Bendera One Piece dan Amarah Diam Anak Muda: Ketika Simbol Fiksi Menyalip Realitas Politik

Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia menyaksikan satu simbol yang tak lazim berkibar di ruang-ruang publik: bendera bajak laut dari anime Jepang, One Piece. Simbol tengkorak dengan topi jerami ini, yang biasanya dikaitkan dengan tokoh Monkey D. Luffy dan petualangannya mencari harta karun legendaris, kini terlihat di konser musik, tribun stadion, hingga forum-forum publik. Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar keisengan anak muda penggemar anime. Namun, bagi mereka yang mau melihat lebih dalam, ini adalah ekspresi diam dari kekecewaan kolektif yang telah lama disimpan.
Bendera itu bukan hanya kain dengan gambar unik. Ia telah menjelma menjadi bahasa politik, media ekspresi, dan sindiran sosial. Dalam negara yang sistem politiknya dianggap kian elitis dan tertutup, bendera One Piece menjadi gambaran jujur tentang bagaimana anak muda melihat masa depan mereka: penuh ketidakpastian, ditentukan oleh keturunan, dan sulit diakses oleh mereka yang tidak berasal dari lingkar dalam kekuasaan.
Ketika seseorang mengangkat bendera Luffy di tengah keramaian konser, ia tidak sedang menyatakan kesetiaan pada karakter fiksi. Ia sedang berkata, tanpa suara: “Kami ingin perubahan, dan ini simbol perlawanan kami.”
Fenomena ini menjadi menarik karena muncul dalam konteks yang sangat spesifik: naiknya suhu politik pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi anak Presiden, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai calon wakil presiden. Dalam waktu singkat, gelombang kritik muncul. Namun, banyak yang tidak punya saluran formal untuk menyuarakan protes. Maka, simbol budaya pop pun diangkat menjadi alat.
Monkey D. Luffy, dalam kisah One Piece, bukan keturunan bangsawan. Ia adalah bajak laut yang melawan sistem dunia yang korup. Dalam cerita, Pemerintah Dunia adalah representasi kekuasaan yang tidak adil, menindas, dan penuh manipulasi. Bajak laut justru digambarkan sebagai simbol kebebasan, meskipun sistem selalu menstigmatisasi mereka sebagai kriminal. Inilah metafora yang paling pas untuk menjelaskan mengapa bendera itu begitu relevan di Indonesia saat ini.
Dalam dua hari terakhir, video-video pengibaran bendera One Piece menjadi viral. Di Surabaya, mahasiswa mengibarkannya dengan tambahan tulisan “Kami muak dibajak.” Di Yogyakarta, sebuah konser indie menjadi panggung bagi spanduk bertuliskan “Pemerintah Dunia ada di sini.” Di Jakarta, seorang penonton konser terlihat membentangkan kain besar bergambar tengkorak dengan caption: “Bajak laut melawan bajingan.”
Kementerian Pemuda dan Olahraga belum merespons fenomena ini. Namun sejumlah elite politik mulai merasa risih. Beberapa menyatakan bahwa anak muda sebaiknya tidak menggunakan simbol asing dalam protes. Mereka menyarankan agar protes dilakukan dengan cara-cara yang lebih formal. Tapi justru di situlah akar persoalannya: saluran formal sudah dianggap tidak mampu menyerap aspirasi. Ketika jalur formal kehilangan kepercayaan, maka budaya pop masuk dan mengambil alih ruang ekspresi.
Bukan kali pertama budaya pop digunakan sebagai alat politik. Sejarah mencatat bagaimana poster Che Guevara pernah menjadi simbol revolusi di berbagai belahan dunia. Lagu-lagu Bob Dylan menjadi nyanyian protes di Amerika. Film Joker bahkan menginspirasi sejumlah demonstrasi karena menggambarkan tumpukan frustrasi masyarakat terhadap sistem sosial yang timpang. Kini, di Indonesia, anime menjadi bahasa yang lebih jujur dibanding debat-debat politik yang kaku dan sarat kepentingan.
One Piece sendiri memiliki banyak elemen yang beresonansi dengan situasi Indonesia. Tokoh Luffy tidak tunduk pada aturan yang tidak adil. Ia melawan, bahkan ketika tahu peluangnya kecil. Ia memimpin bukan karena warisan, tetapi karena keberanian. Ia mengumpulkan teman-teman dari berbagai latar belakang, bukan karena kesamaan darah, melainkan karena kesamaan nilai: kebebasan, kesetiaan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Ini adalah narasi yang banyak anak muda rindukan di Indonesia—narasi yang terasa langka di tengah panggung politik yang penuh pewarisan jabatan dan manipulasi hukum.
Beberapa pengamat politik menyatakan bahwa fenomena bendera One Piece ini adalah bentuk kritik paling elegan yang pernah dilakukan generasi muda. Mereka tidak turun ke jalan dengan batu. Mereka tidak merusak fasilitas publik. Mereka hanya mengangkat bendera, dan membiarkan simbol itu berbicara. Ini adalah kritik diam yang lebih menusuk daripada orasi panjang.
Ketika hukum diubah demi satu nama, maka rakyat pun merasa berhak mengubah cara menyampaikan aspirasi. Ketika elite bicara tentang regenerasi, tapi hanya memunculkan keturunan sendiri, maka simbol bajak laut menjadi ejekan paling keras terhadap kata “regenerasi.”
Pakar budaya populer, seperti Dr. Ayu Wulandari dari UGM, menyebut bahwa munculnya simbol ini adalah bentuk kedewasaan kritik generasi muda. Mereka tidak lagi percaya pada retorika kosong. Mereka mencari narasi yang jujur. Dan anime, sebagai bentuk narasi alternatif, memberikan itu. “Dalam dunia Luffy, tidak ada Mahkamah yang bisa diatur. Dalam dunia Luffy, ketidakadilan ditantang, bukan dinegosiasikan,” kata Ayu.
Di media sosial, tagar seperti #BajakLautMelawan, #KamiAnakLuffy, dan #OnePieceForJustice sempat menjadi trending. Para netizen mengunggah foto mereka membawa bendera One Piece di berbagai lokasi, dari kafe, kampus, hingga acara musik. Mereka menyelipkan kritik di caption, seperti “Kalau hukum dibajak, kami pun jadi bajak laut” dan “Luffy tidak butuh koneksi, hanya keberanian.”
Yang lebih menarik adalah bagaimana simbol ini menyatukan berbagai kelompok. Dari penggemar anime hingga aktivis kampus, dari mahasiswa hukum hingga seniman jalanan—semuanya menemukan simbol yang sama. Ini bukan sekadar fandom, tapi bentuk kesadaran kolektif yang menjadikan budaya pop sebagai alat demokrasi.
Tentu saja, ada yang mencoba meremehkan fenomena ini. Sejumlah tokoh menyebutnya sebagai bentuk ketidakseriusan. Tapi bukankah ironi adalah bentuk kritik paling halus? Dalam sejarah, satire selalu lebih ampuh dari pidato formal. Ketika rakyat tertawa dalam marahnya, itu adalah tawa yang mematikan.
Fenomena ini juga bisa dilihat sebagai bentuk kritik terhadap sistem pendidikan politik yang gagal. Anak muda tidak menemukan inspirasi dalam pelajaran PPKn, tapi menemukannya dalam perjuangan Luffy melawan Enies Lobby. Mereka tidak percaya pada pidato pejabat, tapi percaya pada komitmen Zoro untuk tidak pernah mengkhianati kaptennya. Ini bukan kegagalan generasi, ini adalah kegagalan sistem.
Tak hanya di Indonesia, simbol perlawanan yang berbasis budaya pop sudah menjadi bagian dari pergerakan global. Di Hong Kong, para demonstran mengenakan topeng dari film V for Vendetta. Di Myanmar, simbol tiga jari dari Hunger Games menjadi ikon perlawanan terhadap junta militer. Maka tak mengherankan jika di Indonesia, bajak laut menjadi representasi moral yang lebih dipercaya dibanding politisi dengan jas rapi.
Dalam konteks ini, Gibran bukanlah pusat masalah. Ia hanyalah simbol dari sistem yang lebih besar: sistem pewarisan kekuasaan yang dibungkus dalam bahasa demokrasi. Masalahnya bukan pada pribadi, tapi pada mekanisme yang memungkinkan seseorang melompati proses hanya karena nama belakangnya. Dan di sinilah bendera One Piece memainkan perannya: ia mengingatkan bahwa keadilan bukan ditentukan oleh siapa yang paling dekat dengan istana, tapi oleh siapa yang paling siap bertarung untuk rakyat.
Dari sudut pandang komunikasi politik, fenomena ini adalah bentuk reframing. Anak muda merebut narasi, bukan dengan jargon politik lama, tapi dengan simbol baru yang lebih mudah dicerna dan lebih jujur. Mereka tahu bahwa bendera itu tidak akan mengubah undang-undang. Tapi mereka juga tahu, perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil yang jujur.
Jika negara bijak, maka simbol ini akan dijadikan refleksi. Tapi jika negara angkuh, maka simbol ini akan dibungkam. Sejarah telah menunjukkan, membungkam simbol hanya akan memperkuat maknanya. Membakar bendera One Piece di jalanan tidak akan memadamkan maknanya—justru mempertegas bahwa kekuasaan takut pada simbol yang tak bisa mereka kontrol.
Dalam dunia One Piece, mimpi adalah kompas. Dalam dunia kita, mimpi tampaknya sedang dibatasi oleh silsilah. Tapi anak muda selalu punya cara untuk melawan. Jika jalan formal ditutup, mereka akan berlayar di jalur baru. Jika suara mereka dibungkam, mereka akan bicara lewat bendera, lagu, meme, dan tawa yang getir.
Ini bukan soal anime. Ini soal pesan. Dan pesan itu sudah jelas: generasi muda tidak sebodoh yang kalian kira.
Mereka tidak sekadar menonton One Piece. Mereka memahami pesannya. Dan kini, mereka menjadikannya bahasa.