ADVERTISEMENT

Sekolah Rakyat: Menjahit Ulang Pendidikan dari Pinggiran

Ilustrasi Sekolah Rakyat
Ilustrasi Sekolah Rakyat

Dalam lanskap pendidikan Indonesia, Sekolah Rakyat muncul sebagai gerakan signifikan yang menjawab kebutuhan kelompok termarjinalkan. Meski angka partisipasi sekolah nasional tinggi, ketimpangan akses dan ancaman putus sekolah tetap nyata.

Berdasarkan Susenas Maret 2024 dari BPS, hanya sekitar 89,93 % siswa melanjut ke SMP dan 90,20 % ke jenjang SMA/SMK. Sementara data BPS juga mencatat angka putus sekolah tahun ajaran 2023/2024 sebesar 0,19 % untuk SD, 0,18 % untuk SMP, dan 0,19 % untuk SMA/SMK, sedangkan SMK mencapai 0,28 % (GoodStats).

Angka-angka ini, meski relatif kecil, menggambarkan tantangan sistemik—sebagian anak masih tercabut dari sistem pendidikan. Di sinilah Sekolah Rakyat hadir sebagai instrumen inklusi—platform alternatif yang mendobrak barikade administratif, biaya, dan jarak.

Menurut laporan Kemensos per Juli 2025, telah ada 63 titik sekolah rakyat yang mulai beroperasi, dan 37 titik tambahan menyusul hingga awal Agustus 2025. Total 159 titik yang tersebar di seluruh Indonesia ini diharapkan memenuhi kebutuhan 15.370 siswa, dengan dukungan 2.407 guru dan 4.442 tenaga kependidikan untuk tahun ajaran 2025/2026. Dari 9.705 siswa tahap pertama, 2.007 anak dan keluarganya telah diverifikasi menerima dukungan PBI-JK (jaminan kesehatan), sebuah intervensi terpadu dari pemerintah.

Sosiologi pendidikan mengajarkan bahwa akses pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan—melainkan redistribusi modal budaya dan simbolik. Pierre Bourdieu menekankan bahwa kualitas dan akses kontekstual menentukan mobilitas sosial.

Sekolah Rakyat, yang banyak digagas di wilayah pesisir atau kawasan terpencil, memberi pelajaran dengan konteks lokal—baik itu literasi lingkungan, ekosistem perairan, maupun praktek pertanian tradisional—yang meresap dalam pengalaman hidup anak-anak.

Dengan demikian, Sekolah Rakyat tidak hanya mengajarkan membaca dan berhitung, tetapi membekali mereka dengan modal kultural yang relevan dan membawa harapan mobilitas.

Secara pedagogis, Sekolah Rakyat memberikan fleksibilitas yang selama ini sulit ditemui di sekolah formal. Kurikulumnya masih berjejaring dengan Kemendikbudristek untuk memastikan ijazahnya setara, sekaligus memberikan ruang inovasi lokal.

Ini sejalan dengan konsep pendidikan kontekstual yang diusung Paulo Freire—belajar bukan hanya mentransfer fakta, tetapi membentuk kesadaran kritis. Dengan pendekatan problem-based learning yang meresapi realitas peserta didik, Sekolah Rakyat berpotensi membangun pendidik yang berdaya dan bermakna.

Namun, keberlanjutan kualitas program tergantung pada pelatihan guru, kapasitas infrastruktur, dan kesinambungan anggaran. Tanpa strategi yang kuat, pendekatan alternatif ini bisa justru mereproduksi ketidaksetaraan—menjadi solusi sementara, bukan struktural.

Penempatan di Bawah Kemensos

Menjadi perhatian bahwa Sekolah Rakyat ditempatkan di bawah Kementerian Sosial, bukan Kemendikbudristek. Dalam ranah policy, hal ini menimbulkan tiga isu utama.

Pertama, Paradigma Charity vs Empowerment. Posisi Sekolah Rakyat di bawah Kemensos bisa mengesankan bahwa pendidikan dianggap sebatas bentuk bantuan sosial jangka pendek, bukan hak konstitusional warga negara dan investasi jangka panjang. Hal ini melemahkan nilai emancipatory dari pendidikan, mengganti empowerment dengan sekadar kompensasi material.

Kedua, Tumpang Tindih Fungsi Lembaga. Pendidikan formal adalah domain Kemendikbudristek. Jika Sekolah Rakyat berada di bawah Kemensos tanpa mekanisme kolaborasi sistemik, berisiko menimbulkan fragmentasi kebijakan, standar kurikulum, dan sertifikasi.

Ketiga, Ketahanan Anggaran & Politika. Program sosial cenderung rentan terhadap perubahan politik dan prioritas anggaran. Pendidikan yang menuntut continuity dan stabilitas bisa terganggu jika bergantung pada agenda sosial jangka pendek.

    Jika tetap berada di Kemensos, program ini memerlukan desain kebijakan lintas kementerian: dukungan struktural Kemendikbudristek, fasilitas yang memadai, dan riset evaluatif. Tanpa itu, peluang sebenarnya untuk menutup kesenjangan pendidikan bisa hilang.

    Kolaborasi & Akuntabilitas Data

    Untuk memanfaatkan potensi Sekolah Rakyat secara penuh, negara harus membangun skema kolaborasi yang efektif:

    • BPS dan Susenas memberikan angka yang terbukti—seperti APS dan putus sekolah—yang bisa jadi dasar analisis, pemetaan, dan evaluasi kebijakan.
    • Kemendikbudristek harus memastikan kualitas kurikulum dan standar pengajaran terpenuhi.
    • Kemensos tetap memegang jaringan komunitas dan perlindungan sosial, untuk mendukung basis peserta dari kelompok rentan.
    • Peran masyarakat sipil dan LSM sangat penting dalam monitoring, pelatihan guru lokal, dan advokasi agar program tidak berhenti sebagai pilot.

    Pasalnya, jika sekolah formal ditinggikan tanpa menguatkan pendidikan inklusif, justru memperlebar kesenjangan sosial. Sekolah Rakyat bisa menjadi jembatan—jika dijalankan berintegrasi sistem, terus dievaluasi, dan diberi ruang berkembang.

    Hak, Bukan Derma

    Sekolah Rakyat merupakan jawaban konkret terhadap persoalan ketimpangan pendidikan di Indonesia. Data resmi BPS dan Kemensos menunjukkan bahwa anak-anak dari kelompok termiskin kini punya akses lebih terhadap ruang belajar. Namun tantangan tetap ada: memastikan sekolah ini tak sekadar alat charity, melainkan bagian integral dari sistem pendidikan yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan.

    Dengan penyelarasan kebijakan dan kolaborasi yang nyata antara Kemensos dan Kemendikbudristek, Sekolah Rakyat bisa mengobati luka struktural sistem pendidikan—menjahit ulang cita-cita pendidikan dari pinggiran negeri. Dan saat itu tercapai, Indonesia tidak hanya meraih angka partisipasi tinggi, tetapi juga keadilan sosial melalui pendidikan yang sejati.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Promo Spesial!

    Iklan

    Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!