Kenapa Manusia Perlu Menulis

Menulis
Kenapa Manusia Perlu Menulis

Menulis sering dianggap sebagai keterampilan tambahan—seperti keahlian yang hanya dibutuhkan oleh mereka yang ingin menjadi penulis, jurnalis, atau akademisi. Padahal, dalam kenyataannya, menulis adalah aktivitas dasar yang sangat manusiawi. Sama seperti berbicara, menulis merupakan cara manusia menyalurkan isi pikiran dan perasaan, serta memetakan pengalaman hidupnya agar lebih mudah dipahami, oleh diri sendiri maupun orang lain.

Kegiatan menulis bukan semata persoalan bahasa atau struktur kalimat. Lebih dalam dari itu, menulis adalah cara untuk berpikir. Ketika seseorang mulai menulis, ia tidak sedang sekadar merekam apa yang ia tahu. Ia sedang mengolah, menyusun, dan menyaring pikirannya agar bisa dibaca ulang—baik oleh dirinya sendiri di masa depan, atau oleh pembaca lain yang tidak pernah mengenalnya.

Leo Tolstoy, misalnya, tidak menulis hanya untuk menyampaikan cerita. Dalam cerpen-cerpen pendeknya, terutama yang ditulis di masa-masa akhir hidupnya, ia justru menulis untuk menyampaikan apa yang ia temukan dalam permenungan. Ia menyusun cerita bukan hanya agar indah secara sastra, tetapi agar maknanya bisa menggugah pemahaman pembaca terhadap hidup, terhadap moralitas, dan terhadap pilihan-pilihan manusia.

Baca Juga
Kemarin

Ambil contoh cerpennya yang terkenal, “How Much Land Does a Man Need?” (Berapa Luas Tanah yang Diperlukan Seorang Manusia?). Dalam cerita ini, tokoh utama bernama Pahom terus merasa kurang puas dengan kehidupannya. Ia percaya bahwa jika saja ia memiliki tanah lebih luas, ia akan bahagia. Ia terus mengejar lahan baru, membeli lebih banyak tanah, bahkan berani mengambil risiko besar demi mendapatkan sebidang tanah yang katanya bisa ia miliki sebanyak yang bisa ia kelilingi dalam satu hari penuh. Namun, pada akhirnya, ia meninggal karena kelelahan dalam usahanya yang serakah itu. Ironisnya, ia hanya membutuhkan tanah seluas liang kuburnya sendiri.

Cerita ini tidak ditulis dengan uraian moral yang panjang lebar. Namun lewat kisah pendek yang sederhana itu, Tolstoy menyampaikan perenungan yang sangat dalam tentang sifat dasar manusia—bahwa sering kali, keinginan tak terbatas justru membawa penderitaan, bukan kebahagiaan. Lewat tulisan ini, Tolstoy tidak hanya membuat pembaca memahami kisah Pahom, tapi juga memaksa mereka berpikir ulang tentang hidup mereka sendiri. Cerita itu menjadi cermin, dan tulisan menjadi alat yang menampilkan refleksi yang jujur, meskipun kadang menyakitkan.

Dari situ terlihat jelas: menulis bukan hanya soal ekspresi, tetapi juga soal menyusun pengertian. Tulisan bisa menjadi medium untuk menyampaikan hal-hal kompleks menjadi lebih mudah dipahami. Hal-hal yang sulit diuraikan secara lisan bisa ditata dalam bentuk tulisan agar menjadi utuh dan runtut. Menulis memaksa seseorang untuk mengerti dulu sebelum menyampaikan, dan itu adalah latihan berpikir yang sangat berharga.

Menulis juga memberi kesempatan untuk mengamati realitas dengan lebih tajam. Dalam cerpen “The Death of Ivan Ilyich,” Tolstoy menyajikan kehidupan seorang pejabat pengadilan bernama Ivan Ilyich, yang selama hidupnya lebih sibuk membangun reputasi sosial daripada mengejar makna yang lebih dalam. Saat ia jatuh sakit dan mendekati kematian, ia baru mulai bertanya-tanya: apakah hidupnya benar-benar dijalani dengan benar? Penyesalan yang datang terlambat itu digambarkan Tolstoy dengan narasi yang tenang, tetapi menusuk. Ia tidak memberi jawaban pasti, namun membuka ruang kontemplasi. Tulisan itu bukan sekadar cerita fiksi—ia menjadi semacam ajakan diam-diam kepada pembaca untuk bertanya hal serupa: apakah kehidupan ini sedang dijalani dengan sungguh-sungguh?

Di sinilah kekuatan menulis terlihat jelas. Lewat cerita-cerita fiktif, penulis bisa membahas realitas dengan lebih jujur. Menulis memungkinkan seseorang menelusuri sisi-sisi kehidupan yang tidak mudah dijangkau oleh obrolan sehari-hari. Topik-topik berat seperti kematian, makna hidup, dan kesepian bisa dibicarakan secara lebih dalam lewat tulisan, karena tulisan memberi ruang refleksi, bukan hanya reaksi.

Menulis juga membantu manusia menata emosi. Dalam banyak kasus, orang tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaannya secara langsung. Tapi lewat tulisan, emosi bisa diproses, diurai, dan dimaknai ulang. Bahkan dalam cerpen Tolstoy yang sangat pendek seperti “What Men Live By,” terlihat bahwa tulisan bisa menjadi wahana untuk menyampaikan nilai-nilai kasih sayang, pengampunan, dan kebermaknaan hidup dengan cara yang menyentuh tapi tidak menggurui. Di cerita itu, seorang malaikat yang diusir dari surga belajar tiga pelajaran penting tentang kehidupan manusia: bahwa manusia hidup bukan oleh dirinya sendiri, bahwa manusia tidak tahu apa yang ia butuhkan, dan bahwa manusia hidup oleh cinta. Pesan-pesan itu disampaikan lewat cerita yang hangat dan akrab, bukan lewat ceramah. Dan semua itu bisa terjadi karena tulisan membuka ruang untuk menyentuh bukan hanya akal, tetapi juga hati.

Lebih dari itu, menulis juga berperan sebagai penyimpan sejarah manusia. Tulisan adalah cara manusia menyimpan ingatan, mencatat perubahan zaman, dan meneruskan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanpa tulisan, pengalaman akan lenyap bersama waktu. Cerita-cerita Tolstoy, misalnya, merekam kondisi sosial dan struktur masyarakat Rusia abad ke-19 dengan begitu rinci dan jujur. Bahkan ketika menulis fiksi, Tolstoy menyematkan realitas sosial yang autentik. Pembaca hari ini bisa memahami ketimpangan kelas, ketegangan spiritual, dan pergolakan nilai moral di masa itu bukan karena laporan resmi, tapi karena cerita-cerita yang ditulis dengan pengamatan tajam dan empati yang besar.

Menulis, dalam hal ini, bukan hanya alat ekspresi pribadi. Ia menjadi jembatan kolektif yang menghubungkan manusia dengan masa lalu dan masa depan. Setiap tulisan, baik fiksi maupun non-fiksi, adalah bukti bahwa manusia tidak hidup sendiri. Setiap tulisan adalah kesaksian bahwa manusia pernah merasakan, pernah berpikir, dan pernah berjuang memahami hidupnya.

Namun penting juga disadari bahwa tidak semua tulisan harus berskala besar atau bertema berat. Menulis catatan harian pun bisa menjadi latihan penting dalam memahami diri. Banyak penulis besar—termasuk Tolstoy sendiri—memiliki kebiasaan menulis jurnal. Dalam jurnal itu, mereka mencatat pergulatan batin mereka, proses berpikir mereka, dan bahkan keraguan mereka terhadap kepercayaan dan keyakinan pribadi. Dari situ bisa dipahami bahwa menulis tidak harus sempurna. Menulis adalah proses, bukan produk akhir. Bahkan tulisan yang tidak pernah diterbitkan tetap punya nilai, karena ia menjadi ruang aman untuk berpikir secara jujur.

Karena itu, menulis tidak hanya berguna bagi para sastrawan, cendekiawan, atau akademisi. Menulis berguna bagi siapa saja yang ingin memahami dirinya sendiri, memahami dunia, dan memahami orang lain. Bahkan dalam konteks sehari-hari, seperti menyusun surat, menulis email, atau menyampaikan pendapat di forum, keterampilan menulis membuat komunikasi menjadi lebih jernih dan tepat. Kesalahpahaman sering muncul karena kalimat tidak disusun dengan baik. Dengan menulis yang terlatih, seseorang bisa belajar menyampaikan pikirannya dengan lebih bertanggung jawab.

Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apakah seseorang perlu menulis?” Melainkan: “Mengapa tidak menulis, jika itu bisa membuat hidup menjadi lebih terang?”

Menulis bukan beban, bukan tugas eksklusif untuk orang tertentu. Menulis adalah hak setiap orang untuk bicara, merenung, menyampaikan, dan mengerti. Dan seperti yang ditunjukkan oleh Tolstoy melalui cerita-cerita pendeknya, menulis tidak harus rumit atau berat. Ia hanya perlu jujur dan bermakna.

Dalam dunia yang semakin cepat dan bising ini, menulis bisa menjadi cara sederhana untuk kembali mendengar—mendengar suara batin sendiri, dan juga mendengar kehidupan yang kadang hanya lewat begitu saja. Dalam menulis, manusia belajar untuk tidak sekadar hidup, tetapi juga memahami kenapa ia hidup. Dan itu, pada akhirnya, adalah bekal yang paling dasar untuk menjadi manusia yang utuh.

Tinggalkan Balasan