Perempuan di Titik Nol?
Meninjau dalam konteks agama. Narasi kitab suci tidak melulu kemudian membahas tentang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan semata. Pemahaman terhadap teks-teks keagamaan tidak serta merta ditelan begitu saja. Terlebih justifikasi ayat yang menyebutkan tentang kelebihan laki-laki atas perempuan yang cenderung dianggap diskriminatif.
Pemahaman tunggal dan dangkal terkait elaborativisme teks-teks kitab suci baik al-qur’an maupun hadis, perlu melibatkan banyak sekali perangkat keilmuan untuk dapat membaca dengan proporsional dan memahami dengan utuh antara teks dan konteks. Buruknya adalah jika perangkat keilmuan yang tidak kompleks dan memadai dalam memahami teks, konteks, dan historisitas yang valid maka akan lahir stigma-stigma buruk lainnya.
Lahir dan berkembangnya stereotip yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dibandingkan laki-laki menyebabkan ketidakadilan gender terus muncul di kalangan masyarakat. Kejadian ini timbul lagi-lagi karena pemahaman yang salah terhadap teks agama, budaya patriarki dengan gejalanya yang merugikan secara mutlak terhadap perempuan, dan gejala-gejala lain seperti halnya kondisi ekonomi yang mencekik, dan arus politik ghairu siyasah yang tidak memprioritaskan perlindungan anak dan perempuan.
Sebagai manusia yang beragama tentu Cara berpikir yang kemudian perlu diperbaiki adalah bahwa agama apa saja tidak membenarkan tindak kriminalitas dalam bentuk apapun baik antara sesama, lebih-lebih kepada lawan jenis. Kaum Fundamentalisme Rasional dan golongan Fundamentalisme Religius sama-sama meyakini bahwa Visi Al-Quran salah satunya adalah keadilan.
Namun demikian, pola yang digunakan dalam melihat keadilan tidak sama sehingga konseptualisasi dan konklusi yang ditawarkan juga berbeda. Bagi kaum rasionalis keadilan adalah kesetaraan mutlak, sementara kaum religius melihat keadilan dalam perbedaan dan proporsionalitas.