Tata Krama Lokal dan Pengaruh Media Sosial

Masyarakat Sasak, khususnya di Kabupaten Lombok Utara, sangat mengedepankan tata krama. Tata krama atau sopan santun melekat menjadi bagian dari adat atau kebiasaan yang telah mashur sejak turun-temurun. Bahkan, muncul semboyan “Manusia tanpa adat berarti berkaki empat”, yang maksudnya adalah setiap orang yang tidak memiliki sopan santun sesuai dengan adat turun-temurun sama saja dengan hewan.
Di kampung saya, khususnya di beberapa tempat yang sama dengan kampung saya, memiliki cara pandang yang saya anggap termashur. Mengapa demikian? Karena di kampung saya, tata krama menjadi tolok ukur pandangan masyarakat kepada kaum terpelajar maupun yang tidak terpelajar. Tata krama menjadi pembentuk citra seseorang sehingga terlihat sangat bijaksana.
Meskipun saya berpikir lain, sebagian besar masyarakat memang benar adanya berpandangan demikian. Padahal, bisa saja yang terpelajar tidak lebih sopan daripada yang tidak terpelajar. Akan tetapi, poinnya adalah masyarakat Lombok Utara, yang biasa juga disebut dengan “Dayan Gunung”, khas dengan sopan santun yang dimiliki.
Secara pribadi, saya melihat akhir-akhir ini aktivitas di media sosial telah menggerus tata krama yang awalnya mashur menjadi tergusur. Kalangan tua, yang seharusnya menjaga erat tata krama warisan nenek moyang, ikut serta mengikuti arah perubahan zaman tanpa tersaring. Seluruhnya diambil tanpa menguatkan tata krama yang memang seharusnya tetap ada.
Terdapat pemisah di antara masyarakat meskipun tetap terjadi interaksi tanpa tatap muka. Pemisahnya adalah media sosial. Mengapa demikian? Karena lambat laun, setiap orang tidak terlalu mementingkan pertemuan secara nyata. Bahkan, sudah mulai terlihat di tengah masyarakat fenomena aktif di media sosial namun pasif di dunia nyata.
Telah terjadi semacam kamuflase. Seseorang yang tampaknya malu-malu berbicara, tidak berani ikut serta dalam kegiatan publik, di media sosial seolah tanpa halangan memperbanyak publikasi yang menunjukkan hal bertolak belakang dengan dirinya di dunia nyata.
Ada motivasi lain yang kemudian muncul. Hal itu dilakukan atas dasar keinginan memperoleh pendapatan. Untuk dapat mencapai keinginan tersebut, seseorang harus rajin memposting konten beberapa kali setiap hari.
Dengan memotret satu dua orang yang berhasil menikmati pemasukan tambahan di luar penghasilan utama setiap bulannya, seperti tanpa pikir panjang, orang-orang mulai bertingkah di luar kelaziman naluri, di luar kejernihan nalar, bahkan di luar nurani yang sesuai kebiasaan masyarakat Lombok Utara.
Masyarakat Kabupaten Lombok Utara sangat menjunjung tinggi norma kesopanan. Saling menghormati, menjaga kewibawaan, serta mempertahankan adat yang diturunkan oleh nenek moyang telah ditanamkan sejak masih kecil.
Selain banyaknya dampak positif yang diperoleh, jaringan media sosial juga memiliki satu hal negatif yang menggerogoti tata krama. Kecondongan terhadap hal-hal baik sebagaimana mestinya terkikis dengan sangat mudah.
Terutama perihal rasa malu, normalisasi terhadap hal tersebut mulai membalik keadaan hingga setengahnya. Apa yang tengah terjadi saat ini semacam erosi budaya masyarakat yang sesungguhnya. Apabila dianggap sedikit dari sisi budaya masyarakat ada yang keliru, maka tidak seharusnya diubah dengan kadar kekeliruan yang lebih luas.
Dalih kebebasan bukanlah sebab tata krama dapat ditinggalkan. Apabila terdapat sisi budaya yang dianggap rusak, maka tindakan tepat yang harus dilakukan ialah memperbaiki. Tatanan baru yang akan tercipta oleh karena media sosial tanpa pertimbangan menjaga marwah akan merugikan anak cucu.
Di media sosial, masyarakat bebas menggerutu, memancing emosi pihak-pihak tertentu. Kemudahan mengetuk dan mengetik yang bebas lepas itu, dengan atau tanpa disadari, banyak memicu kericuhan. Sedangkan di kehidupan sosial sehari-hari, di dunia nyata, keributan terjadi secara tiba-tiba sebagai efek asap dari media sosial.
Akibatnya, sebagian masyarakat merasa dirugikan oleh sebagian masyarakat yang lain. Hal itu kemudian memunculkan reaksi: sebagian mengkritik, sebagian memberi saran, dan sebagian lagi tampil sebagai pemberi wejangan.
Yang perlu dan sangat penting dilakukan sekarang ialah menyinkronkan perkembangan media sosial agar sejalan dengan pertumbuhan budaya masyarakat. Posisi media sosial harus diletakkan sebagai penyokong, bukan penyekat.
Penggunaan media sosial sebaiknya ditempatkan sesuai perannya sebagai media publikasi serta memperluas jangkauan informasi. Umumnya digunakan sebagai perantara promosi dan penyebaran sekaligus penyimpanan dokumentasi.
Jika tidak demikian, maka norma yang bermuara pada nilai luhur tata krama masyarakat Kabupaten Lombok Utara akan luntur dan terlibas habis. Karena perkembangan zaman modern sudah mengarahkan masyarakat untuk menjadi masyarakat digital.
Semua hal yang berkaitan dengan aktivitas sosial masyarakat tidak dapat terlepas dari penggunaan media sosial. Kenyataan tersebut menjadi penyebab masyarakat melakukan tatap muka dengan cara yang lain, juga dengan suasana yang lain.
Karena melalui perantara media sosial, masyarakat juga dapat melakukan tatap muka tanpa bertemu secara nyata. Namun, hal semacam itu menyebabkan wibawa seseorang dalam berbicara dengan sopan santun secara perlahan akan berkurang.
Akhirnya, mari kita jaga kemurnian tata krama kita. Ciri khas Kabupaten Lombok Utara adalah salah satunya keramahtamahan. Bukan menghindari perubahan sosial, tetapi berupaya untuk mampu beradaptasi agar perubahan sosial tidak berangsur-angsur menjadi masalah sosial. (*)
Editor: Muhammad Farhan Azizi