Perempuan di Titik Nol?

Bukan perkara yang biasa bila kemudian terjadi ketimpangan sosial, diskriminasi, bahkan kriminalitas yang terjadi terhadap perempuan. Nawal El Sadaawi. Salah satu penulis Mesir yang di judul bukunya tidak segan-segan memberi amtsal kepada perempuan yang tidak lagi berkuasa atas diri dan hidupnya dengan ta’yin, Perempuan Di Titik Nol.
Kekerasan dan pelecehan seksual seperti apapun bentuknya tetaplah sebuah perilaku amoral dan tidak terpuji. Seperti kasus yang dilakukan seorang polisi yang oleh sebagian suara dilegitimasi dengan kata Sexual Consent, atau agamawan yang menggunakan relasi ketertundukan atas nama seorang guru yang wajib ditaati apapun perintahnya.
Pun dilengkapi dengan kejadian serupa yang terjadi dalam dunia pendidikan Perguruan Tinggi beberapa waktu lalu bahkan seorang oknum tenaga medis yang juga jatuh dalam paraphilia, kondisi di mana kecenderungan melampiaskan hasrat seksulanya mencapai puncak tak terbendung. Dalam UUD 1945, kasus-kasus tersebut telah dianulir oleh Kemendikbud dengan Permen No 30 Tahun 2021 tentang “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.” Bahkan pasal yang lebih universal dengan butir-butir perinciannya, yaitu pasa undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (UU TPKS).
Kejadian-kejadian tersebut bisa berpotensi mengeraskan kembali suara perempuan untuk melantangkan gerakan emansipasinya secara aktif yang bahkan dapat mengabaikan nilai-nilai etik moral dan ranah proporsionalitas mereka (perempuan) sebagai jenis mahluk ciptaan Tuhan yang secara biologis memiliki perbedaan alamiah yang juga tidak dapat dipungkiri. Kesadaran semacam ini telah banyak disampaikan oleh teks-teks agama.
Meski terkadang sisi lain, haluan dengan corak pemikiran dan diskursus yang dominan berkiblat pada pola pandang modernisme tentang gender, yaitu gologan orientalis yang dengan keras dan sengaja melakukan gerakan massif mempelajari agama Islam khususnya, namun justru untuk mendiskreditkan dan kerap memunculkan narasi-narasi tendensius dari segala arah. Salah satunya melalui jendela kecil yaitu, persoalan gender.
Sejarah merekam bagaimana saat dengan bahasa yang begitu lembut dan murni, R.A. Kartini menuliskan kegelisahan hatinya kepada seorang sahabatnya Estelle H. Zehandellar,
“Bukan hanya suara dari luar, dari Eropa yang masuk ke dalam hati saya yang membuat saya menginginkan perubahan keadaan saat ini. Jauh semenjak saya kanak-kanak ketika kata emansipasi belum ada bunyinya, belum ada arinya buat saya, tulisan dan karangan tentang hal itu jauh dari jangkauan saya, muncul dari dalam diri saya keinginan yang makin lama makin kuat, yaitu keinginan akan kebebasan, kemerdekaan dan berdiri sendiri. Kemudian keadaan yang berlangsung di sekitar saya yang mematahkan hati dan membuat saya menangis, membangkitkan kembali keinginan itu”
(baca: “Habislah Gelap Terbitlah Terang.”)