Ngopi: Antara Rasa, Ilmu, dan Sebentuk Renungan tentang Manusia

Kopi tak pernah meminta untuk dianggap penting. Ia hanya hadir, kadang dalam keheningan pagi, kadang dalam kebisingan siang yang tertahan. Tidak seperti obat yang dijanjikan menyembuhkan, kopi datang tanpa klaim. Tidak seperti makanan yang mendesak dipuji atau dikritik, kopi menerima bila diseruput perlahan lalu ditinggal begitu saja. Mungkin karena itu kopi bertahan, bukan sebagai tren yang lewat, melainkan sebagai kebiasaan yang sulit dibatalkan. Kita tidak pernah benar-benar “memulai” ngopi, karena kebiasaan ini tidak dimulai dengan niat mulia atau kesadaran tinggi. Ia hanya tumbuh bersama waktu, menempel pada rutinitas, menyelinap ke dalam percakapan dan kelelahan.
Kopi tidak memohon perhatian, tapi ia memikat perhatian ilmuwan. Dalam setiap cangkir, tersimpan kerja senyap molekul-molekul kecil yang memberi efek besar pada tubuh manusia. Kafein, senyawa pahit yang disalahpahami oleh rasa, bekerja seperti penyusup. Ia masuk ke otak, menemukan reseptor adenosin—penjaga rasa kantuk—dan menempatinya dengan licin. Akibatnya, adenosin tak bisa menjalankan tugasnya. Kantuk ditunda, kesadaran meningkat, tubuh menyangka bahwa hari masih pagi, walau jam dinding berkata sebaliknya. Inilah yang oleh sains disebut sebagai stimulasi sistem saraf pusat. Tapi bagi orang yang ngopi, semua itu tak penting. Yang terasa hanya satu: mata lebih terang, kepala lebih jernih, dunia lebih bisa diajak kompromi.
Namun tubuh tidak bisa ditipu tanpa membalas. Begitu efek kafein luruh, yang datang bukan sekadar kantuk biasa. Kadang disertai lelah mendalam, gemetar halus, atau gelisah yang tak jelas asalnya. Ada yang memaklumi ini sebagai bagian dari harga yang dibayar, ada juga yang menolaknya dengan menambah cangkir berikutnya. Demikianlah kopi bekerja dalam irama yang nyaris bersifat moral: menguatkan sekaligus memperingatkan, memberi sekaligus menagih.
Kopi juga membawa cerita lain, di luar tubuh. Ia menjadi bahan riset yang menyenangkan bagi banyak institusi kesehatan dunia. Beberapa studi besar menyatakan bahwa konsumsi kopi dalam jumlah sedang berkorelasi dengan penurunan risiko diabetes tipe 2, penyakit Parkinson, bahkan kanker hati. Studi lain menemukan bahwa antioksidan dalam kopi—yang jumlahnya melebihi banyak buah—membantu melindungi sel-sel dari kerusakan akibat stres oksidatif. Sebagian pakar bahkan menyebut kopi sebagai “pahlawan tak resmi” dalam epidemiologi modern. Tapi, seperti pahlawan mana pun, kopi juga memiliki sisi gelapnya. Ia memperburuk insomnia, mempercepat detak jantung bagi yang sensitif, dan bisa menimbulkan kecemasan halus yang tidak mudah dikenali.
Lalu ada yang mencoba melihat kopi dari sisi sosial. Dalam satu cangkir, seringkali terkandung lebih banyak dialog daripada dalam sebuah forum resmi. Kopi membuka ruang jeda di antara kalimat, memungkinkan jeda antarmanusia. Ia membuat perbincangan tidak selalu harus padat makna, cukup mengalir seperti uap panas yang menari di permukaan cangkir. Dalam banyak budaya, kopi bahkan menjadi alasan untuk berkumpul tanpa agenda. Tak perlu maksud tertentu. Cukup ngopi saja. Biarkan topik menyusul, atau tidak datang sama sekali. Di situ, kopi tidak hanya berfungsi sebagai minuman, tapi sebagai alasan untuk hadir dan bertahan dalam percakapan.
Sosiologi barangkali belum cukup memberi tempat bagi kopi dalam diskusi besar tentang masyarakat modern. Tapi diam-diam, kopi membentuk semacam ritme hidup. Ia mengisi celah-celah yang tidak diisi oleh sistem. Ketika waktu kerja terlalu panjang dan akhir pekan terlalu cepat berlalu, kopi menawarkan transisi. Ia tidak menyelesaikan apa pun, tapi cukup menunda keretakan. Dan mungkin itu cukup.
Kopi juga tak bisa dipisahkan dari pertanyaan ekonomi dan etika. Di balik harga satu cangkir di kafe, ada perjalanan panjang dari kebun ke gelas. Ada petani di dataran tinggi yang menunggu hujan dan menghindari hama. Ada buruh pengolah yang menyortir biji dengan tangan kasar. Ada jalur distribusi yang menentukan siapa mendapat untung dan siapa harus cukup dengan harapan. Maka, meminum kopi dengan kesadaran asal-usulnya bukan tindakan sia-sia. Ia bisa menjadi bentuk hormat, bahkan bila hanya dalam bentuk pilihan kecil: memilih kopi organik, mendukung petani lokal, atau sekadar tidak membuang kopi begitu saja karena terlalu dingin.
Namun di antara semua kerumitan itu, kopi tetap sederhana. Ia tidak menuntut syarat untuk dinikmati. Tidak perlu tahu semua riset medis, tidak perlu membaca sejarah global perdagangan kopi, bahkan tidak perlu mengerti cara menyeduh yang benar. Kopi memberi dirinya begitu saja, kadang terlalu manis, kadang terlalu pahit, tapi selalu cukup untuk jadi alasan duduk sejenak. Dalam dunia yang selalu menuntut bergerak, kopi memberi ruang untuk diam.
Dalam diam itulah, seringkali muncul percakapan dengan diri sendiri. Pikiran yang tadi berserakan mulai menyatu, rencana yang sempat buram menjadi lebih tajam. Mungkin bukan karena kopi itu sendiri, tapi karena ritual ngopi menghadirkan suasana batin tertentu. Keheningan yang tidak kosong. Ketenangan yang tidak pasif. Di situ, kopi menjadi lebih dari cairan: ia menjadi peristiwa. Sebentuk ruang kecil yang diciptakan di tengah arus besar kehidupan yang terus mendesak ke depan.
Tentu tidak semua orang merasakan hal yang sama. Bagi sebagian, kopi hanyalah pengisi waktu, penunda kantuk, atau bagian dari gaya hidup yang sedang tren. Tapi justru karena itu, kopi bisa menjadi cermin. Ia mencerminkan cara seseorang memperlakukan waktu: apakah sebagai sesuatu yang harus dilipat agar muat lebih banyak, atau sebagai sesuatu yang bisa dijeda untuk dipahami.
Mungkin tidak ada jawaban final apakah kopi itu baik atau buruk. Sains sendiri, meski memberi data yang banyak, tetap bergantung pada konteks dan tubuh masing-masing. Apa yang menyehatkan bagi satu orang bisa menjadi gangguan bagi orang lain. Maka pilihan untuk ngopi atau tidak ngopi bukanlah soal logika medis belaka, melainkan bagian dari bagaimana seseorang mengenal dirinya, mendengarkan ritmenya sendiri, dan menentukan apa yang membuat hari-harinya lebih utuh.
Dan pada akhirnya, mungkin kita tidak benar-benar butuh alasan untuk ngopi. Sama seperti kita tidak selalu butuh alasan untuk bernapas lebih dalam, atau untuk melihat langit senja meski tahu malam akan datang juga. Kadang, cukup tahu bahwa di tengah kebisingan yang terus bergulir, ada momen kecil yang bisa dinikmati. Tanpa harapan akan keajaiban, tanpa ambisi untuk menyelesaikan segalanya. Cukup duduk, menuang air panas, membiarkan aroma naik perlahan, lalu menyeruputnya pelan-pelan. Sesederhana itu, dan memang seharusnya sesederhana itu.