Adam di Ambang Nafas dan Keabadian

Di sebuah desa yang retak oleh waktu dan terbelah oleh nasib, hidup seorang lelaki bernama Adam—ia bukan nabi, tapi setiap detiknya adalah pengasingan dari surga kecil yang dulu ia impikan.

Ia acapkali duduk bersila di perempatan jalan, bukan sekadar di persimpangan batu dan tanah, melainkan di persimpangan takdir dan keyakinan yang saling bertabrakan. Di matanya ada semesta kecil yang tak henti-hentinya berkedip, pantulan langit yang retak dan jejak masa lalu yang mengendap di dasar pupilnya. Ia menatap tanpa benar-benar melihat, seakan mencari jawaban di antara serpihan bayangan waktu.

Angin menyusup ke pori-pori malam, membawa bisikan lirih dari relung hatinya yang luka, namun belum mati. Dalam lirih itu terdengar lantunan, bukan nyanyian merdu, tetapi mantra hidupnya: “Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin.”

Kalimat itu menggema dalam dadanya seperti genderang perang, mengetuk pintu-pintu kejujuran yang lama terkunci rapat. Ia menggumam berulang-ulang, bukan karena lupa, tetapi karena takut—takut bahwa lisannya lebih cepat daripada imannya, bahwa ucapannya hanya gema kosong dari lubuk yang belum sepenuhnya tunduk.

Adam duduk dalam sunyi yang lebih bising daripada keramaian, dalam diam yang lebih ramai daripada pasar dunia. Ia bergumul dengan cermin tak terlihat, bertanya dalam hati yang luka, “Benarkah aku ini hamba, atau hanya bayangan dari hamba yang dulu pernah percaya?”

Dalam setiap gerakan sholat, Adam merasakan sungai es keyakinan membanjiri kalbunya. Ia menghembuskan niat (nusukī) yang tulus, menyelimuti hatinya seperti kabut di pegunungan.

Namun, ketika ia menunduk, ia mendapati serpihan retak di dalam dirinya—ego yang terluka, ambisi yang menyelinap, dan pikiran kecil yang ingin dikenang. “Aku berdiri di ambang antara nafas fana dan keabadian,” bisik Adam. “Apakah rinduku pada dunia fana berarti aku belum melepaskan diri sepenuhnya?”

Adam menengadah, matanya tertuju pada remang-remang lampu di masjid yang meneteskan keheningan panjang. Ia menyadari: maḥyāya wa mamātī—hidup dan mati—adalah bagian dari persembahan. Namun di sudut pikirannya, ada jeritan kecil yang berkata, “Ini untukku,” disusul suara lembut yang berbisik, “Ini hanya untuk-Nya.”

Seperti daun gugur yang terombang-ambing, Adam bergumul antara kerinduan akan dunia dan panggilan yang abadi. Ia merasakan retakan tipis pada kesadarannya—pecah namun indah—yang menunjukkan bahwa kesempurnaan bukan tentang tanpa retak, melainkan tentang pengakuan atasnya.

Saat ia membaca bacaan tasbih di bibirnya, Adam pun tersadar: suaranya suci, namun pikirannya terperangkap dalam gosip semalam, rasa lapar untuk dipuji, dan kehadiran tren maya yang dingin. Di sanalah kontradiksi muncul: syahdu di bibir, namun kotor di sudut hati.

Namun dalam keremangan samadhi, ia mendengar gema lillāhi rabbil ‘ālamīn—seperti ombak abadi yang menegaskan: setiap ritus, sembelihan batin, hela nafas, dan bebatuan di hatinya, semuanya menyatu dalam persembahan untuk-Nya.

Adam bertanya dalam dirinya, “Apakah aku benar-benar telah menyerahkan diri, atau hanya menciptakan ilusi penyerahan?”

Adam memahami satu hal: kontradiksi ini bukan untuk diberantas, melainkan untuk dirangkul. Kolbu yang retak—yang mengenali hasrat kecil, keinginan untuk dipuji, dan ketakutan akan kesepian—justru kolbu yang paling mungkin bersandar dalam hadirat-Nya.

Dan di sanalah Adam memilih menanggalkan zirah kesadarannya sendiri, melepaskan topeng dan segala kepura-puraan. Ia menyerahkan setiap denyut, setiap retak, setiap niat—baik yang suci maupun yang samar—kepada Sang Pemilik Kehidupan dan Kematian. (*)


Editor: Muhammad Farhan Azizi

Suara Serupa

Tinggalkan Balasan