Di Meja Peradaban

pada meja perkopian,
dua insan bertukar diskursus,
bukan janji asmara,
melainkan wacana
antroposen dan etika biotik.
dia, sang wanita,
mengurai filsafat ekosentrisme,
tentang biosfer yang tercekik
oleh karbon industrialisme.
dan ia, sang pria,
berbicara tentang proletariat hijau,
pekerja di ladang sawit yang berkelindan
di antara paradoks ekologi:
perut yang lapar atau tanah yang haus.
asap rokok perlahan menjelma metafora
berkabut serupa masa depan planet ini.
di bibirnya metafora itu menyala
karena pemantik di lentik jarinya.
mereka tak lagi berbicara cinta sejati,
sebab romansa itu kini
tak lain dari resistensi terhadap deforestasi
dan liberalisasi sumber daya.
“peradaban,” ucapnya, “adalah paradoks evolusi.
kita maju, tapi melupakan akar yang menopang kita.”
di sela hiruk pikuk aktivisme,
mereka menertawakan absurditas:
mitos kemajuan yang merusak ekosistem laut
dan urbanisasi yang mencekik lahan basah.
“ada yang lebih darurat dari rasa rindu,” katanya,
“yakni kehancuran lapisan ozon
dan megaproyek yang menumbalkan desa-desa kecil.”
tapi, tawa mereka tak getir.
itu menjadi cinta kritis dalam solidaritas.
rokok yang padam menjadi simbol akhir diskusi.
mereka kembali menyiapkan manifesto baru,
membingkai dunia dalam narasi keberlanjutan,
sebab cinta mereka adalah revolusi:
menghidupkan bumi yang sekarat dan
menantang tirani kapital atas manusia.
lalu di bawah cahaya lampu jalan
mereka melangkah bukan ke altar cinta
melainkan ke medan juang peradaban.
Editor: Farhan Azizi