ADVERTISEMENT

Ruang Tunggu

Ilustrasi Ruang Tunggu
Ilustrasi Ruang Tunggu (unsplash.com/@shizoberg)

Ruang Tunggu
(Kafkaesque)

Aku menunggu.
Tak ada yang memberitahuku harus datang,
tapi langkah kakiku membawa ke sini
seperti suratan yang tak pernah ditulis.

Ruang itu dingin,
seperti pernah dihuni oleh kesalahan yang tidak disadari.
Dindingnya putih kusam,
dihiasi jam besar yang tidak bergerak,
namun berdetak di dalam kepala.

Nomor antrean tergantung di layar,
berkedip,
berubah,
melompat-lompat,
seolah angka-angka itu memiliki kehendak sendiri
yang tak terikat logika manusia.

Aku bertanya kepada petugas:
“Apakah ini ruang tunggu untuk peninjauan ulang?”
Ia menjawab tanpa suara,
mulutnya bergerak,
tapi yang terdengar hanya dengung lampu neon
yang menggantung rendah,
siap jatuh ke kepala siapa saja yang terlalu yakin.

Aku duduk.
Kursi logam dingin,
menempel di kulitku seperti pengakuan
yang dipaksakan saat kau tertidur.

Di sebelahku,
seorang lelaki tua berbicara dengan amplop.
Katanya, di dalamnya ada keputusan
yang belum dibuka sejak 1983.

Seorang ibu menyusui bayinya
yang entah mengapa memakai dasi.
Si bayi memandangi ruangan dengan tatapan lelah,
seperti ia sudah tahu
bahwa hidup ini hanya pengulangan dari antrian
yang tidak pernah selesai.

Aku mengeluarkan surat undangan.
Kertasnya kosong.
Tapi tinta samar muncul ketika kulihat terlalu lama—
bertuliskan:
“Harap tunggu dengan tenang,
hingga Anda dilupakan sepenuhnya.”

Dari speaker tua,
suara terdengar:
“Nomor yang tidak Anda kenal,
silakan maju ke loket yang tidak disebutkan.”

Seorang pria berdiri.
Langkahnya ragu.
Ia bergerak ke arah yang tidak pasti,
lalu menghilang
di balik tirai yang tak berkibar.

Aku mencoba menanyakan nasib yang berdiri di belakangku,
tapi ia berkata:
“Aku sudah pernah maju,
tapi dikembalikan lagi ke awal.”

Jam berdetak.
Atau mungkin hanya jantungku yang menyerupainya.
Aku lupa bagaimana rasanya detik
yang bukan milik orang lain.

Tiba-tiba seorang wanita muda
bernama Diri Sendiri
datang dan duduk di pangkuanku.
Ia menggigil,
dan berkata:
“Aku sudah menunggu kau kembali dari menghilang.”

Aku tidak mengerti.
Tapi aku diam.
Dalam ruang tunggu, keheningan adalah mata uang
yang paling berharga.

Tiba-tiba,
lampu mati.
Gelap itu penuh suara kertas dibalik,
sepatu langkah,
dan tangisan yang sudah tidak punya air mata.

Dalam kegelapan,
aku merasa ruang itu meluas,
tumbuh seperti makhluk hidup,
menelan bangku, manusia, dan tanya.

Aku menggenggam tangan Diri Sendiri.
Tapi ia mulai memudar,
menjadi asap
yang menuliskan kalimat ini di udara:
“Kau telah tiba. Tapi kedatanganmu tidak pernah dicatat.”

Ketika cahaya kembali,
ruangan berubah.
Tak ada meja, tak ada loket.
Hanya aku,
dan ratusan cermin
yang tidak memantulkan apa pun.

Petugas kembali,
wajahnya menyerupai ibuku,
tapi matanya terlalu terang.
Ia menyerahkan map besar
tanpa nama di depan.

“Apa isinya?” tanyaku.

Ia menjawab:
“Segala hal yang kau tidak pernah lakukan,
tapi harus kau pertanggungjawabkan.”

Aku membuka halaman pertama.
Kosong.
Halaman kedua: kosong.
Halaman ketiga:
tulisan tanganku sendiri,
mengaku bersalah
atas sesuatu yang belum terjadi.

Aku mencoba berdiri,
tapi lantai terbuat dari pertanyaan
yang tak bisa dijawab tanpa kehilangan tubuh.

Dan akhirnya,
dari jauh,
suara speaker kembali berbunyi:
“Nomor Anda telah dipanggil.
Sayangnya, Anda tidak lagi dianggap hadir.”

Surat untuk Kantor yang Tidak Pernah Ada

Setiap pagi aku bangun
sebelum matahari sadar,
dan berjalan ke kantor
yang tidak pernah ditunjuk secara resmi.

Gedungnya tinggi,
tapi tidak memiliki lantai satu.
Aku selalu masuk dari tangga
yang melayang tanpa pijakan,
dan disambut oleh lorong
yang mencium bau tinta tua dan kebingungan.

Di meja kerjaku—
yang tidak punya kaki,
tidak punya permukaan,
dan kadang-kadang hilang—
aku mengetik laporan tentang cuaca mental,
tentang arah angin yang membelokkan kebijakan,
tentang keraguan yang menumpuk
di ventilasi sistem.

Tiap huruf yang kutekan
mengeluarkan suara seperti langkah
dari seseorang yang tidak pernah datang.
Aku menulis untuk Tuan Besar
yang hanya muncul dalam memo,
dan ditandatangani oleh huruf yang berubah setiap minggu.

Map kuning menumpuk di sampingku,
isian formulir yang tak pernah kumengerti:
“Apakah Anda yakin pernah lahir?”
“Berapa jam Anda habiskan untuk bertanya tentang kejelasan?”
“Berikan bukti bahwa Anda pernah merasa benar.”

Aku mencatat semua
dengan pena yang menolak berhenti.
Kadang, tanganku sendiri menjadi pena,
dan menuliskan puisi ketakutan
di lengan bajuku yang compang.

Petugas pengarsipan
berjalan tanpa kaki,
membawa berkas yang hanya bisa dilihat
jika kau sudah berhenti berharap.

Dan setiap jam dua siang,
ada suara dari pengeras suara
yang berkata:
“Terima kasih telah hadir.
Absensimu sudah kami catat dengan cermat.”

Aku menulis surat,
panjang, rapi, dan penuh tanda tanya.
Kukirim ke bagian pengaduan
yang tidak punya ruangan,
tidak punya penerima,
dan hanya membalas dengan gema.

Isinya begini:

Yang Terhormat Kantor Yang Tidak Pernah Ada,
Dengan ini saya mengajukan permintaan izin untuk memahami.
Sebab saya sudah duduk di tempat ini selama bertahun-tahun
menyusun berkas yang tak pernah diminta,
mengenakan seragam yang tak punya warna,
dan menyapa rekan kerja yang tak bisa dilihat kecuali lewat mimpi.

Surat itu kembali,
dilipat dua belas kali,
dan disegel dengan tanda “RAHASIA UNTUK YANG SUDAH MENYERAH”.

Aku buka,
dan hanya ada satu kalimat:
“Kehadiran Anda bukan bagian dari catatan sejarah kantor ini.”

Aku terus bekerja.
Jam kerja tidak pernah habis,
karena tidak ada jam,
dan tidak ada kerja.

Kadang, aku bertemu dengan petugas audit,
yang mengukur panjang napasku,
bukan produktivitasku.
Ia mencatat dengan kapur
di dinding yang terus berganti letak.

“Apakah Anda merasa berguna?” tanyanya.

“Tidak,” jawabku.
“Tapi saya mengisi ruangan.”

“Bagus,” katanya.
“Itu syarat utama untuk diperpanjang keberadaannya.”

Lalu ia pergi,
bersama kereta dokumen yang kosong,
didorong oleh bayangan masa lalu
yang belum sempat dibakar.

Kini, aku tak tahu
berapa lama aku telah di sini.
Mungkin berbulan-bulan,
mungkin hanya kemarin sore.
Waktu di kantor ini
diukur dengan panjang penyesalan.

Sore hari,
aku menerima memo:
“Harap segera pindah ke bagian yang lebih tak terlihat.”

Aku berdiri,
berjalan melewati lorong yang menggema.
Lalu duduk kembali—
di meja yang sama,
di ruangan yang sedikit lebih sunyi.

Tapi aku tahu
kantor ini memang tak pernah ada.
Aku menciptakannya
karena dunia luar lebih tidak bisa dihadapi.

Di Antara Jam Tiga dan Jam Empat

Setiap malam,
di antara jam tiga dan jam empat,
sesuatu bangkit dari dalam diriku
yang bukan bagian dari tubuh
dan bukan bagian dari mimpi.

Aku terjaga,
bukan karena mimpi buruk,
tapi karena rasa bersalah
yang tidak pernah punya sebab.

Langit-langit kamar
menyusut perlahan,
seperti ingin memeluk kepalaku
dan membisikkan putusan
yang tidak pernah diajukan.

Aku tidak tahu
siapa yang mengajukan perkara ini,
dan terhadap siapa aku harus membela diri.
Tapi malam punya caranya sendiri
untuk menjadi ruang sidang
yang tidak adil
dan tidak pernah selesai.

Tirai jendela bergerak
meski angin tidak lewat.
Jam digital menunjukkan 03.21
tetapi detiknya tidak bertambah.
Seolah waktu menahan napas,
menunggu aku mengaku
tentang hal yang bahkan aku sendiri tak ingat.

Aku duduk di tepi ranjang
seperti seorang terdakwa
yang dipanggil tanpa nama.
Tiap bayangan di tembok
menyerupai orang yang pernah kutinggalkan,
atau orang yang tak sempat kukenali.

Ada suara dari lemari tua,
lalu ketukan di bawah ranjang.
Sesuatu seperti suara anak kecil,
tapi dengan nada interogatif:
“Kau yakin tidak tahu apa yang kau sembunyikan?”

Kucoba menjawab
tapi suaraku tertahan
oleh suara lain yang keluar dari mulutku—
lebih tua, lebih takut, lebih tahu.

03.33.
Aku menatap cermin kecil
yang tergantung miring di tembok.
Wajahku tidak memantul,
tapi ada sosok duduk di ranjang,
mengenakan bajuku,
memegang tanganku,
tapi bukan aku.

Aku menatap dia.
Dia menatap aku.
Kami tak bicara,
tapi saling memahami bahwa
hanya salah satu dari kami yang boleh melanjutkan hidup.

Tiba-tiba terdengar bel pintu.
Siapa yang datang jam segini?
Aku berjalan ke pintu,
membuka perlahan—
hanya untuk menemukan
sebuah meja kosong
dan sebuah amplop besar
dengan cap:
“Dikirim dari Masa Lalu yang Tidak Pernah Terjadi.”

Kubuka.
Isinya hanya satu kalimat:

“Kami telah menyidangkan kamu.
Putusan akan disampaikan
saat kamu paling tidak mampu menerimanya.”

Kembali ke kamar,
aku melihat sosok di ranjang
sudah hilang.
Tapi bantalnya masih hangat,
dan selimutnya rapi
seperti seseorang telah menyembunyikan bukti.

Aku kembali berbaring,
mata terbuka,
menatap langit-langit
yang kini seolah lebih tinggi,
lebih jauh,
lebih seperti kubah pengadilan metafisik
yang menunggu runtuh.

Jam menunjukkan 03.59.
Detik kembali berjalan.
Satu, dua, tiga.
Lalu pukul empat.

Malam menyusut.
Hari mulai masuk perlahan,
membawa cahaya
yang tidak menjelaskan apa pun
tapi memaksa semuanya terlihat.

Aku pun tertidur,
tapi tidak sepenuhnya.
Sebab sebagian dari diriku
tetap berjaga
di ruang sidang rahasia
yang hanya buka
antara jam tiga dan jam empat.

Sang Ayah

Ayah duduk di ujung meja
seperti patung penghakiman
yang dibentuk dari tahun-tahun
yang tak pernah bisa dipertanyakan.

Wajahnya keras,
tapi bukan karena marah—
melainkan karena telah membatu
oleh pengulangan keyakinan
yang tidak bisa dibantah
tanpa menjadi musuh.

Piring di depannya berisi sup
yang ia aduk seperti sedang memutar waktu.
Setiap sendok yang diangkat
mengandung kesalahan masa lalu
yang mungkin bukan milikku,
tapi harus kutanggung juga.

“Aku anakmu,” kataku.
Tapi kata itu tenggelam
di antara suara sendok dan mangkuk,
di antara batuk ringan
dan kebisuan yang ia pelihara
seperti anjing penjaga.

Di ruang makan ini,
tak ada tawa,
tak ada cerita,
hanya sidang yang tidak pernah diangkat
tapi terus dijalankan
malam demi malam
di bawah cahaya lampu yang terlalu terang
untuk sekadar makan malam.

Ayah tidak pernah marah.
Ia tidak perlu.
Keberadaannya saja sudah cukup
untuk membuatku merasa
telah bersalah bahkan sebelum membuka mulut.

Setiap kali aku mencoba bercerita,
ia hanya mengedipkan mata—
gerakan kecil,
tapi seperti palu vonis
yang membungkam mulutku sampai minggu depan.

Ibuku hanya duduk di samping,
mengaduk teh yang tak lagi panas.
Ia tak pernah membela,
karena ia juga sedang disidang
oleh wajah yang sama,
oleh hidup yang sama,
oleh suara yang terlalu dalam
untuk dibantah.

Aku ingin bertanya,
mengapa ayah tak pernah memelukku
seperti ayah-ayah lain di buku cerita.
Tapi aku tahu,
pertanyaan itu akan mengubah ruang makan
menjadi ruang pengakuan
yang pintunya langsung mengarah ke kesunyian.

Kadang aku bertanya
apakah ia ingat namaku.
Atau hanya mengenalku
sebagai “anak yang belum jadi”
—produk gagal dari garis keturunan
yang terlalu percaya pada kekakuan.

Ayah adalah sistem
yang tidak bisa diakses dengan dialog.
Ia adalah file tertutup,
folder terlindungi
yang hanya bisa dibaca
oleh generasi sebelumnya.

Ia tidak kasar.
Ia tidak jahat.
Ia hanya… tak bisa disentuh.
Dan itu lebih dingin
dari semua marah yang pernah kudengar.

Aku tumbuh
dengan menghindari matanya.
Sebab dalam tatapannya
terdapat versi diriku
yang tidak pernah aku inginkan,
tapi selalu kutakuti.

Malam ini,
aku duduk lagi di meja yang sama.
Ayah di ujung sana,
masih memegang sendok,
masih diam,
masih menatap
seperti waktu yang tidak pernah memberi maaf.

“Aku pulang,” kataku.
Tapi tak ada yang menjawab.
Hanya bunyi jam di dinding
dan detak jantungku
yang menyamar jadi suara lampu neon.

Aku pun duduk.
Makan sup yang sudah dingin.
Menerima penghakiman
yang tidak pernah dimulai,
dan karenanya
tidak bisa diakhiri.

Transformasi

Aku bangun pagi itu,
dan tubuhku sudah tidak menjadi tubuh.
Kulitku tidak menempel.
Darahku tidak bergerak.
Dan cermin tidak lagi menganggapku sebagai bagian dari dunia.

Aku tidak berubah menjadi serangga,
bukan kecoa, bukan tikus,
bukan makhluk yang bisa dijelaskan dengan zoologi.
Aku berubah menjadi suara.
Gema.
Uap yang tidak bisa disentuh,
tapi menempel pada setiap benda yang mencoba melupakannya.

Ibuku memanggil dari luar kamar,
“Bangun. Waktunya sarapan.”
Aku ingin menjawab,
tapi mulutku hanya memunculkan angin,
dan dari kejauhan,
aku terdengar seperti televisi rusak
yang berbicara dalam bahasa berita yang sudah dibatalkan.

Aku melangkah ke depan kaca,
tapi yang terlihat hanya tirai berkibar.
Wajahku?
Tidak ada.
Aku tidak lenyap,
aku hanya tidak lagi berkategori.

Saudaraku datang membawa handuk,
berkata bahwa aku harus segera bersiap.
Katanya ada upacara hari ini.
Aku ingin bertanya: upacara untuk apa?
Tapi lidahku sudah menjadi halaman kosong
yang tidak punya aksara,
dan tiap pertanyaanku menjadi abu
yang jatuh sebelum terbentuk.

Aku mencoba menulis,
tapi jari-jariku tidak menemukan pulpen.
Mereka hanya menari di atas kertas,
meninggalkan jejak angin
dan bekas luka yang tak kasat mata.

Ibuku kembali.
Menatapku lama.
Matanya berkaca-kaca,
tapi mulutnya tersenyum:
“Kau kelihatan berbeda hari ini. Lebih dewasa.”

Aku ingin menangis,
tapi air mataku sudah menguap
dan menjadi kabut
yang menempel di kaca jendela.

Seekor kucing melintas di bawah pintu,
menatapku lekat,
lalu pergi tanpa suara.
Dan aku merasa lebih dekat dengannya
daripada dengan manusia manapun hari itu.

Waktu bergulir.
Hari melewati tubuhku
seperti sungai yang enggan menyapa batu.
Aku tidak lagi menjadi bagian dari detik.
Aku hanya selipan,
kesalahan tipografi dalam naskah waktu.

Malam datang.
Lampu dipadamkan.
Ayah duduk di ruang tamu,
menatap televisi yang tak menyala.
Ia tidak bertanya ke mana aku,
karena mungkin ia tahu,
aku sudah tidak berada dalam ruang yang sama.

Di tempat tidur,
aku meringkuk dalam bentuk yang tak bisa disebut.
Aku adalah pertanyaan
yang dilarang ditanyakan.
Aku adalah kemungkinan
yang tidak disukai statistik.

Dan di antara tidur dan sadar,
aku mendengar suara pelan:
“Transformasi bukanlah perubahan bentuk,
tetapi perubahan kemungkinan untuk disebut.”

Keesokan paginya,
aku bangun lagi.
Dari ranjang yang tidak empuk,
dalam kamar yang tidak penuh cahaya.

Tapi pagi itu,
aku telah menjadi ketiadaan yang utuh.
Dan dunia pun melanjutkan dirinya,
seperti biasa,
tanpa mencatat absensiku.

Berikut saya lanjutkan puisi Kafkaesque keenam dalam versi panjang dan penuh atmosfer absurditas eksistensial:

Labirin

Langkah pertama terasa ringan.
Langkah kedua terasa seperti pengulangan.
Langkah ketiga…
aku mulai curiga.

Lorong-lorong di depan mataku
terlihat sangat mirip dengan yang kulalui tadi.
Temboknya menguning,
lampunya menggantung rendah,
seolah-olah dunia dirancang untuk membungkuk,
bukan berdiri tegak.

Aku menoleh ke belakang—
tak ada jejak.
Lantai tidak mengizinkan kenangan.
Ia membersihkan setiap bekas langkah
seperti dosa yang ditolak sejarah.

Aku menandai dinding
dengan silet kecil dari dompetku,
membuat goresan berbentuk X.
Tiga menit kemudian,
aku melewati X yang sama
di tempat yang berbeda.

Aku berhenti.
Menutup mata.
Mencoba mengingat:
bagaimana bisa aku tersesat di tempat
yang tidak punya awal
dan tidak menawarkan akhir?

Suara-suara terdengar dari kejauhan:
langkah,
tawa pendek,
seseorang memanggil namaku
dengan aksen yang tidak kumiliki.

Aku berlari.
Menoleh ke setiap simpang.
Tapi setiap belokan
membawaku ke versi berbeda dari diriku sendiri.
Kadang aku mengenakan jas.
Kadang aku menangis.
Kadang aku duduk—menunggu diriku lewat.

Di sudut ketiga puluh,
aku bertemu pria tua
berjubah seperti arsip.
Dia memegang peta,
tapi saat aku mendekat,
peta itu menyusut dan menghilang ke dalam sakunya.

“Ini labirin?” tanyaku.
“Bukan,” jawabnya.
“Ini hanya representasi ruang dalam pikiranmu.”
“Lalu bagaimana keluar?”
Dia tersenyum.
“Siapa bilang kau masuk?”

Aku berjalan lagi.
Menemukan tangga ke bawah
yang berakhir di langit-langit.
Pintu yang tidak bisa dibuka dari luar
karena tidak punya luar.

Aku tertawa.
Tertawa dalam absurditas
sebab mulai merasa nyaman.
Labirin ini bukan penjara.
Ia rumah yang tidak pernah ingin ditinggalkan.

Di dinding, aku menemukan tulisan kecil,
mungkin dari seseorang yang datang sebelumku:

“Jika kau berpikir kau hampir sampai,
maka saat itulah kau paling jauh.”

Aku duduk di lantai,
membiarkan waktu lewat.
Tapi jam di pergelangan tanganku
berputar ke kiri,
dan angka-angkanya mulai menghapus dirinya sendiri.

Aku melihat ke langit-langit,
bertanya-tanya apakah ada Tuhan
yang ikut tersesat di sini.

Di tikungan terakhir—atau pertama—
aku melihat sosok lain.
Ia mengenakan bajuku.
Ia berjalan ke arahku,
lalu berhenti.
Kami saling menatap.
Dia berkata:
“Aku adalah versi dirimu
yang memutuskan tidak mencari jalan keluar.”

Aku bertanya:
“Jadi siapa aku?”
Ia menjawab:
“Penjelajah tanpa peta.
Penghuni tanpa alamat.
Pertanyaan yang menjelma ruang.”

Lalu dia pergi,
dan labirin menyambung kembali,
menghapus jejakku
dan menuliskan ulang denahnya
dengan mimpi-mimpi yang belum sempat ditafsirkan.

Sekarang,
aku tidak berjalan lagi.
Aku hanya berdiri,
dan membiarkan labirin memutar dirinya di sekelilingku.

Sebab di tempat ini,
yang bergerak bukan aku—
tapi kemungkinan
yang tidak pernah bisa diukur arah.

Proses

Seseorang mengetuk pintu rumahku
tepat pukul 06.00.
Tanpa seragam, tanpa lencana,
tapi dengan ekspresi
yang membuatku merasa bersalah
bahkan sebelum ia bicara.

Dia berkata:
“Proses sudah dimulai.”
Aku bertanya:
“Proses apa?”
Dia menjawab:
“Yang sudah kau lupakan,
tapi tetap harus kau jalani.”

Aku disuruh ikut.
Tanpa surat panggilan.
Tanpa kesempatan mencuci muka.
Ia hanya memberi selembar kertas kosong
dan menyuruhku menuliskan semua pengakuan
yang belum pernah kupikirkan.

Di kantor yang bukan kantor,
aku didudukkan di kursi yang terlalu kecil.
Di seberang meja,
tiga sosok berjubah abu-abu
menatapku
tanpa mata,
tapi aku tahu mereka melihat.

Salah satu dari mereka berkata:
“Anda dituduh tidak menjadi cukup.”
Yang lain menimpali:
“Dan karena terlalu ingin menjadi sesuatu.”
Yang ketiga diam.
Tapi napasnya berat,
seolah sedang menimbang semua keputusan
yang akan menghancurkan diriku
tanpa menyentuhku.

“Apa kesalahanku?” tanyaku.
“Kami tidak memberi tahu.
Karena jika kau tahu,
itu artinya kau memang bersalah.”

Aku diberi map besar,
dengan puluhan halaman kosong
dan satu halaman berisi tanda tangan
yang sangat mirip dengan milikku.
Tertulis:
“Saya mengakui seluruhnya.”

Aku menolak.
Tapi pena di tanganku bergerak sendiri,
menuliskan kalimat yang belum pernah kupikirkan:

“Saya mohon ampun
untuk hal-hal
yang saya lakukan dalam tidur,
dalam keinginan,
dan dalam sunyi.”

Setiap hari,
aku dipanggil kembali.
Ditanyai ulang dengan pertanyaan sama,
oleh orang yang berbeda
dengan suara yang serupa.

“Apakah Anda mencintai tanpa izin?”
“Apakah Anda berpura-pura memahami dunia?”
“Apakah Anda mencoba menjadi manusia secara diam-diam?”

Aku menjawab dengan kejujuran yang dipaksakan.
Tapi mereka berkata:
“Kejujuran tidak dibutuhkan.
Kami butuh pengakuan yang bisa dicetak ulang.”

Lalu mereka menyuruhku kembali ke rumah
yang sudah diganti tata letaknya.
Kamarku kini adalah ruang penyimpanan.
Kamar mandi penuh berkas-berkas lamaran maaf.
Dan dapur hanya menyajikan roti basi
dengan selai penuh tanda tangan.

Aku tidur,
tapi setiap mimpi disensor.
Aku bangun,
tapi setiap pikiran diperiksa.

Hidup menjadi interogasi panjang
yang tidak pernah mencapai kesimpulan,
karena kesimpulan dianggap sebagai bentuk perlawanan.

Suatu malam,
aku mencoba kabur.
Tapi jalan keluar berubah menjadi ruang tunggu,
dan lift hanya membawaku kembali
ke ruangan yang lebih sempit.

Akhirnya,
aku menyerah.
Datang setiap pagi
menghadap ke meja interogasi,
mengisi formulir kosong,
dan duduk diam
hingga jam yang tak pernah berbunyi.

Sampai suatu hari,
seseorang berkata:
“Proses telah selesai.”
Aku bertanya:
“Lalu keputusannya?”
Dia menjawab:
“Tidak ada keputusan.
Kau telah menjadi bagian dari sistem,
dan itu lebih buruk daripada vonis.”

Di Balik Meja

Mejaku tidak pernah ditentukan.
Aku datang pagi-pagi,
menemukan ruangan yang sama,
tapi dengan meja yang selalu bergeser satu inci
ke arah yang tak masuk akal.

Di balik meja itu,
aku duduk seperti seharusnya,
tapi tak tahu
apa yang sebenarnya harus kulakukan.
Kertas-kertas sudah disusun,
pena disiapkan,
jam berdetik,
tapi tak ada instruksi
dan tak ada akhir.

Setiap berkas bertanda rahasia,
padahal tak ada isinya.
Hanya lembaran kosong
dengan logo yang selalu berganti
dan kop surat yang menulis:
“Urusan ini bersifat mendesak namun tak dapat dijelaskan.”

Aku menuliskan laporan
tentang sesuatu yang tidak kumengerti,
kepada seseorang yang tidak kukenal,
dengan kalimat yang tidak pernah selesai.

Setiap kali kuketik:
“Dengan ini saya menyatakan bahwa…”
tanganku berhenti.
Aku tidak tahu apa yang hendak dinyatakan.
Tapi kalimat itu harus diketik ulang setiap hari,
sebagai syarat agar listrik ruangan tidak dipadamkan.

Di luar jendela,
gedung-gedung lain tampak diam
seperti kuburan bagi keputusan-keputusan yang gagal lahir.
Orang-orang lewat,
masuk ke ruangan masing-masing,
dengan wajah tanpa emosi
dan mata yang menyembunyikan kontrak yang tak bisa dibatalkan.

Atasanku—
atau mungkin hanya seseorang yang lebih tinggi kursinya—
berjalan melewatiku sesekali,
melemparkan map tanpa kata,
dan pergi
sebelum aku sempat mengangguk.

Aku membuka map itu.
Di dalamnya hanya ada tulisan:

“Apa yang Anda kerjakan hari ini
akan dianggap tidak cukup besok.
Maka kerjakanlah kembali.”

Aku pun bekerja.
Menyalin kembali tulisan kemarin
dengan tinta baru
dan ketakutan yang diperbaharui.

Tiap sore, aku mengisi laporan harian
berisi waktu-waktu yang aku habiskan
untuk berpura-pura sibuk.
Ada kolom:

Jam masuk
Jam ragu
Jam menyerah
Jam berharap tidak ditemukan

Aku isi semuanya.
Tapi tak ada yang mengecek.
Atau mungkin semua dikerjakan
untuk memastikan tak ada yang benar-benar paham.

Kadang-kadang,
aku merasa meja ini memerhatikanku.
Ia bergetar pelan jika aku terlalu jujur,
dan menjadi dingin
jika aku mencoba berdiri.

Aku sadar,
aku tidak lagi duduk di belakang meja.
Aku sudah menjadi bagian darinya.
Aku adalah lacinya yang tak pernah dibuka.
Aku adalah lem perekat di sisi kanan.
Aku adalah berkas usang yang dilupakan
tapi tidak boleh dibuang.

Suatu hari,
ada rapat.
Semua diundang.
Kami duduk di meja yang lebih besar.
Semua diam.
Sampai seorang berbicara:
“Kita akan bahas hasil kerja.”

Tapi tak satu pun membawa hasil.
Sebab hasil bukanlah tujuan,
melainkan alasan
untuk terus bekerja.

Rapat ditutup.
Dengan tepuk tangan.
Tapi tak ada yang tersenyum.
Kami kembali ke meja masing-masing,
untuk mengulang lagi
semua yang tidak harus dilakukan.

Hari terus berlanjut.
Aku menua tanpa tumbuh.
Meja ini makin dekat dengan kulitku,
seperti pakaian
yang tidak bisa lagi dilepas.

Dan suatu malam,
aku tidur di atasnya.
Bukan karena lelah,
melainkan karena tak tahu
ke mana lagi harus pergi.

Aku bermimpi jadi laci.
Lalu jadi tumpukan kertas.
Lalu jadi kursi.
Lalu bangun
dalam bentuk yang tidak bisa diberi nama
selain:
“Staf Administratif Permanen.”

Kota Tanpa Keluar

Aku tiba di kota ini pada sore yang biasa.
Langit mendung,
stasiun sunyi,
dan semua orang berjalan
tanpa menoleh ke siapa pun.

Papan nama kota sudah usang,
hurufnya terhapus oleh waktu
atau oleh keputusan
untuk tidak pernah benar-benar menyambut siapa pun.

Aku mencari jalan keluar,
tapi tak ada tanda arah.
Setiap belokan hanya membawaku
kembali ke jalan yang baru saja kutinggalkan.
Seolah kota ini dirancang
untuk membuat perjalanan
tanpa perpindahan.

Aku bertanya pada seorang pria tua
yang menjual rokok bekas dan peta kadaluarsa.
“Di mana pintu keluar kota ini?”
Dia tertawa,
tapi matanya penuh iba:
“Kami semua datang dengan pertanyaan yang sama,
dan akhirnya memilih tidak bertanya lagi.”

Aku menyusuri trotoar,
melewati toko-toko yang tak pernah buka,
kantor pos yang tak pernah kirim,
dan halte bus yang hanya menurunkan
tapi tidak pernah menjemput.

Di dinding kota tertulis:
“Setiap pintu keluar adalah pintu masuk yang ditunda.”
Kalimat itu ada di mana-mana:
di halte,
di resi belanja,
di mimpi warga yang tidur sambil duduk.

Seorang anak kecil menarik tanganku.
Dia menunjuk ke papan petunjuk yang rusak.
“Ada keluar, tapi hanya bagi yang tak ingin pulang.”
Lalu ia berlari
ke dalam gang sempit
yang menelan bayangan seperti rahim.

Aku bertemu penjaga kota—
sosok berseragam tapi tanpa nama.
Ia hanya punya kartu ID bertuliskan:
“Petugas Kesabaran.”

Ia berkata:
“Tak ada yang ditahan di sini.
Kami hanya memastikan Anda cukup waktu
untuk melupakan alasan mengapa datang.”

Aku masuk ke penginapan
yang tidak punya resepsionis,
hanya lemari penuh kunci
yang sudah lama tidak dicocokkan ke pintu manapun.
Aku memilih satu secara acak.
Pintunya mengarah ke kamar
yang berisi foto-foto masa kecilku
dalam bingkai
yang tidak pernah aku miliki.

Tiap malam,
aku mendengar suara sirine.
Tapi tidak ada kendaraan lewat.
Hanya gema dari sistem
yang memastikan semua tetap terjaga
dalam rasa genting yang tidak diketahui sebabnya.

Orang-orang di kota ini
tidak pernah meninggal,
tapi juga tidak benar-benar hidup.
Mereka makan,
bekerja,
dan tidur
dalam ritme yang tidak menua
dan tidak memperbarui.

Beberapa dari mereka
berusaha membangun menara,
mencoba melihat dari atas apakah ada jalan keluar.
Tapi menara itu
selalu roboh
sebelum lantai ketujuh,
dengan alasan “keamanan eksistensial”.

Suatu malam aku mencoba naik kereta malam.
Tapi kereta hanya berputar
mengelilingi kota dalam lingkaran oval
dengan pemandangan yang berganti-ganti
tapi tetap sama.

Tiketku ditandai:
“Tujuan: Penundaan.”
Kondektur tersenyum pahit
dan menepuk bahuku,
“Selamat datang. Kau akan betah di sini,
karena tak ada tempat lain untuk membandingkan.”

Kini aku menetap.
Di kota tanpa keluar.
Menjadi warga tetap
dari sistem yang hanya mengizinkan masuk.

Aku masih mencari pintu,
kadang lewat mimpi,
kadang lewat pertanyaan-pertanyaan yang kutulis
di balik struk belanja.
Tapi pagi selalu tiba lebih dulu
sebelum aku sempat mengingat rute pelarian.

Dan setiap matahari terbit,
kota ini kembali menghapus jejak
dari semua langkah yang berani berpaling.

Perpustakaan Penghapus Waktu

Perpustakaan itu terletak di tengah kota
yang tidak pernah disebut di peta,
diapit dua jalan buntu,
dan dijaga oleh dua penjaga
yang tertidur sejak hari pertama berdinas.

Aku tiba saat sore hampir pingsan.
Bangunan tinggi,
berlapis debu dan ketidakpastian,
pintu besi yang tidak terkunci,
tapi berderit seperti hendak menegur siapa pun yang masuk
tanpa maksud jelas.

Di dalamnya sunyi.
Bukan sunyi biasa—
tapi sunyi yang mengintai,
menatap,
dan menulis catatan tentang kehadiranmu
sebelum kau sempat menyapanya.

Rak-rak menjulang
lebih tinggi dari keyakinan,
dan setiap buku
ditandai dengan tanggal
yang tidak pernah terjadi.

Aku menyusuri lorong,
membaca punggung-punggung buku
dengan judul seperti:
“Hari Ketika Kau Tidak Menangis Tapi Harusnya”
“Ucapan yang Tak Pernah Terucap Saat Kau Bisa”
“Versi Diri yang Tidak Jadi Kau Jalani”

Setiap buku ketika dibuka
menghapus sesuatu dari ingatan.
Satu halaman—lupa nama teman kecil.
Dua halaman—lupa bau rumah.
Tiga halaman—lupa mengapa ingin membaca.

Aku menemukan buku bertuliskan namaku.
Sampulnya putih.
Kosong.
Hanya sebuah kalimat kecil di halaman pertama:
“Buku ini tidak akan selesai ditulis
karena penulisnya terlalu sering ragu.”

Aku bertanya kepada seorang pustakawan
yang tidak berkedip sejak aku tiba.
“Mengapa semua buku di sini menghapus?”
Ia menjawab:
“Karena waktu terlalu penuh,
dan manusia terlalu sempit untuk membawanya semua.”

“Lalu ke mana kenangan-kenangan itu pergi?”
Ia menunjuk ke sumur kecil di tengah ruangan.
Sumur itu dalam,
dan jika kau berbisik,
suaramu akan kembali padamu
dalam bentuk pertanyaan
yang tidak bisa kau jawab tanpa menangis.

Beberapa pengunjung duduk
membaca diam-diam,
menghapus hidup mereka perlahan
demi kelegaan
yang tidak diizinkan oleh dunia luar.
Seorang ibu menangis
setelah membaca bab yang menghapus wajah anaknya.
Seorang pria tertawa
karena akhirnya lupa bahwa ia pernah bersalah.

Aku membuka buku tentang ayahku.
Halaman pertama:
malam ketika ia pulang terlalu malam.
Halaman kedua:
malam ketika aku tidak menegurnya.
Halaman ketiga:
malam ketika aku tidak menangis di pemakamannya.

Ketika kututup buku itu,
aku merasa lebih ringan.
Tapi juga lebih kosong.

Pustakawan itu menyodorkan kunci:
“Jika kau ingin meninggalkan satu kenangan terakhir,
letakkan di kotak ini.
Dan jangan kembali mencarinya.”

Aku pun menulis secarik memo:

“Untuk diriku di masa depan,
jika kau membaca ini,
maka kau sudah lupa
mengapa dulu kau sangat ingin tahu.”

Memo itu kumasukkan ke dalam kotak.
Dan perlahan,
aku berjalan keluar
tanpa sepenuhnya tahu
apa yang baru saja kutinggalkan.

Di luar,
langit berubah menjadi abu-abu tua.
Orang-orang berjalan biasa,
tidak tahu bahwa di balik jalan buntu,
ada perpustakaan
yang perlahan-lahan
menghapus dunia
agar kita bisa bertahan di dalamnya.

Dan aku pun berjalan,
sedikit lebih ringan,
sedikit lebih hilang,
dalam hidup
yang kini tidak sepenuhnya milikku
—dan karena itu
lebih mudah dijalani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!