ADVERTISEMENT

Ketimpangan yang Mengakar: Mengapa Miskin Tetap Miskin dan Kaya Tetap Kaya?

Ketimpangan yang Mengakar: Mengapa Miskin Tetap Miskin dan Kaya Tetap Kaya?
Eat the rich. Feed the poor (unsplash.com/@giobartlett)

Di balik slogan-slogan pembangunan dan janji-janji pemerataan, realitas ketimpangan ekonomi tetap menjadi benang merah sejarah sosial umat manusia. Di Indonesia, ketimpangan ini bukan hanya statistik, melainkan wajah keseharian yang nyata: anak petani tetap menjadi buruh tani, anak konglomerat tetap mewarisi pabrik, aset, dan koneksi kekuasaan. Fenomena ini bukan kebetulan, bukan pula semata-mata hasil dari kegigihan atau kemalasan individu. Ketimpangan yang mengakar ini merupakan hasil dari sistem sosial, ekonomi, dan kebijakan publik yang secara struktural memelihara privilese dan meminggirkan kelompok rentan. Dalam opini ini, kita akan mengurai penyebab utama mengapa masyarakat miskin tetap miskin dan yang kaya tetap kaya, dengan bersandar pada data, teori, dan realitas empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.

Warisan Ketimpangan Struktural

Ketimpangan ekonomi di Indonesia merupakan produk sejarah panjang kolonialisme, feudalisme, dan kapitalisme global. Menurut riset Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014), ketimpangan adalah karakter bawaan dari kapitalisme apabila tidak diimbangi oleh kebijakan redistributif yang kuat. Di Indonesia, ketimpangan bukan hanya karena disparitas penghasilan, tetapi terutama karena ketimpangan kepemilikan aset, terutama tanah dan modal.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kelompok 10% terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 77% kekayaan nasional. Sementara itu, kelompok 40% terbawah hanya mengakses kurang dari 1% kekayaan. Dalam studi yang dilakukan World Bank (2020), disebutkan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia tetap tinggi dengan indeks Gini Ratio yang masih berkisar di atas 0,38—angka yang mencerminkan distribusi pendapatan yang tidak merata.

Ketimpangan ini bersifat lintas generasi. Anak-anak dari keluarga miskin cenderung tetap miskin karena menghadapi keterbatasan akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses ke sekolah elite, pelatihan, koneksi sosial, dan bahkan peluang kerja melalui jaringan keluarga. Mobilitas sosial yang rendah ini ditegaskan dalam laporan World Inequality Lab (2022), yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem sosial yang lemah dalam menjamin keadilan distribusi akan cenderung mempertahankan status quo ketimpangan.

Ketimpangan Akses terhadap Pendidikan

Pendidikan adalah kunci mobilitas sosial, tetapi dalam realitas sosial-ekonomi Indonesia, akses terhadap pendidikan berkualitas sangat ditentukan oleh latar belakang sosial ekonomi. Studi SMERU Research Institute (2021) menunjukkan bahwa anak-anak dari rumah tangga miskin lebih mungkin mengalami putus sekolah, memiliki prestasi akademik yang lebih rendah, dan lebih sedikit mengakses jenjang pendidikan tinggi dibandingkan anak-anak dari rumah tangga kaya.

Kesenjangan ini bukan hanya karena masalah biaya langsung seperti uang sekolah, tetapi juga karena faktor-faktor tidak langsung seperti nutrisi yang buruk, minimnya akses terhadap bimbingan belajar, lingkungan belajar yang tidak kondusif, dan tekanan ekonomi untuk bekerja sejak dini. Sistem zonasi sekolah, yang pada mulanya dimaksudkan untuk pemerataan kualitas pendidikan, justru memperkuat segregasi berdasarkan kelas sosial, karena kualitas sekolah negeri masih sangat bervariasi antarwilayah.

Ketimpangan pendidikan ini pada akhirnya berdampak pada ketimpangan penghasilan. Menurut laporan OECD (2022), lulusan pendidikan tinggi di Indonesia berpeluang memperoleh penghasilan 2–3 kali lipat lebih besar dibandingkan mereka yang hanya menempuh pendidikan dasar. Ketika akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas hanya dimiliki oleh kelompok kaya, maka kesempatan untuk memperbaiki nasib bagi kelompok miskin menjadi semakin tertutup.

Ketimpangan dalam Dunia Kerja dan Pasar

Pasar tenaga kerja Indonesia juga masih sangat timpang. Data dari BPS (2023) menunjukkan bahwa mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor informal dengan tingkat upah rendah, tanpa jaminan sosial atau perlindungan ketenagakerjaan. Sementara itu, kelompok kaya lebih banyak mengakses pekerjaan formal, manajerial, dan profesional yang menawarkan upah tinggi serta stabilitas kerja.

Lebih jauh lagi, ketimpangan ini diperparah oleh kebijakan ekonomi makro yang cenderung berpihak kepada pemilik modal besar. Misalnya, insentif fiskal dan perpajakan lebih banyak diberikan kepada korporasi besar dibandingkan kepada pelaku usaha mikro dan kecil. Ini mengulangi paradoks klasik: “Yang kuat semakin diberi kekuatan, yang lemah semakin ditekan beban.” Studi dari Indonesia Corruption Watch (2023) bahkan menyebut bahwa regulasi kerap kali dibuat sesuai kepentingan elite ekonomi-politik, bukan keberpihakan terhadap rakyat miskin.

Akses Terhadap Modal dan Kredit

Masalah lain yang krusial adalah akses terhadap modal. Dalam sistem ekonomi berbasis kapital, memiliki modal adalah kunci untuk membangun usaha dan memperbesar kekayaan. Namun, akses terhadap modal sangat terbatas bagi masyarakat miskin. Bank cenderung lebih mudah memberikan kredit kepada mereka yang sudah memiliki aset atau jaminan. Sementara itu, kelompok miskin seringkali dianggap “berisiko tinggi” dan tidak bankable.

Program-program bantuan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau pembiayaan ultra mikro memang telah berjalan, namun belum mampu mengatasi ketimpangan secara struktural. Menurut laporan dari TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2022), banyak pelaku usaha kecil yang tetap berada dalam lingkaran stagnasi karena minimnya pembinaan, pendampingan, dan akses pasar. Tanpa keberpihakan kebijakan yang lebih kuat, program seperti KUR hanya menjadi tambal sulam di tengah sistem ekonomi yang tidak inklusif.

Reproduksi Kekayaan melalui Warisan dan Jaringan

Salah satu alasan mengapa orang kaya tetap kaya adalah karena kekayaan tidak hanya dihasilkan, tetapi juga diwariskan. Menurut laporan Oxfam (2021), kekayaan keluarga superkaya sering kali tidak berasal dari hasil kerja, melainkan dari akumulasi aset dan warisan. Anak-anak dari keluarga kaya mewarisi properti, bisnis, saham, bahkan posisi strategis di lembaga pemerintahan atau perusahaan. Aset ini tidak hanya bernilai ekonomi, tetapi juga menciptakan jejaring kekuasaan yang memperkuat dominasi mereka dalam pengambilan keputusan publik.

Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai “reproduksi sosial”, yaitu bagaimana kelas sosial atas mempertahankan dominasinya melalui transfer modal ekonomi, kultural, dan simbolik lintas generasi. Di Indonesia, ini terlihat jelas dalam pola pewarisan politik dan bisnis yang bersifat oligarkis, seperti dalam keluarga-keluarga elite politik dan pengusaha besar.

Kebijakan Pajak dan Redistribusi yang Lemah

Di banyak negara, ketimpangan dapat ditekan melalui pajak progresif dan redistribusi yang efektif. Namun, sistem perpajakan di Indonesia belum mampu menjalankan peran ini secara optimal. Menurut laporan International Monetary Fund (2023), Indonesia termasuk negara dengan rasio pajak terhadap PDB terendah di kawasan ASEAN, yakni sekitar 10,4%. Pajak kekayaan, warisan, dan capital gain belum diberlakukan secara signifikan.

Selain itu, tingkat kepatuhan pajak di kalangan superkaya masih rendah. Dalam laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2022), ditemukan banyak kasus penghindaran pajak dan manipulasi laporan keuangan oleh korporasi besar. Ketika pajak tidak mampu menjadi alat pemerataan, maka jurang antara si kaya dan si miskin akan terus melebar.

Miskin Bukan Pilihan, Kaya Bukan Semata Prestasi

Penting untuk disadari bahwa menjadi miskin bukanlah pilihan, sebagaimana menjadi kaya bukan semata-mata hasil kerja keras individual. Sistem sosial dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk peluang hidup setiap individu. Dalam masyarakat yang sangat tidak merata, keberhasilan seseorang tidak lepas dari konteks sosial tempat ia dilahirkan.

Dalam riset World Bank (2016), disebutkan bahwa anak yang lahir dalam 20% keluarga termiskin di Indonesia hanya memiliki peluang 3,5% untuk mencapai kelompok 20% terkaya dalam hidupnya. Ini menegaskan bahwa mobilitas sosial sangat terbatas, dan bahwa sistem kita saat ini cenderung melanggengkan ketimpangan daripada menguranginya.

Membangun Sistem yang Lebih Adil

Memahami mengapa masyarakat miskin tetap miskin dan yang kaya tetap kaya adalah langkah awal untuk merumuskan solusi yang lebih adil. Ketimpangan bukanlah kutukan sejarah yang tak terhindarkan, melainkan hasil dari kebijakan dan sistem sosial yang bisa diubah. Dibutuhkan keberanian politik untuk melakukan reformasi agraria, sistem pajak progresif, jaminan sosial universal, dan redistribusi sumber daya secara adil.

Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan pendidikan dan kesehatan tidak hanya bersifat administratif, tetapi benar-benar menjadi instrumen transformasi sosial. Kesempatan harus dibuka seluas-luasnya, bukan hanya bagi mereka yang sudah punya modal, tetapi justru bagi mereka yang paling tertinggal. Hanya dengan begitu, kita bisa keluar dari paradoks sosial ini: sebuah masyarakat yang terus berkembang, namun tetap tidak adil.

Referensi:

  1. Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.
  2. World Bank. (2020). Indonesia Economic Prospects.
  3. BPS. (2023). Survei Sosial Ekonomi Nasional.
  4. OECD. (2022). Education at a Glance – Indonesia.
  5. SMERU Research Institute. (2021). Education Inequality in Indonesia.
  6. ICW. (2023). Laporan Keadilan Fiskal di Indonesia.
  7. Oxfam. (2021). Inequality Virus Report.
  8. TNP2K. (2022). Evaluasi Program KUR dan Ultra Mikro.
  9. IMF. (2023). Indonesia Fiscal Policy Review.
  10. KPK. (2022). Kajian Kepatuhan Pajak Korporasi.
  11. World Inequality Lab. (2022). Global Inequality Report.
  12. World Bank. (2016). Social Mobility and Opportunity in Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!