Mengapa Kita Harus Waspada terhadap Tukang Fitnah

Fitnah
Mengapa Kita Harus Waspada terhadap Tukang Fitnah

Fitnah sering kali tidak datang dalam rupa yang kasar. Ia tidak selalu berteriak di tengah kerumunan atau menyerang dengan kata-kata penuh makian. Justru sebaliknya, fitnah bisa datang dari orang yang duduk di sebelah kita, tersenyum, mengangguk, bahkan memeluk. Ia hadir dalam wajah yang kita percaya, dalam suara yang kita kira sahabat. Dan di situlah bahayanya tersembunyi.

Selama ini kita diajarkan bahwa bahaya berasal dari luar. Kita dibesarkan untuk waspada terhadap orang asing, terhadap musuh politik, terhadap pesaing di luar pagar rumah. Namun, kenyataan sosial justru menunjukkan sebaliknya. Dalam banyak kasus, yang paling merusak hidup seseorang bukanlah musuh yang terang-terangan mengacungkan senjata, melainkan teman yang diam-diam menyelipkan racun dalam obrolan harian.

Nama Baiq Nuril masih lekat dalam ingatan banyak orang. Ia hanyalah seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram. Kehidupannya sederhana, seperti kebanyakan perempuan pekerja lainnya. Namun, ketika ia mencoba melawan pelecehan verbal yang dilakukan oleh atasannya, ia justru dijerat hukum. Bukannya dilindungi sebagai korban, Baiq malah dilaporkan karena merekam bukti pelecehan itu. Rekaman itu bukan ia yang sebarkan, melainkan beredar dari lingkaran sekitarnya. Tapi negara tak peduli. Ia dituduh menyebarkan konten asusila dan divonis bersalah. Enam bulan penjara dan denda setengah miliar rupiah menghantam hidupnya. Yang menyakitkan, semua itu bermula dari kepercayaan yang ia berikan kepada orang-orang yang ia kira bisa menyimpannya sebagai teman.

Fitnah tidak selalu datang dari musuh. Kadang, ia dibisikkan oleh teman sendiri. Orang yang terlihat peduli, tapi sebenarnya menyimpan kepentingan. Orang yang dekat, tapi menyimpan niat buruk. Seperti dalam dunia kerja, kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti pada 2021 menjadi sorotan karena mereka dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Penyebabnya adalah diskusi mereka dalam sebuah video YouTube yang memuat hasil riset dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang emas di Papua. Konten itu mengundang polemik nasional.

Terlepas dari proses hukum yang masih berjalan, yang patut dicermati adalah bagaimana informasi itu berkembang. Potongan video disebarkan secara luas, dimaknai ulang, dan menjadi bahan tudingan. Fitnah bekerja tidak selalu dalam bentuk langsung, kadang melalui framing dan penggiringan opini yang dilakukan oleh orang-orang yang dulu pernah duduk satu meja. Dalam konteks seperti ini, satu kutipan bisa jadi senjata, dan satu teman bisa jadi penyulutnya.

Fitnah juga tak kenal status sosial. Rachel Vennya, seorang selebritas media sosial, pernah menjadi sasaran publik setelah terungkap ia keluar dari masa karantina sepulang dari luar negeri tanpa izin resmi. Namun yang mengejutkan bukan hanya pelanggarannya, melainkan fakta bahwa informasi itu pertama kali diketahui publik dari bocoran orang dalam. Diduga, orang yang menyebarkannya adalah seseorang yang memiliki akses langsung ke jadwal dan aktivitas pribadi Rachel. Ia bukan wartawan, bukan aparat, tapi seseorang dari lingkaran terdekatnya. Sekali lagi, kita diingatkan bahwa fitnah kerap bekerja dari dalam, dari yang kita sebut “teman”.

Dalam konteks digital, bahaya fitnah bahkan bisa lebih fatal. Pada tahun 2023, seorang profesional IT dari Surabaya bernama Hermanto Tanoko menjadi korban pencatutan nama dalam kampanye disinformasi tentang vaksin. Sebuah akun palsu menggunakan identitasnya untuk menyebarkan hoaks, yang akhirnya membuat reputasinya rusak parah. Ia menerima ancaman, kehilangan relasi bisnis, dan harus membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat sama sekali dalam informasi tersebut. Publik tidak menunggu klarifikasi. Nama baik Hermanto terlanjur digerus dalam opini publik yang terbentuk hanya dari tangkapan layar. Si pembuat akun palsu tidak pernah tertangkap, namun indikasi bahwa ia adalah orang yang mengenal Hermanto secara pribadi memperkuat fakta bahwa fitnah sering kali tumbuh dari orang dalam.

Lingkungan sosial yang sehat mustahil tumbuh di atas tanah yang dipenuhi racun. Fitnah bukan hanya merusak satu atau dua orang, tapi juga tatanan kepercayaan antarindividu. Ia menciptakan budaya saling curiga, mematahkan ikatan, dan membangun tembok tinggi antar sesama. Ketika kita berteman dengan tukang fitnah, kita sedang membuka pintu bagi rusaknya kehormatan, bukan hanya orang lain, tapi juga diri sendiri.

Orang yang mudah menyebar kabar burung tanpa verifikasi bukan sekadar pembawa cerita, ia adalah arsitek kehancuran sosial. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya bisa menjadi awal dari hilangnya rasa aman seseorang di tempat kerja, di komunitas, atau bahkan di rumah. Dan kita yang berada di dekatnya, jika tak hati-hati, akan ikut terseret menjadi bagian dari kerusakan itu.

Banyak yang merasa cukup cerdas untuk mengenali fitnah. Mereka merasa mampu membedakan mana informasi yang akurat dan mana yang bohong. Tapi nyatanya, bukan soal cerdas atau tidak, melainkan soal seberapa besar kita menyadari bahwa fitnah bisa datang dari arah yang tak kita duga. Orang yang kita ajak minum kopi hari ini, bisa jadi esok menyebarkan obrolan kita ke media sosial. Obrolan santai bisa berubah menjadi bahan gosip yang tak pernah kita bayangkan akan keluar.

Fitnah tidak butuh data. Ia hanya butuh suasana. Ia akan tumbuh subur di tengah ketidaktahuan, ketidaksabaran, dan kebutuhan manusia akan sensasi. Fitnah tidak selalu berbentuk kebohongan terang-terangan. Kadang hanya cukup dengan “katanya”, “aku dengar dari orang dalam”, “jangan bilang siapa-siapa ya”. Kalimat-kalimat seperti itu adalah pintu masuk bencana yang tidak kelihatan. Dan bila kita tidak segera menutupnya, kita sedang menunggu giliran menjadi korban.

Maka, menjaga diri dari tukang fitnah adalah bagian dari menjaga kewarasan sosial. Tidak semua orang pantas berada di dalam lingkaran pergaulan yang sehat. Ada yang hanya datang untuk membakar, lalu tertawa melihat bara itu menyala. Mereka tidak merusak dengan tangan, tapi dengan lidah. Tidak memukul, tapi menusuk dari belakang. Dan jika kita tidak segera menjauh, luka itu akan datang tanpa kita sadari.

Karena itu, dalam dunia yang semakin gaduh, salah satu pertahanan yang paling penting adalah memastikan bahwa kita tidak memberikan tempat bagi tukang fitnah dalam hidup kita. Memilih teman adalah keputusan moral. Berteman dengan orang yang menjaga rahasia, yang memverifikasi kabar, dan yang tidak mudah menghakimi, adalah langkah menjaga ruang batin kita dari hancur. Sebaliknya, membiarkan orang yang gemar menyebar cerita tidak jelas tetap berada di sisi kita, adalah undangan terbuka bagi kerusakan.

Fitnah mungkin hanya satu kalimat. Tapi dampaknya bisa menghancurkan karier, pernikahan, pertemanan, bahkan hidup seseorang. Luka akibat fitnah sering kali tak terlihat di kulit, tapi menganga di hati. Dan yang membuatnya makin perih adalah ketika luka itu ditorehkan oleh orang yang kita anggap sahabat.

Lebih baik menjaga jarak dari orang yang senang memelintir fakta, daripada harus kehilangan harga diri karena satu kalimatnya. Karena dalam dunia yang makin bising, sahabat sejati bukanlah yang paling ramai menyapa, tapi yang paling diam menjaga nama kita ketika kita tidak ada.

One Comment

Tinggalkan Balasan