Sahabat dari Balik Cermin

Terkadang, dunia menyimpan rahasianya di tempat paling tak terduga—di antara retakan yang nyaris tak terlihat, dalam bisikan yang hanya terdengar saat kita nyaris terlelap, atau bahkan di pantulan cermin yang selama ini kita kira tak lebih dari benda mati. Begitulah kisah ini bermula, bukan dengan perkenalan biasa, bukan pula dengan alur yang tenang. Ini adalah cerita tentang dunia yang tergelincir sesaat dari porosnya, saat dua alam bertemu bukan karena keinginan, tetapi karena kebutuhan.
Nayla, 13 tahun, tinggal di sebuah rumah tua peninggalan kakek-neneknya, yang terletak di lereng bukit di pinggir Desa Nyawang. Rumah itu dikenal penduduk sebagai ‘Rumah Jendela Delapan’, karena memiliki delapan jendela besar yang selalu tertutup rapat. Orang-orang tak banyak bicara tentang rumah itu, selain menganggapnya aneh, sepi, dan “terlalu banyak angin”. Tapi Nayla menyukainya. Ia justru menyukai keheningan dan bau kayu tua yang menguar dari lantai saat ia melangkah.
Sejak kedua orang tuanya pergi ke luar negeri untuk bekerja, Nayla tinggal bersama bibinya yang jarang di rumah karena bekerja sebagai perawat shift malam di rumah sakit kota. Praktis, Nayla banyak menghabiskan waktu sendirian—membaca, menggambar, dan menjelajahi rumah yang terasa seperti labirin sejarah. Namun satu ruangan selalu menarik perhatiannya: kamar loteng yang terkunci. Suatu hari, ia menemukan kunci tua di dalam pot bunga pecah. Kuncinya berkarat dan anehnya hangat saat disentuh, seolah benda itu menyimpan kenangan.
Saat pintu loteng terbuka, aroma debu dan waktu menyambut Nayla. Di tengah ruangan, berdiri sebuah cermin tinggi berbingkai kayu jati, setinggi orang dewasa, dengan retakan seperti guratan petir di sisi kanan atasnya. Tak ada yang istimewa—hingga malam datang.
Malam itu, hujan turun seperti langit patah. Angin berteriak di luar, dan lampu berkedip-kedip. Nayla menatap cermin. Awalnya hanya dirinya. Lalu—sekelebat bayangan, seperti seseorang berdiri di belakangnya. Tapi saat ia menoleh, tak ada siapa-siapa. Ketika kembali menatap cermin, gadis lain berdiri di sana. Tidak, bukan dirinya. Bukan pantulan. Gadis itu tersenyum.
“Hai,” katanya, suaranya seperti gema dalam botol kaca.
Nayla terpaku. “Siapa kamu?”
“Namaku Alira. Aku sudah lama di sini. Akhirnya kamu melihatku.”
Malam itu, dan malam-malam berikutnya, Nayla berbicara dengan Alira. Mereka berbagi cerita, tawa, dan rahasia. Namun yang membuat segalanya tak biasa adalah… waktu. Alira tahu hal-hal yang belum terjadi. Ia menyebutkan isi surat yang Nayla baru akan terima besok. Ia menyebutkan nama seorang anak baru yang akan pindah ke sekolah Nayla minggu depan. Setiap ramalannya tepat.
“Aku tidak melihat masa depan,” katanya suatu malam. “Aku hanya… hidup lebih lambat. Waktuku tertinggal dari duniamu.”
Apa artinya itu? Dunia lain? Masa lalu yang masih hidup? Pertanyaan itu menggelayuti pikiran Nayla, tapi ia tak pernah merasa takut. Alira adalah satu-satunya sahabat yang benar-benar memahami dirinya. Tak seperti teman-teman sekelasnya yang mengolok hobi menggambar monster dan membaca mitologi kuno, Alira mendengarkan, bahkan memperlihatkan gambar-gambar dari dunianya sendiri—coretan dengan bentuk-bentuk tak dikenal dan simbol aneh yang tampak hidup.
Kadang, Alira mengajak Nayla melakukan permainan di depan cermin: menulis nama satu sama lain dengan jari di permukaan kaca, lalu melihat tulisan itu bersinar perlahan dan menghilang. Atau saling bertanya teka-teki yang jawabannya hanya bisa ditemukan di mimpi. Dan yang paling ajaib, saat Alira menyanyikan lagu dari dunianya—lagu yang jika dinyanyikan di dunia Nayla, menyebabkan embun muncul di ruangan tertutup, seolah udara menangis.
Dunia yang Terbalik dan Waktu yang Retak
Semakin lama mereka berbincang, semakin aneh hal-hal yang Nayla alami. Buku-bukunya berpindah tempat. Gambar-gambarnya yang ia yakin belum ia buat sudah tergantung di dinding. Sekali waktu, ia bangun dan mendapati jam rumah berjalan mundur. Bahkan, suara-suara dari loteng terdengar saat malam hari—suara tawa yang samar, atau suara gesekan seperti ranting digoreskan ke kaca.
“Itu karena dua waktu kita mulai bercampur,” ujar Alira sambil duduk di sisi lain cermin, rambutnya yang panjang tampak bergerak seperti di bawah air. “Cermin ini bukan hanya pantulan. Ini adalah gerbang. Tapi gerbang tidak bisa terbuka terlalu lama.”
Nayla mulai mencatat setiap interaksi dengan Alira. Ia menggambar peta dunianya. Dunia Alira penuh anomali: bulan yang tenggelam saat fajar, pohon yang berbisik, dan anak-anak yang bisa memetik bintang. Dunia itu indah—namun juga sepi. Tak ada orang tua, tak ada suara ramai. Hanya anak-anak seperti Alira, yang juga tak tahu dari mana mereka datang. Dunia itu semacam ‘penampungan’ untuk jiwa-jiwa yang tertinggal.
“Di sini aku sendirian,” kata Alira. “Sama sepertimu di sana. Kita ini—pecahan dari sesuatu yang dulu satu.”
Suatu hari, Alira mengusulkan sesuatu yang mengejutkan. “Kamu bisa ke sini. Tapi hanya sekali. Dan hanya sebentar.”
Nayla ragu. Namun rasa penasaran lebih besar daripada rasa takut. Alira memintanya datang saat bulan merah muncul—fenomena yang hanya terjadi setahun sekali. Saat malam itu tiba, Nayla berdiri di depan cermin, dan Alira menjulurkan tangan.
Dingin. Dingin seperti salju pertama. Tapi nyata. Jari-jemari mereka bersentuhan, dan dalam sekejap, dunia runtuh seperti kertas terbakar.
Nayla terjatuh dalam kehampaan. Saat membuka mata, ia berdiri di dunia yang serba terbalik. Awan di bawah kaki. Rasi bintang membentuk kata-kata. Angin membawa melodi. Langkah pertamanya terasa seperti menginjak air, namun padat. Udara terasa manis seperti buah.
Alira menjemputnya. “Selamat datang di duniaku.”
Waktu di sana terasa seperti mimpi. Mereka berlari di ladang cahaya, bermain dengan kupu-kupu bermata, dan berbicara dengan pohon yang mengenali nama Nayla. Namun perlahan, tubuh Nayla menjadi ringan, hampir menghilang.
“Kamu tak bisa lama di sini,” ujar Alira dengan wajah sendu. “Semakin lama kamu tinggal, kamu akan terlupakan di duniamu. Dan jika kamu terlupakan, kamu akan terkunci di sini… selamanya.”
Sebelum kembali, Alira mengajak Nayla ke sebuah menara tinggi. Di dalamnya, ada ratusan cermin kecil, masing-masing memantulkan wajah anak-anak dari berbagai zaman. “Kami semua pernah berasal dari duniamu. Tapi tak semua bisa kembali.”
Nayla menangis. Ia tak ingin menjadi kenangan di cermin.
Perpisahan yang Tidak Benar-Benar Akhir
Nayla kembali ke dunia nyata dalam keadaan demam tinggi. Ia dirawat selama dua hari. Bibinya mencurigai ia mengalami semacam kejutan atau sleepwalking. Dokter menyebutnya halusinasi akut karena kesepian. Tapi Nayla tahu. Ia tahu itu nyata.
Setelah kejadian itu, cermin berubah. Tak lagi ada bayangan Alira. Cermin itu kini benar-benar mati. Nayla mencoba berbagai cara—menyentuh, berbicara, bahkan menangis di depannya. Tapi tak ada jawaban.
Bulan berlalu. Nayla tumbuh. Ia mulai membuka diri, punya teman, bahkan jadi juara lomba menulis tingkat provinsi—dengan cerita tentang seorang gadis cermin. Ia menyebutnya fiksi. Tapi hatinya tahu lebih.
Ia terus menyimpan potongan kaca kecil dari Alira, dan setiap ulang tahunnya, ia meletakkannya di bawah bantal. Setiap kali ia mimpi, ia bisa mendengar nyanyian lama dari dunia yang pernah ia kunjungi. Kadang ia melihat menara cermin, kadang kupu-kupu bermata.
Suatu sore, saat membersihkan loteng untuk pindahan rumah, Nayla menemukan sebuah kertas lipat di balik bingkai cermin. Kertas itu bergambar dirinya dan Alira, duduk berdampingan, dengan tulisan kecil di bawahnya:
“Kita tidak pernah benar-benar berpisah. Dunia ini terlalu kecil untuk membatasi persahabatan kita.”
Dan di sisi gambar, ada lingkaran simbol yang hanya bisa dibuat oleh seseorang dari dunia Alira. Pecahan cermin pemberian Alira—yang disimpannya dalam kotak perhiasan—bergetar pelan.
Nayla tersenyum. Ia menatap cermin untuk terakhir kalinya sebelum rumah dijual. Tak ada pantulan istimewa. Namun angin berbisik di jendela, seperti suara yang pernah ia kenal.
Dan ia tahu, di balik waktu dan dimensi, sahabatnya masih ada. Menunggu. Atau mungkin, juga tumbuh. Sama sepertinya.
Dan mungkin, suatu hari nanti, cermin itu akan kembali berbisik.
Cermin Kedua
Dua puluh tiga tahun telah berlalu. Nayla kini seorang ilustrator dan penulis fiksi fantasi terkenal. Bukunya, Refleksi Cahaya, yang terinspirasi dari pengalaman masa kecilnya, telah diterjemahkan ke sepuluh bahasa. Tapi tak seorang pun tahu bahwa di balik setiap halaman yang ia tulis, ada sosok Alira yang terus mengintip dari sisi lain pikirannya.
Suatu hari, Nayla pindah ke rumah tua di pinggiran kota kecil di utara. Sebuah rumah yang ia beli karena desain jendelanya—delapan buah, sama seperti rumah masa kecilnya. Dalam loteng rumah itu, ia menemukan sebuah lemari tua. Dan di baliknya… sebuah cermin tinggi, berbingkai jati, dengan retakan seperti guratan petir di sudut kanan atas.
Tangannya gemetar. Ia mengangkat potongan kaca kecil dari kalungnya, dan mendekatkannya ke cermin. Seketika, udara menjadi dingin. Embun muncul di kaca. Dan perlahan—bayangan muncul. Rambut panjang. Senyum hangat.
“Hai,” suara yang sudah lama ia rindukan.
Alira masih sama. Tidak menua. Tapi di matanya ada kebijaksanaan baru.
“Sudah waktunya kamu datang lagi,” kata Alira. “Duniamu dan duniaku… akan bertemu sekali lagi.”
Dan kali ini, mereka tak hanya berbagi cerita. Tapi sebuah misi. Sebuah perjalanan yang hanya bisa dilakukan oleh dua sahabat dari dua sisi dunia.
Akhir?
Atau mungkin… awal yang lain.