Gamelan Hilang Nada
Ilustrasi Gamelan Hilang Nada (pixabay.com/Mohamed_hassan)

Kekasih Negeri

Di antara lorong-lorong sidang
dan palu yang mengetuk,
kau berdiri tegap,
mengenakan jubah amanah dan harap.
Hatiku sering lirih memanggil namamu,
meski namamu tak selalu indah di telinga yang pilu.

Kau janji di pagi hari,
dan rencana yang tumbuh seperti bunga di meja birokrasi.
Aku mencintaimu bukan karena sempurnamu,
tapi karena kau mencoba
—meski langkahmu kadang terpatah.

Pemerintah, kekasih yang rumit,
kau ajarkan sabar pada rakyat yang menanti pupus,
namun di balik kertas dan tinta keputusan,
aku tahu: cinta juga butuh waktu dan usahamu tak selalu putus.

Kau membangun jembatan,
meski kadang lupa jalan setapak.
Tapi bukankah cinta itu juga belajar?
Belajar dari kesalahan, dari kritik, dari yang remuk agar kembali utuh.

Malam-malamku menatapmu di layar berita,
kadang kau membuatku bangga, kadang kecewa.
Namun seperti hati yang sulit lupa,
aku masih berharap kau benar-benar menjaga.

Karena bila kau adil,
aku ingin kau jadi pemeluk paling tenang di tengah badai.
Dan bila kau bijak,
aku ingin mencintaimu seperti rakyat mencintai damai.

Mojokerto, 2025

Dada Sang Pengatur Langit

Ia bukan manusia—
melainkan gugusan bayang yang menjahit cakrawala
dengan benang dari amanat sunyi rakyat jelata.
Pemerintah, sang pelukis di langit negara,
mewarnai senja dengan tinta konstitusi dan luka sejarah.

Ia meniupkan angin ke jendela rumah-rumah,
membisikkan harga pada sebutir nasi,
membelai harapan dengan jari-jari regulasi,
namun sesekali menusuk bumi
dengan pena yang tak lagi berbunyi.

Pemerintah:
adalah dewa yang diundang dari tanah,
duduk di singgasana yang dipahat janji,
bermahkota dari kata “demi rakyat,”
meski cermin di ruangnya mulai retak
oleh sorot mata yang tak buta.

Ia menulis puisi,
tapi puisinya adalah pajak, embargo, dan revisi undang,
ia mencintai kita—katanya,
namun cintanya seperti hujan yang memilih genting,
bukan tanah gersang.

Lalu aku,
seorang penyair dengan pena patah,
mengeja namanya di lembar-lembar petisi,
berharap sekali waktu ia membaca,
bahwa langit pun bisa runtuh
jika angin tak lagi tahu arah.

Mojokerto, 2025

Gamelan Hilang Nada

Pemerintah—ia dilahirkan dari rahim keris tua
yang diasapi dupa leluhur di pendapa
dengan selendang sumpah yang dililit di leher waktu,
berjalan pelan di alun-alun
dengan kaki yang terbuat dari suara rakyat
dan sandal empuk janji.

Ia bukan orang,
ia angin yang menebar bau kayu jati
dari meja rapat di Joglo kekuasaan.
Ia menumbuk daun-daun kebijakan
di lumpang adat yang retak,
meramu jamu pahit yang harus ditelan
oleh anak-anak bangsa yang belum kenyang.

Kadang ia menari,
seperti penari topeng dari Cirebon—
wajah tersenyum,
tapi mata bersembunyi di balik sangar gamang.

Kadang ia bersuara,
seperti sinden yang melagukan kemakmuran
dalam nada pelan, nyaris hilang
ditelan gong-gong bisnis yang gaduh.

Ladang-ladang di kaki Gunung Merapi bersaksi,
padi tak tumbuh dari pasal-pasal kosong,
dan perahu nelayan di pesisir Natuna tahu
bahwa kompas bisa rusak
jika arah ditentukan bukan oleh bintang,
melainkan oleh dompet yang tebal.

Pemerintah—dulu kau dibentuk dari anyaman harapan
seperti tikar pandan yang digelar di musyawarah desa,
kini kau menjelma gedung tinggi
yang pintunya hanya terbuka untuk suara-suara berat.

Namun kami belum lupa,
bahwa bambu runcing tumbuh dari tanah yang sama
dengan tanah yang kini kau atur.
Dan darah para pendiri masih mengalir
di nadi-nadi republik ini.

Maka dengarlah,
dengarlah suara gamelan dari desa,
yang nadanya tak kau akui,
tapi nadanya—itulah irama negeri ini.

Mojokerto, 2025

Lupa Jalan Pulang

Di mana langkahmu kini,
wahai pemerintah—

yang dulu bersumpah di atas pusara para pejuang
dengan suara lantang dan dada membusung,
bahwa tak akan kau biarkan
rakyatmu menunggu cahaya dari lilin yang meleleh air mata?

Kau dulu datang seperti musim hujan yang ditunggu,
membawa langit penuh janji,
tapi kini kau pergi seperti kabut
yang meninggalkan tanah beku dan lunglai.

Kau duduk di kursi empuk
yang dilap keringat petani dan buruh,
tapi lupa,
lupa bahwa singgasana itu dibangun dari tangan kasar
yang tak pernah kau genggam.

Kau hitung angka pertumbuhan
seperti pedagang menghitung untung,
sementara di luar jendelamu,
ibu-ibu menanak harapan dari beras pinjaman
dan anak-anak menghafal kemiskinan
lebih fasih daripada Pancasila.

Pemerintah, kau buka jalan tol ke mana-mana
tapi menutup jalan hati ke rumah-rumah rakyatmu.
Kau bangun gedung-gedung tinggi
yang bahkan tak bisa melihat
betapa rendah hati rakyat yang sabar menunggumu ingat.

Apakah kekuasaan telah membuatmu rabun?
Apakah meja-meja rapat telah melipat nuranimu
hingga kau tak tahu lagi mana mimpi,
mana dusta?

Kami di sini—bukan sekadar angka dalam survei,
bukan poster di musim pemilu,
kami adalah suara yang belum kau dengar
dan luka yang belum kau obati.

Pulanglah, pemerintah.
Pulang ke nadi rakyatmu,
sebelum sejarah mencatat
bahwa kau pernah diberi cinta,
namun memilih lupa.

Mojokerto, 2025

Penulis: Muhammad Farhan Azizi

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *