Santri sebagai “Koleksi Busana” dalam Narasi Modern: Kritik Nurcholis Madjid terhadap Pesantren

Bayangkanlah sebuah lemari berisi koleksi busana: gamis kuno, jas modern, pakaian adat, seragam formal—semuanya tersegel dan tertata rapi. Namun hanya menunggu momen dipakai. Kini, lirih terngiang: apakah koleksi busana itu semata pajangan, atau benar-benar dipakai menjawab kebutuhan zaman? Begitu juga dengan santri: lulusan pesantren adalah koleksi intelektual dan spiritual—apakah hanya dipajang, atau benar-benar dipakai membalut wajah kemanusiaan Indonesia?
Modernisasi yang Bukan Sekularisasi: Busana yang Memerdekakan
Nurcholis Madjid, atau karib dengan sapaan Cak Nur menegaskan bahwa modernisasi bukanlah sekularisasi, melainkan suatu proses rasionalisasi yang memberi makna baru dan lebih relevan atas tradisi lama. Ia berkata:
“Modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa.”
Di sinilah analoginya: jika koleksi busana hanya dipakai saat diperlukan—dipakai dengan cermat, dinamis, dan cocok dengan situasi—maka santri pun seharusnya tidak menjadi semata simbol, tetapi aktualisasi keilmuan dan nilai dalam praktik nyata. Modernisasi santri—dalam artian berpikir rasional dan dinamis—justru memberi mereka kesempatan untuk “dipakai” menghadapi kompleksitas zaman.
Kritik terhadap Kurikulum Pesantren: Tak Lagi “Ahli Alat”
Cak Nur mengkritik ketidakseimbangan kurikulum pesantren tradisional yang berat pada penguasaan ilmu agama klasik—jazm, nahwu, fikih—namun minim terhadap ilmu sosial dan ilmu umum. Ia menilai hal ini membuat santri “ahli alat”:
“Tidak jarang seorang santri yang telah mondok bertahun-tahun, pulang hanya membawa keahlian ‘mengaji’ beberapa kitab saja.”
Bayangkan busana yang hanya cocok digunakan di satu acara—itu saja. Tidak fleksibel, tidak berguna untuk kegiatan lain. Demikian pula lulusan pesantren semacam itu: terdidik dalam tradisi, tapi miskin daya adaptasi terhadap realitas kontemporer. Mereka berpeluang menjadi pajangan akademik, bukan pelaku transformasi.
Empat Wajah Pesantren: Variasi Model Koleksi
Dalam Bilik-Bilik Pesantren, Cak Nur menyusun peta respons pesantren terhadap arus modernitas:
- Pesantren modern yang bersemangat mendorong reformasi.
- Pesantren adaptif—menerima modernitas sambil menjaga tradisi positif.
- Pesantren cenderung konservatif—tetap menjadi benteng tradisi tanpa modernisasi.
- Pesantren yang antagonis—menolak sepenuhnya modernisasi.
(nurcholishmadjid.net)
Mengibaratkan pada koleksi busana, kita menemukan variasi:
- Ada busana baru yang elegan dan praktis—pesantren progresif.
- Ada busana lama yang ditambahkan motif baru—adaptif.
- Ada yang tetap dengan model lawas—konservatif.
- Bahkan ada yang menolak tren apa pun—antagonis.
Bangsa ini membutuhkan koleksi lengkap—bukan satu model saja.
Mempraktikkan Ilmu: Santri sebagai Busana yang Dipakai
Narasi ini mengajak pembaca mempertanyakan:
- Apakah santri hanya “tersimpan” di lingkungan pesantren, atau benar-benar digunakan dalam kehidupan profesional, sosial, budaya?
- Apakah mereka hanya memahami teks suci secara literal, atau juga mampu menafsirkan realitas sosial kontemporer?
- Mampukah mereka tampil adaptif dalam dunia modern — menjadi akademisi, pemimpin, inovator, pegiat ekonomi, atau penjaga tradisi sekaligus perintis kalbu?
Cak Nur mengingatkan bahwa modernisasi yang berpijak pada rasio dan ajaran Tuhan memberi santri kemampuan menjadi “busana hidup” yang melindungi, memperindah, dan memberi manfaat untuk masyarakat.
Variasi Santri
Lulusan pesantren seharusnya bukan koleksi busana yang sunyi di lemari. Mereka harus menjadi busana yang “dipakai”—adaptif, relevan, dan fungsional. Modernisasi bukan untuk sekadar dihafal, tetapi untuk dihayati dan diaktualkan. Pesantren mesti menciptakan variasi santri yang mampu mencerna tradisi sekaligus menjawab kebutuhan zamannya.
Dengan fondasi pemikiran Cak Nur yang berani, kita paham: merawat pesanten bukan berarti mengekang, tetapi memberdayakan. Dan santri, dalam artian luas, menjadi busana hidup—menjadi mitra perubahan, bukan semata representasi masa lalu.