ADVERTISEMENT

Ratapan Empu di Tungku Ilmu

Ilustrasi Ratapan Empu di Tungku Ilmu
Ilustrasi Ratapan Empu di Tungku Ilmu

Ratapan Empu di Tungku Ilmu

Wahai, Empu di tungku kalbu,
Menempah insan, bukan semata besi,
Dengan lelah palumu beradu,
Agar pilar nusa tegak berdiri,
Menjulang adab, akal bestari.

Namun, Tuan, tilik apimu nan redup,
Tatkala tungku lain riuh berdentang,
Mengapa perapianmu kian sayup,
Dan periuk di dapur hanya berisi jelaga lengang?Engkau cipta emas, namun kau genggam arang.

Engkaulah dian di malam gulita,
Menyebar suluh bagi jiwa dahaga,
Membakar diri demi seberkas cita,
Agar tak rabun tunas-tunas bangsa.
Akan tetapi, minyakmu kian sirna,
Siapa gerangan pengisi labu-labu hampa?

Duhai, Tuan di singgasana gading,
Pujian beruntai bukan pengisi piring.
Hingga kapan empu menahan hening,
Sedang palunya kian hari kian sumbing?
Jika api di tungku ini padam dan kering,
Dengan apa kelak nusa ini kau tempa,
Tuan, dengan apa kau bimbing?

Gema dari Tungku Sunyi

Tiada lagi denting di tungku baja,
Palu sang empu tergeletak kelu,
Bara menjadi abu, janji menjelma debu,
Sebab sang empu lelah menunggu.

Dian di penjuru negeri mulai goyah,
Jilat apinya kian hari kian melemah,
Ditelan jelaga dari periuk nan rekah,
Tunas-tunas kini meraba dalam gelap buta,
Mencari arah tanpa suluh pembawa warta.

Tangan penempa jiwa, kini mengais sisa,
Meninggalkan bilah pusaka setengah jadi,
Demi sesuap nasi, demi harga diri,
Ilmunya terbuang di pasar duniawi,
Terjual murah, tergadai tak bertepi.

Maka lihatlah, Tuan, dari atas takhta,
Pusaka-pusaka sumbing tanpa makna,
Insan-insan rapuh tanpa tempaan sukma.
Jika tungku telah dingin dan empu telah sirna,
Warisan apa yang kelak kau sebut “Indonesia”?

Taman Pustaka Layu

Benih aksara yang dulu ditabur,
Kini tumbuh liar tanpa junjungan,
Menjadi rimba kata nan subur,
Namun buahnya getir, penuh kebingungan.

Taman pustaka tak lagi terawat,
Gulma kejahilan merajalela,
Pohon-pohon ilmu doyong sekarat,
Sebab sang pekebun telah berputus asa.

Kumbang-kumbang muda terbang gamang,
Mencari sari di kelopak nan kuncup,
Yang mereka hisap hanya embun lengang,
Dari bunga pengetahuan yang telanjur redup.

Titah dari Menara Gading

Dari menara gading, titah bergema,
Warta tentang kemajuan semu,
Mereka puji rimbunnya aksara,
Tanpa tahu akarnya lapuk dan layu.

Arca-arca pujian ditempa berkilat,
Untuk para empu yang tak lagi di tungku,
Nama mereka dielu, disanjung khalayak,
Namun jasad mereka menanggung pilu.

“Lihatlah!” seru Tuan dari singgasana,
“Negeri ini adiluhung berkat jasa!”
Tapi di bawah, gema hanya hampa,
Sebab adab telah menjadi keranda.

Jejak Empu di Pasir Waktu

Kini Tuan gamang dalam termangu,
Mencari bayang sang empu nan hilang,
Hanya jejaknya tersisa di pasir waktu,
Segera terhapus oleh badai nan garang.

Mereka bertanya pada angin petang,
“Di mana gerangan sang penempa jiwa?”
Angin hanya membawa kidung lengang,
Tentang dian yang padam karena sia-sia.

Palu dan landasan ditemukan berkarat,
Buku-buku tua lapuk dimakan zaman,
Ilmu sang empu menjadi hikayat,
Sebuah dongeng sebelum tidur, tanpa tuntunan.

Pusaka Arang di Negeri Ilang

Maka inilah warisan yang tertinggal,
Bukan keris sakti berbisa di pinggang,
Bukan pula permata di ujung bekal,
Hanya pusaka arang di negeri nan ilang.

Generasi baru memegang arang itu,
Menggores dinding dengan gambar cabuh,
Sebab tak ada lagi yang mengajarinya mutu,
Bagaimana menempah baja hingga teguh.

Mereka menari di atas tungku yang dingin,
Menjadikan abu sebagai bedak kebanggaan,
Menyebut kebodohan sebagai angin,
Yang membawa mereka pada kebebasan.

Warisan Api atau Abu?

Di sudut sunyi, seorang tunas termangu,
Menatap tungku yang telah menjadi nisan,
Ia dengar bisik dari masa lalu,
Tentang api, palu, dan sebuah pengabdian.

Di tangannya tergenggam sekilau bara,
Sisa dari api sang empu terakhir,
Di hadapannya terhampar abu dan lara,
Sebuah takdir yang getir untuk dipikir.

Beranikah ia meniup bara di kalbu,
Menyalakan kembali tungku yang telah mati,
Dan menanggung nasib serupa pendahulu?
Atau membiar abu menjadi warisan sejati?

Mojokerto, 2025


Editor: Andi Surianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *