebudayaan utama jamannya. Dengan narasi imigran, optimisme moral, dan konten seksual subteks yang dewasa, film ini menatap masa depan yang lebih inklusif dan reflektif. Di samping keuntungan finansial impresif, film ini membuka diskusi tentang identitas, representasi, dan harapan dalam narasi populer modern. Dalam lanskap sinema global yang dipenuhi IP dan sekuel, Supermanmenunjukkan bahwa reboot bisa sukses, relevan, dan arif secara budaya—tanpa kehilangan daya tarik massal.
Sumber