Bodoh adalah Pilihan Moral: Kritik Sosial dalam Gaya Tere Liye

Tere Liye, seorang penulis produktif dan ikonik dalam dunia literasi Indonesia, kembali menyapa pembacanya dengan karya unik bertajuk “Teruslah Bodoh, Jangan Pintar”. Judulnya sendiri sudah cukup mencolok dan memancing kontroversi, atau setidaknya rasa penasaran. Mengapa seseorang yang selama ini dikenal dengan gaya tulisan reflektif, kadang filosofis dan religius, tiba-tiba menghadirkan judul yang tampaknya paradoksal dan kontradiktif terhadap semangat pendidikan dan pencerahan? Mari kita telaah lebih jauh: bukan hanya isinya, tapi juga semangat, tujuan, dan ironi yang terkandung dalam buku ini.
Sebuah Judul yang Mengundang Tafsir
Ketika kita pertama kali mendengar judul “Teruslah Bodoh, Jangan Pintar”, ada dua reaksi utama yang muncul. Pertama, penolakan; karena siapa yang ingin terus menjadi bodoh? Bukankah pendidikan, membaca buku, dan memperoleh ilmu adalah jalan menuju perbaikan hidup? Kedua, rasa penasaran; karena jika Tere Liye yang menulisnya, tentu bukan sebatas provokasi kosong. Dan memang benar, ketika kita membaca lebih dalam, kita akan menemukan bahwa buku ini justru merupakan kritik terhadap bentuk kepintaran semu yang banyak diagung-agungkan dalam masyarakat.
Konteks Kepintaran yang Dikritisi
Tere Liye membongkar satu per satu bentuk “kepintaran” yang justru menjadi akar masalah dalam kehidupan modern. Kepintaran yang dimaksud di sini bukanlah kepintaran sejati, melainkan kepintaran licik, manipulatif, dan egoistik. Dalam dunia politik, ekonomi, pendidikan, bahkan dalam hubungan sosial, sering kali orang pintar dimaknai sebagai mereka yang bisa mencari celah, menyiasati sistem, bahkan menipu orang lain demi keuntungan pribadi.
Dengan gaya tulisan yang lugas dan kadang sinis, Tere Liye menyoroti bagaimana masyarakat kini lebih menghargai hasil ketimbang proses, lebih memuja prestasi semu ketimbang integritas. Orang yang bisa “menang” walaupun dengan cara curang, tetap dianggap pintar. Dan di sinilah ironi besar dari kehidupan modern yang coba diangkat dalam buku ini.
Antara Satire dan Renungan
Buku ini dapat dikatakan sebagai karya nonfiksi reflektif dengan nuansa satire yang kuat. Tere Liye menulis dengan nada yang keras namun jujur, seolah ingin mengguncang pembaca dari kenyamanan narasi umum. Ia mengajak pembaca untuk berpikir ulang: benarkah menjadi pintar adalah segalanya? Bukankah banyak dari kita yang justru hidup lebih damai dan lurus dengan menjadi “bodoh”—bodoh dalam artian tidak ikut-ikutan licik, tidak lihai memanipulasi, dan tidak terbiasa membungkus kejahatan dengan retorika canggih?
Satire dalam buku ini terasa menyengat, tapi tidak tanpa arah. Tere Liye tidak sekadar mengkritik atau mencela, melainkan menuntun pembaca untuk menemukan bentuk kebodohan yang justru menjadi nilai luhur: kebodohan untuk tidak berkompromi dengan kejahatan, kebodohan dalam mempertahankan kejujuran, kebodohan untuk terus berkata benar meskipun kalah secara sosial.
Kritik terhadap Sistem
Salah satu bagian paling menarik dalam buku ini adalah bagaimana Tere Liye mengkritik sistem pendidikan dan sosial yang membentuk generasi “pintar yang manipulatif”. Ia menyoroti bagaimana anak-anak sejak kecil diajarkan untuk bersaing, bukan bekerja sama. Mereka digenjot dengan target, ranking, nilai, tetapi kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri: pembentukan karakter, empati, dan integritas.
Ia juga mengupas bagaimana sistem ekonomi dan politik memberi panggung bagi orang-orang yang tahu cara bermain di “celah-celah abu-abu”. Mereka tidak selalu melanggar hukum, tapi juga tidak sepenuhnya bermoral. Mereka pintar—pintar mencari keuntungan di tengah kekacauan, pintar menjilat ketika perlu, dan pintar mencari alasan untuk membenarkan kesalahan.
Buku ini tidak segan menampar kenyataan yang sudah lama menjadi rahasia umum: bahwa dunia ini tidak selalu adil, dan sering kali malah berpihak pada mereka yang “lebih pintar” dalam bermain kotor.
Mengembalikan Arti Kebaikan
Di tengah kritik dan satire, ada satu benang merah yang terus ditarik oleh Tere Liye: harapan. Harapan bahwa masih ada nilai-nilai yang patut diperjuangkan. Bahwa “bodoh” yang dia maksud adalah bentuk integritas sejati—ketika seseorang memilih jalan yang lurus meski terlihat ketinggalan, ketika seseorang menolak ikut dalam permainan kotor walau harus kalah secara materi.
Tere Liye mengajak pembaca untuk merefleksikan hidup mereka: apakah selama ini kita terlalu sibuk menjadi “pintar” sampai lupa bagaimana menjadi baik? Apakah kita terlalu takut dicap bodoh jika tidak ikut arus manipulasi? Buku ini menjadi cermin yang kadang menakutkan, karena kita mungkin akan melihat bayangan diri sendiri yang selama ini terjebak dalam pencitraan.
Gaya Bahasa dan Struktur
Secara gaya, buku ini tetap membawa ciri khas Tere Liye: sederhana tapi menohok. Ia tidak menggunakan istilah akademis yang membingungkan, melainkan bahasa sehari-hari yang lugas, terkadang emosional, namun sangat relatable. Buku ini terasa seperti kumpulan esai reflektif, dengan setiap bab membawa satu gagasan utama.
Strukturnya tidak linier seperti novel, tapi lebih mirip kumpulan catatan atau renungan. Hal ini membuat buku ini tidak harus dibaca dari awal ke akhir secara berurutan. Setiap bab bisa berdiri sendiri, dan bisa dibaca ulang kapan saja ketika kita butuh pengingat bahwa integritas dan kejujuran tidak pernah ketinggalan zaman.
Kontroversi dan Reaksi Publik
Seperti karya-karya Tere Liye lainnya yang sering mengundang perdebatan, buku ini juga tak luput dari kontroversi. Ada yang menganggapnya terlalu sinis, terlalu gelap, atau bahkan meremehkan pentingnya pendidikan. Namun, banyak juga yang justru merasa buku ini hadir di saat yang tepat, ketika dunia terlalu riuh dengan kepalsuan dan kita lupa pada nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Beberapa kritikus mungkin menilai bahwa Tere Liye terlalu menyederhanakan kompleksitas sistem sosial, atau bahwa dikotomi “bodoh” vs “pintar” yang ia bangun terlalu hitam-putih. Namun, dalam konteks retorika dan kritik sosial, penyederhanaan ini justru menjadi alat yang efektif untuk menggugah kesadaran pembaca.
Siapa yang Harus Membaca Buku Ini?
Buku ini cocok untuk siapa saja yang merasa lelah dengan standar keberhasilan yang semu. Bagi pelajar, mahasiswa, pekerja, bahkan pemimpin di berbagai level, “Teruslah Bodoh, Jangan Pintar” bisa menjadi jeda yang menyejukkan dan mencerahkan. Ini adalah buku yang sebaiknya dibaca perlahan, direnungkan, dan dijadikan bahan diskusi—karena banyak gagasan di dalamnya yang layak dipertanyakan dan diperdebatkan.
Bodoh yang Mencerahkan
Pada akhirnya, “Teruslah Bodoh, Jangan Pintar” bukan ajakan untuk menjadi anti-intelektual. Bukan juga ajakan untuk malas belajar atau menyerah pada kebodohan. Sebaliknya, ini adalah provokasi cerdas untuk menggugah pemahaman kita tentang arti kepintaran dan keberhasilan. Tere Liye ingin kita semua merenung: apakah kita sedang mengejar ilmu demi kebaikan, atau demi pengakuan semata? Apakah kita pintar untuk membangun, atau pintar untuk memanipulasi?
Dengan menulis buku ini, Tere Liye seolah menyuarakan keresahan banyak orang yang merasa asing di tengah masyarakat yang makin pragmatis. Ia memberikan ruang bagi mereka yang mungkin sering dianggap “bodoh” karena terlalu jujur, terlalu lurus, dan terlalu polos. Buku ini adalah penghormatan bagi mereka—dan sekaligus peringatan bagi kita semua.