Mengetuk Pintu yang Belum Ditemukan

Mengetuk Pintu yang Belum Ditemukan
Ilustrasi Mengetuk Pintu yang Belum Ditemukan

Aku masih ingat betul sore itu, ketika suara adzan Magrib merangkak dari surau dekat rumah kontrakan. Lantai semen retak-retak, cat tembok mengelupas seperti sisik ikan asin yang dibiarkan terlalu lama di jemuran. Di situ, di sudut ruangan selebar delapan langkah kaki, duduk seorang lelaki bernama Ratna. Namanya memang Ratna, meski orang-orang selalu terkekeh, katanya nama itu milik perempuan.

Ratna baru pulang dari kampus yang sudah lama tak lagi ia banggakan. Jas almamaternya digantung di paku dinding, berdebu. Ia mencuci tangan di ember yang airnya keruh, membilas sisa kertas ujian yang hancur terkena hujan. Di atas meja kayu pinjaman, bertumpuk buku-buku fotokopi dengan sampul berwarna merah bata. Sebagian sudah robek di sudutnya, sebagian lagi hanya menunggu giliran dibarter di loak.

Ia kuliah dengan beasiswa yang datangnya setengah hati. Kadang dapat, kadang tidak. Ijazah belum tentu terbit, nilai di atas kertas masih menunggu belas kasihan dosen pembimbing yang seringkali hilang entah ke mana. Ia tidak bodoh. Nilainya pas-pasan. Tidak juga cemerlang. Orang bilang, kalau kau tak pintar sekalian, jadilah bodoh sekalian, supaya tak menanggung malu di tengah. Tapi Ratna terjepit di tengah, seperti puntung rokok yang setengah padam.

Ayahnya buruh bongkar muat di pasar induk. Ibunya tukang cuci di rumah-rumah orang yang temboknya tinggi, ber-AC di tiap ruang makan. Ratna paham betul betapa nyaring suara perut kosong di malam hari. Ia belajar di pojok kamar sambil menahan lapar, menghafal teori-teori perubahan sosial yang katanya bisa mengubah dunia, padahal yang berubah hanya angka di slip tagihan listrik.

Umurnya sudah 25. Teman-temannya banyak yang sudah duduk di kantor-kantor dengan ruangan dingin dan kursi empuk. Berkaus putih, bersepatu kulit, sibuk memperbaharui CV di LinkedIn. Ratna hanya punya sepatu hitam yang solnya mulai nganga, sering kemasukan air kalau hujan. Pernah ia melamar kerja di perusahaan outsourcing, diterima di tahap wawancara, tapi gugur di tes kepribadian karena terlalu banyak menjawab jujur.

Sore itu, Ratna membakar rokok ketiga belasnya. Asapnya menempel di dinding, membentuk bayangan seperti siluet orang-orang berseragam rapi, berdasi, menatap sinis ke arahnya. Kadang ia bercanda pada dirinya sendiri, katanya, “Ratna, besok kita akan kaya, kalau beruntung menang undian sabun cuci.”

Tak ada yang benar-benar menertawakan. Hanya ada suara kipas angin berderit di langit-langit kamar. Di luar, anak-anak tetangga berlari-lari mengejar layangan putus. Layangan itu mirip nasib Ratna—terbang sebentar, lalu tersangkut di kabel listrik.

Ia pernah mencoba meminjam uang pada teman. Temannya bilang, “Untuk apa, Na? Investasi saja di kripto, cepat balik modal.” Tapi Ratna tahu, investasi macam apa pun tak akan bisa menambal lubang di kepalanya. Lubang yang terus bertanya, “Untuk apa semua ini? Ijazah apa kabar? Gelar apa kabar? Kau mau kerja apa dengan nilai pas-pasan?”

Di pagi lain, Ratna sempat bekerja paruh waktu di kedai kopi. Mengaduk kopi pesanan anak-anak muda yang suka pamer laptop mahal. Mereka duduk lama-lama, menulis caption motivasi di Instagram, sambil menyeruput espresso. Ratna berdiri di belakang meja kasir, menelan ludah, merapal kata-kata penyemangat yang tak pernah cukup menyemangati dirinya sendiri.

Tiap malam, ia masih membuka buku. Kadang pura-pura belajar, padahal yang ia baca cuma halaman judul. Otaknya kebas, matanya pedih.

Suatu malam, ia pulang paling akhir. Lampu-lampu lorong kos sudah mati. Langkahnya menggema di lantai beton. Di ujung lorong, Ratna berhenti. Dilihatnya bayangannya sendiri di kaca jendela tetangga. Wajahnya buram. Rambutnya lepek. Ia bertanya dalam hati: “Mau ke mana lagi, Na? Jalan di depan masih panjang, tapi bekalmu tinggal ampas.”

Esoknya, Ratna bangun lebih pagi. Ia menyalakan kompor butut, merebus mie instan sisa kemarin. Diseduhnya kopi saset. Asapnya mengepul tipis, seperti mimpi-mimpi yang perlahan terurai di udara.

Baca Juga
Serakah

Tak ada yang benar-benar menunggu Ratna. Tak ada perusahaan yang mendamba ijazahnya. Tak ada kantor yang menyediakan kursi untuknya.

Tapi Ratna tetap berjalan. Ia taruh sehelai kertas lamaran di map plastik. Ditekannya di bawah ketiak, langkahnya gontai ke jalan raya. Motor-motor berderu. Truk-truk melaju. Debu beterbangan menempel di wajahnya.

Di jalan itu, Ratna melawan status quo dengan caranya sendiri: tetap berjalan meski tahu kakinya pincang. Tetap menatap ke depan meski jalannya buntu. Dan di ujung lorong, entah besok atau lusa, ia berharap akan menemukan pintu.

Mungkin pintu itu tak membawa ke mana-mana. Tapi setidaknya, Ratna ingin tahu rasanya mengetuk.

Tinggalkan Balasan