Kambing Hitam: Mekanisme Menyalahkan Orang Lain

Manusia secara alami mencari cara untuk menjaga citra diri, mengelola kecemasan, dan menjelaskan kejadian negatif. Ketika seseorang kerap kali memindahkan tanggung jawab, menyalahkan orang lain atau lingkungan—alih-alih melihat kontribusinya sendiri—maka di situ muncul pola kepribadian yang sering melakukan pengkambinghitaman (“kambing hitam”). Orang seperti ini tidak sekadar melontarkan tuduhan acak, melainkan menjalani dinamika psikologis yang dalam: mereka menghadapi rasa bersalah, kerentanan ego, dan kebutuhan untuk merasa aman secara internal—namun memilih strategi pertahanan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Bayangkan seseorang yang menghadapi kegagalan atau konflik interpersonal. Alih‑alih mempertanyakan: “Apakah saya telah berkontribusi pada situasi ini?” ia segera menunjuk pihak lain sebagai penyebab utama: “Ini karena kamu,” “Itu karena mereka,” atau “Lingkungan saja yang tidak mendukung.” Dengan demikian, ia menjaga citra dirinya tetap bersih, dan menghindari rasa malu atau ketidakmampuan. Namun di balik tindakan ini, ada mekanisme psikologis yang bekerja: atribusi kegagalan ke eksternal, proyeksi isi‑emosional yang tidak diakui ke pihak lain, serta kebutuhan ego untuk mempertahankan kontrol sosial dan internal.
Mekanisme atribusi memainkan peran besar. Kajian tentang Self‑Serving Bias (tendensi mengatribusi keberhasilan ke diri sendiri dan kegagalan ke faktor eksternal) menunjukkan bagaimana orang secara otomatis berusaha melindungi harga diri mereka. Misalnya, penelitian yang dilakukan di China menunjukkan bahwa ketika hasil prestasi siswa diungkap publik, mereka yang hasilnya buruk cenderung menggunakan atribusi eksternal secara lebih intensif. (SpringerOpen) Juga, artikel yang membahas self‑serving bias secara umum menegaskan bahwa bias ini mencegah refleksi diri dan menyebabkan kita “menyalahkan orang lain ketika gagal”. (Scribbr)
Dalam konteks blame shifting, pengkambinghitaman tidak hanya soal menyalahkan orang lain, tetapi juga soal menjaga rasa kontrol dan moralitas pribadi. Penelitian “A dual‑motive model of scapegoating: displacing blame to reduce guilt or increase control” menegaskan bahwa dua motif utama muncul: menjaga nilai moral diri (menghindari rasa bersalah atas hasil buruk) dan menjaga rasa kontrol (mencari penjelasan yang jelas agar situasi yang tampak kacau menjadi dapat diterima). (PubMed) Dengan kata lain: saat seseorang merasa gagal, ia bisa memilih untuk mengakui kegagalan tersebut—atau memindahkannya ke pihak lain dan dengan demikian tetap merasa “benar”.
Dari segi kepribadian, orang yang sering melakukan pengkambinghitaman cenderung memiliki ciri‑ciri tertentu. Mereka mungkin memiliki empati yang terbatas, tingkat kerentanan ego yang tinggi, dan mungkin orientasi dominasi sosial atau manipulatif. Sebagai contoh, penelitian “The Dark Side of Leader Narcissism …” menemukan bahwa pemimpin dengan karakter narsistik (termasuk rivalitas narsistik) cenderung melakukan “abusive supervision” dan memindahkan beban ke bawahannya. (SpringerLink) Ini menunjukkan bahwa trait kepribadian seperti narsisme, antagonisme, atau kebutuhan kontrol dapat memfasilitasi pola blame shifting.
Lebih jauh, dalam konteks keluarga, pola pengkambinghitaman sangat nyata. Anak sering kali dipilih sebagai “kambing hitam” oleh orang tua yang merasa tidak mampu mengelola konflik internal atau memiliki kerentanan kepribadian. Kajian “Parental Narcissism Leads to Anxiety and Depression in Children via Scapegoating” menunjukkan bahwa persepsi anak terhadap narsisme orang tua (baik grandiose maupun vulnerable) berkorelasi dengan peran scapegoat dan dengan gejala kecemasan dan depresi pada anak muda. (PubMed) Studi lain membahas dinamika dalam sistem keluarga Filipina, di mana seorang anak terus‑menerus menjadi sasaran disfavor oleh keluarga—menunjukkan bagaimana scapegoating melekat dalam pola hubungan. (sillimanjournal.su.edu.ph)
Ketika seseorang mengkambinghitamkan orang lain, interaksi interpersonalnya mengalami distorsi: ia enggan menerima tanggung jawab, enggan introspeksi, dan lebih memilih narasi eksternal yang menolak kelemahan diri. Hal ini akan menghambat pertumbuhan pribadi, karena belajar dari kesalahan memerlukan pengakuan bahwa kita punya andil dalam masalah. Selain itu, lingkungan sosialnya menjadi kurang sehat: orang lain bisa merasa tidak dihargai, diabaikan, atau terus‑menerus menjadi target kritik yang tidak adil. Akibatnya, muncul konflik, alienasi, atau dinamika toksik.
Pada level sosial atau organisasi, blame shifting juga memiliki konsekuensi berat. Budaya “blame culture” (budaya saling menyalahkan) di pekerjaan atau kelompok menyebabkan keputusan yang buruk karena fokus bukan pada penyelesaian masalah tetapi pada siapa yang akan disalahkan. Entry ensiklopedia tentang scapegoating dalam Crisis Management menjelaskan bahwa organisasi, ketika menghadapi krisis, kerap memilih mencucikan dirinya dengan menunjuk pihak lain sebagai kambing hitam agar reputasi atau tanggung jawab mereka tetap aman. (SAGE Journals)
Maka, mengenali pola ini dalam diri seseorang atau dalam lingkungan kita menjadi penting. Tanda‑tanda mencolok termasuk: seseorang konsisten menolak mengambil tanggung jawab; ketika hal buruk terjadi, ia segera menunjuk pihak lain; dalam atribusinya sering muncul “kalau saja mereka…” atau “karena mereka…”; sedikit atau tidak ada refleksi diri; dan sering menggunakan defensif tinggi ketika ditegur. Memahami mekanisme di balik ini—seperti proyeksi (mengatribusi ke orang lain sifat, dorongan atau emosi yang tak ingin diakui dalam diri)—adalah kunci. Contohnya, sebuah artikel open access tentang “Projection as a psychological defense mechanism” mencatat bahwa tingkat penggunaan mekanisme proyeksi berkorelasi dengan rendahnya harga diri. (journals.uran.ua)
Penanganan pola ini dimulai dari peningkatan kesadaran diri: individu perlu belajar mengenali bahwa respons pertama mereka terhadap kegagalan atau kritik adalah sering “menyalahkan orang lain.” Terapi atau konseling bisa membantu membuka jalur introspeksi: mengapa saya merasa tidak nyaman atau gagal—apakah karena saya kurang persiapan? Apakah karena saya terlalu mengandalkan orang lain? Apa kontribusi saya? Di lingkungan organisasi atau tim, penting membangun budaya terbuka yang menekankan pembelajaran dari kesalahan, bukan mencari kambing hitam. Lingkungan yang aman untuk diskusi kesalahan tanpa penghukuman individual cenderung lebih produktif dan harmonis.
Kepribadian yang sering mengkambinghitamkan orang lain adalah kepribadian yang sangat terstruktur oleh kebutuhan menjaga citra diri, menghindari tanggung jawab, dan mempertahankan kontrol interpersonal. Meskipun strategi ini tampak “aman” bagi ego, pada kenyataannya ia justru menghambat pertumbuhan pribadi, merusak hubungan, dan menciptakan budaya sosial yang tidak sehat. Memahami akar psikologis, mekanisme atribusi, dan dinamika relasionalnya memungkinkan kita mengenali serta merespons pola ini—baik dalam diri sendiri maupun ketika menemukannya di orang lain.
Daftar Rujukan
- Alvarez, M.H.U., & Limbadan, N.Z. (2022). Dynamics of Scapegoating in Family Systems. Silliman Journal, 57(3). Open Access. (sillimanjournal.su.edu.ph)
- Arnold, J. D. (1982). Family Scapegoating and Adolescent Development. Dissertation, Univ. of New Hampshire. Gratis/downloadable. (scholars.unh.edu)
- Gauglitz, I.K., Schyns, B., Fehn, T. et al. (2023). The Dark Side of Leader Narcissism: The Relationship Between Leaders’ Narcissistic Rivalry and Abusive Supervision. Journal of Business Ethics, 185, 169‑184. Open Access. (SpringerLink)
- Holmes, D. S. (1978). Projection as a defense mechanism. Psychological Bulletin, 85(4):677‑688. (While the full text may require access, the abstract and summary are accessible.) (ResearchGate)
- Jones, B. (2022). “Who we are” and “Who we Blame”: A Social Identity Model of Scapegoating (SIMS). Open Research Repository, Australian National University. (Open Research Repository)
- Newey, C. A. (2016). Fairness as “Appropriate Impartiality” and the Problem of the Self‑Serving Bias. Ethical Theory and Moral Practice, 19, 695‑709. Open Access. (SpringerLink)
- Poljak Lukek, S., Pate, T., & Gostečnik, C. (2023). Physical Violence and Scapegoating Within the Family: An Exploration of Biblical Texts and Contemporary Psychology. Journal of Religion and Health, 62(4), 2638‑2655. Open Access. (PMC)
- Tohtamysh, O. M. (2015). Projection as a psychological defense mechanism and its relation to the self‑perception of the individual. ScienceRise, 5(1(10)). Open Access. (journals.uran.ua)
- Von Hippel, W., Shakarchi, R., & Lakin, J. (Working Paper). Self‑Serving Bias and Self‑Deception. Open access working paper. (Mercatus Center)
- Wen, S. (2018). The effect of result publicity on self‑serving attributional bias — a social comparison perspective. Frontiers of Business Research in China, 12:7. Open Access. (SpringerOpen)