Persiapan Multidimensional dalam Menghadapi Pesta Demokrasi Mendatang
Pemilu merupakan sarana menyalurkan hak rakyat untuk memilih pemimpin di negerinya sendiri, secara demokrasi tidak hanya sebatas acara seremonial semata ataupun hanya sebatas prosedural. Mengapa ini perlu kita wujudkan dengan penuh kesadaran serta LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil). Untuk menuju kepada sebuah pesta demokrasi yang baik dan benar maka asas tersebut perlu dipegang teguh serta bagaimana pentingnya kesiapan masyarakat dalam menyongsong pemilu. Setidaknya ada enam permasalahan yang mendasari hal tersebut dan menjadi pr untuk kedepannya:
- Rendahnya literasi politik dan masih maraknya hoax.
- Potensi konflik horizontal antar pendukung.
- Politik uang dan pengaruh ekonomi dalam pemilu.
- Penyalahgunaan media sosial untuk propaganda negatif.
- Penyelenggara pemilu perlu penguatan integritas dan profesionalitas.
Dalam masalah-masalah di atas perlu adanya pembenahan serta pembetulan secara bertahap dan sistematis, sehingga pokok-pokok poin di atas tidak terjadi di tahun-tahun mendatang. Dengan penuh konsisten dan kesadaran bahwasanya tingginya partisipasi peserta untuk mau mensukseskan acara pemilihan umum untuk memilih pemimpin di masyarakat perlu sekiranya kita menyiapkan sejak kini. Dimensi yang di bangun untuk persiapan yang perlu di lakukan setidaknya di antaranya: a) Kognitif dan Literasi Politik, b) Sosial dan Emosional, c) Ekonomi, d) Teknologi dan Literasi Digital, e) Institusional dan Regulasi. Poin-poin ini akan dijabarkan sebagai berikut
- Kognitif dan Literasi Politik
Rendahnya pemahaman mengenai pentingnya pengetahuan dan literasi politik membuat masyarakat Indonesia cenderung acuh terhadap proses demokrasi, khususnya dalam hal keterlibatan masyarakat untuk mengikuti, hadir, dan menggunakan hak pilih dalam pemilihan pemimpin. Secara pragmatis, masyarakat sering beranggapan bahwa tidak ada kemajuan atau keuntungan yang diperoleh dengan datang beramai-ramai ke TPS (Tempat Pemungutan Suara), karena hidup akan tetap sama siapa pun yang terpilih. Pemahaman ini tentu keliru, sebab rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang pemilihan umum maupun pilkada menjadi salah satu penyebab munculnya anggapan tersebut. Sebagai makhluk sosial yang sejak lahir tidak terlepas dari unsur politik, seyogyanya pengetahuan tentang politik perlu dipahami dengan baik.
2. Sosial dan Emosional
Secara sosial, penduduk Indonesia memiliki beragam suku dan budaya, sehingga tidak mungkin menyamakan perlakuan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya dunia politik. Kepemimpinan di tingkat daerah yang memahami proses pemilihan pemimpin ke depan perlu dibangun dengan kesadaran bersama. Secara emosional, Indonesia memiliki kultur yang beragam, sehingga penting bagi kita untuk memahaminya agar tidak mengalami disorientasi dalam memahami kultur dan budaya setempat. Dengan demikian, setiap langkah yang dilakukan tidak sia-sia dan dapat sukses memberikan edukasi serta turut mensukseskan agenda demokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
3. Ekonomi
Secara ekonomi, masyarakat Indonesia terbagi ke dalam dua kelas strata, yaitu si miskin dan si kaya. Karena masih banyak masyarakat yang berada pada kelas ekonomi rendah, pola pikir mereka pun cenderung pragmatis: asal diberi uang, mereka akan berangkat memilih; asal diberi sogokan atau amplop, mereka akan memilih calon tertentu. Kondisi ini menyebabkan ketika ekonomi masyarakat rendah sementara kebutuhan terus meningkat, hanya orang-orang yang memiliki uang atau si kaya yang akhirnya menjadi pemimpin, meskipun terkadang mereka tidak siap atau tidak memiliki kemampuan untuk memimpin. Hal ini sangat disayangkan, karena regenerasi kepemimpinan seharusnya memberikan hak yang sama bagi siapapun untuk menjadi pemimpin yang dipilih secara adil dan memiliki hak yang sama dalam memimpin. Ketika kondisi ini terjadi, maka tidak ada kesetaraan dan kesamaan hak dalam menjadi pemimpin di negeri ini.
4. Teknologi dan Literasi Digital
Ketidakmerataan akses terhadap teknologi membuat sebagian masyarakat gagap dalam literasi digital serta tidak memiliki pemahaman dan informasi yang utuh untuk mengakses data terkait siapa saja yang berkontestasi dan memiliki visi-misi yang sejalan dengan masyarakat. Hal ini sangat penting, karena zaman telah berubah dan teknologi semakin canggih, sehingga masyarakat perlu menyadari pentingnya penggunaan teknologi secara bijak. Selain itu, pemerataan akses teknologi dan literasi digital juga harus menjadi perhatian agar semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses informasi, khususnya terkait pemilihan pemimpin dalam proses demokrasi.
5. Institusional dan Regulasi
Secara institusional, perlu adanya regulasi yang jelas untuk menyukseskan penyelenggaraan proses demokrasi serta menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap badan penyelenggara dan petugas yang terlibat. Para penyelenggara harus bekerja dengan sepenuh hati, tidak hanya mementingkan golongannya semata, tetapi memiliki kesadaran penuh akan pentingnya kejujuran serta kemajuan masyarakat dan negara. Regulasi yang baik dan pelaksanaan yang jujur akan memperkuat kepercayaan publik dan mendukung terciptanya proses demokrasi yang berkualitas.
Kualitas demokrasi lahir dari seberapa jauh kesiapan dan kesadaran, baik secara individu maupun kolektif, tentang pentingnya demokrasi. Sebab jika tidak, pemilu hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi. Hanya menjadi ajang menuntaskan tugas tanpa esensi yang penuh, ajang untuk menghambur-hamburkan uang negara, dan ajang untuk bagi-bagi kue semata. Hal ini sangat disayangkan, karena seharusnya pemilu menjadi kontestasi yang menentukan arah bangsa ke depan, bukan menjadi sarana untuk mendoktrin atau hanya mementingkan golongan tertentu. Akibatnya, nilai dan esensi tujuan demokrasi, serta keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpin menjadi rendah. Karena minimnya pengetahuan dan kesadaran akan hal tersebut, masyarakat menjadi pemilih yang buta arah dan bingung mau ke mana serta siapa yang layak memimpin. Hal ini hanya menimbulkan perpecahan dan tidak menyatukan elemen masyarakat karena perbedaan pilihan, sehingga masyarakat mudah terpolarisasi semata. Hal ini sangat disayangkan, karena pada akhirnya negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa tahu arah negara ini akan dibawa kemana.
Secara nyata, setidaknya terdapat lima rekomendasi yang dapat diterapkan sebagai solusi atas persoalan yang terjadi saat ini:
- Edukasi literasi politik dan digital secara masif.
- Menjaga toleransi dan ruang diskusi sehat antarwarga.
- Menguatkan kesadaran anti politik uang.
- Kolaborasi semua pihak dalam pengawasan pemilu.
- Edukasi teknis pemilu kepada pemilih pemula.
Pemilu tidak hanya berbicara tentang siapa yang menjadi pemenang semata, tetapi juga tentang bagaimana menentukan nasib dan arah masa depan bangsa ini. Dengan penuh kesadaran, persiapan multidimensional adalah kunci untuk mewujudkan demokrasi substantif, bukan sekadar formalitas belaka. Sebagai warga negara yang baik, sudah seharusnya kita mengajak semua elemen masyarakat untuk saling bersinergi, menyambut masa depan dengan menyongsong pemilu melalui persiapan akal, hati, dan tindakan, tanpa intervensi serta tanpa kecurangan yang telah tersusun dan terkonsep rapi oleh sistem oligarki. Pemilu seharusnya menjadi ajang perbaikan kepemimpinan ke depan, bukan hanya menjadi ajang tukar tambah jabatan untuk kepentingan kelompok, golongan, atau segelintir orang yang hanya ingin menikmati kenikmatan yang diberikan Tuhan di muka bumi ini.