Wakil Menteri jadi Komisaris BUMN: Sinergi atau Konflik Kepentingan?

Fenomena banyaknya wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris BUMN akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam. Misalnya, Kompas mencatat bahwa hingga Juli 2025 sebanyak 26 wakil menteri aktif di Kabinet Prabowo-Gibran juga duduk sebagai komisaris atau komisaris utama di berbagai BUMN.
Penunjukan ini dilakukan melalui RUPS masing-masing BUMN, tapi memicu pertanyaan soal akuntabilitas dan independensi. Bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia kini menguji materi aturan yang melarang atau mengizinkan rangkap jabatan tersebut. Para pemohon menilai ketidakhadiran larangan eksplisit bagi Wakil Menteri membuka celah konflik kepentingan, mengancam keuangan negara, serta hak publik atas pemerintahan yang bersih.
Alasan Penunjukan Wakil Menteri di Dewan Komisaris
Pemerintah sering mengemukakan beberapa alasan penunjukan pejabat negara ke dewan BUMN. Salah satunya adalah pengawasan terkoordinasi. Sejak 1998 Indonesia membentuk Kementerian BUMN (MOSE) sebagai pemegang saham tunggal, dengan tujuan “menyelaraskan dan mengawasi” seluruh perusahaan pelat merah. Kementerian ini secara resmi berwenang mengusulkan nama-nama direktur dan komisaris BUMN berdasarkan kriteria fit-and-proper. Dalam praktiknya, penempatan Wakil Menteri di kursi komisaris dianggap dapat memperkuat keterhubungan kebijakan pusat dan BUMN.
Sebagai contoh, World Bank menyatakan bahwa dukungan tingkat tinggi pemerintah—seperti sang Perdana Menteri Malaysia—bahkan “memberi kredibilitas dan kekuatan” pada program reformasi BUMN, sekaligus memberikan transparansi dan akuntabilitas. Argumen ini menekankan bahwa keterlibatan pejabat tinggi dapat memastikan tujuan negara (misalnya pembangunan energi, infrastruktur, atau dukungan sektor strategis) diakomodasi di BUMN.
Selain itu, penunjukan wakil menteri secara tidak langsung dianggap sebagai insentif politik. Komisaris BUMN memperoleh gaji dan tantiem yang cukup tinggi, sehingga jabatan ini kerap dipandang sebagai suplemen remunerasi bagi pejabat negara.
Menurut kajian Transparency International, hal ini berpotensi menjadi bagian dari “pembagian kekuasaan” dalam birokrasi, meski tentu saja bertentangan dengan prinsip good governance. Namun, secara formal memang Kementerian BUMN berperan mengusulkan nama, dan praktik ini dianggap mendukung stabilitas tata kelola pelat merah.
Kritik Tata Kelola dan Pandangan Internasional
Di sisi lain, ahli tata kelola menyoroti risiko besar praktik ini. OECD dalam pedoman SOE-nya bahkan melarang menteri atau pejabat eksekutif pemerintah duduk di dewan SOE, karena akan menimbulkan keraguan atas independensi keputusan. Sebagai contoh, Finlandia secara eksplisit mengatur bahwa “menteri, anggota parlemen, dan pejabat senior” tidak boleh menjadi anggota direksi perusahaan milik negara.
Demikian pula banyak negara maju menganut prinsip “arm’s length” alias memisahkan secara jelas kekuasaan politik dan pengelolaan perusahaan. Di Selandia Baru, pemerintah menegaskan bahwa setiap BUMN beroperasi “pada jarak arm’s length dari pemerintah”, sehingga dewan Komisaris yang independen bertanggung jawab mengawasi manajemen perusahaan.
Secara nasional, Undang-Undang Pelayanan Publik No.25/2009 menyebut penyelenggara pelayanan publik (kategori yang dapat meliputi Wakil Menteri) dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat di BUMN/BUMD. Pandangan ini sejalan dengan teori demokrasi bahwa pejabat negara harus menghindari self-regulation, yaitu mengawasi kebijakan yang sebagian berada di bawah kekuasaannya sendiri. Para pengamat khawatir rangkap jabatan semacam ini menciptakan konflik kepentingan dan melemahkan checks and balances.
Studi internasional juga mendukung kekhawatiran tersebut. Misalnya, riset Bank Pembangunan Inter-Amerika (IDB) menunjukkan bahwa banyak dewan Komisaris BUMN di Amerika Latin diisi perwakilan menteri yang terlalu sibuk dengan tugas lain, sehingga pengawasan internal tidak efektif. Akibatnya, dewan BUMN seringkali hanya menjadi “rubber stamping” (sekadar menyetujui) keputusan pemerintah. Sebaliknya, negara-negara seperti Chile dan Peru memperoleh hasil lebih baik dengan menempatkan komisaris profesional dan independen (bukan politisi aktif) di dewan, yang dinilai lebih efektif dalam mengevaluasi dan memantau manajemen BUMN.
Contoh nyata di lapangan: gambar di atas melukiskan ruang rapat dewan komisaris BUMN. Menurut studi IDB, jika dewan tersebut diisi oleh wakil-wakil menteri yang padat jadwal, dewan itu cenderung melemah fungsi pengawasannya. Banyak komisaris menjadi sekadar penerus instruksi kementerian tanpa kontrol independen. Sebaliknya, model board profesional (seperti di Chile/Peru) mendorong tata kelola yang lebih transparan.
Praktik di Negara Lain
Berbagai negara memiliki pendekatan berbeda terhadap masalah ini. Di Finlandia dan Skandinavia, misalnya, undang-undang melarang sama sekali pejabat politik duduk di dewan SOE. Kebijakan tata kelola negara-negara OECD menganjurkan penunjukan komisaris berdasarkan kompetensi dan independensi.
Sebaliknya, di Malaysia praktik lama menempatkan politisi di jajaran GLC (perusahaan negara) baru-baru ini mulai dipertanyakan. Kode tata kelola Malaysia 2021 secara tegas merujuk OECD, menyatakan “orang-orang yang berkaitan langsung dengan kekuasaan eksekutif … tidak boleh duduk di dewan SOE”. Meskipun begitu, masih ada beberapa GLC (termasuk perusahaan terdaftar) yang dipimpin politisi aktif. Ini menunjukkan transisi menuju penerapan prinsip GCG, meski praktik lamanya masih ada.
Di Amerika Latin selain Chili/Peru yang sudah disebut, banyak negara dulu mengisi dewan SOE dengan wakil kementerian. Hasilnya serupa dengan LAC lain: dewan yang lemah pengawasan. Bank Dunia dan IDB mendorong professionalisasi dewan sebagai solusi.
Sebagai perbandingan, di AS atau Eropa Barat, struktur SOE biasanya lebih mirip perusahaan swasta: dewan independen mengawasi, dan pejabat pemerintah tidak rangkap jabatan. Sebagai contoh, sejak disahkan UU SOE 1986, Selandia Baru membentuk mekanisme yang memisahkan fungsi pemerintah (sebagai pemilik) dan dewan Komisaris.
Berdasarkan tinjauan di atas, praktik rangkap jabatan Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN memang dimaksudkan untuk memperkuat pengawasan dan integrasi kebijakan pemerintah. Namun, sejumlah panduan global justru sebaliknya. OECD dan studi internasional menekankan pentingnya dewan yang independen dari kekuasaan politik. Pengalaman berbagai negara menunjukkan tata kelola SOE terbaik dicapai ketika peran politik dan bisnis dipisahkan: pejabat pemerintah memberi mandat, sedangkan pelaksanaan pengawasan diserahkan kepada komisaris profesional.
Dengan demikian, meski melibatkan wakil menteri di dewan Komisaris bisa mendukung koordinasi kebijakan, sumber-sumber kredibel menekankan perlunya mekanisme yang menjaga independensi. Kuncinya adalah transparansi dan kepatuhan aturan (seperti UU Pelayanan Publik) serta penegakan prinsip checks and balances. Pilihan ke depan sebaiknya mengarah pada penempatan komisaris BUMN yang profesional dan berbasis kinerja, sesuai pedoman internasional tentang corporate governance, agar tujuan publik dapat tercapai tanpa mengorbankan integritas pengawasan.