ADVERTISEMENT

Melawan Quarter Life Crisis dengan Pisau Filosofis dan Teologis

Pernah merasa hidup di usia 20-an terasa membingungkan? Rasanya baru kemarin lulus kuliah, tapi sudah dituntut untuk mapan, punya pekerjaan bagus, pasangan yang jelas, dan masa depan yang terencana rapi. Namun kenyataannya, banyak anak muda justru gamang, cemas, bahkan kehilangan arah.

Fenomena itu dikenal dengan sebutan quarter life crisis—sebuah istilah yang mulai populer sejak terbitnya buku Quarter Life Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties karya Robbins & Wilner (2001). Singkatnya, ini adalah masa ketika seseorang di usia 20–29 tahun dilanda kecemasan berlebihan tentang masa depan.

Krisis yang Nyata

Robbins & Wilner menggambarkan gejala quarter life crisis cukup serius: depresi, kesepian, kehilangan keterampilan sosial, hingga terjebak dalam lingkaran pergaulan yang tidak sehat. Tidak sedikit anak muda mencari pelarian dengan nongkrong di klub malam, minum alkohol, atau seks bebas.

Sayangnya, pelarian itu hanya menenangkan sesaat. Setelahnya, rasa hampa kembali hadir. Pertanyaannya, adakah cara yang lebih sehat untuk keluar dari jebakan krisis ini?

Stoikisme: Mengendalikan yang Bisa Dikendalikan

Salah satu kunci bisa ditemukan dalam filsafat kuno: Stoikisme. Ajaran stoik menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan melepaskan hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.

Contohnya, gagal mendapatkan pekerjaan di perusahaan impian bukan berarti dunia runtuh. Bagi seorang stoik, kegagalan itu sinyal untuk memperbaiki keterampilan, bukan alasan untuk putus asa. Atau ketika ditinggalkan pasangan, seorang stoik akan berkata: “Mungkin memang belum waktunya saya menikah.”

Stoikisme mengajarkan kita untuk berdamai dengan kenyataan, sambil terus mengembangkan diri. Sebuah cara pandang yang sederhana, tapi menenangkan.

Islam: Ikhlas, Ikhtiar, dan Takdir

Menariknya, dalam Islam kita juga diajarkan hal yang serupa. Ada tiga kata kunci: ikhtiar, takdir, dan ikhlas. Kita wajib berusaha sebaik mungkin, tetapi pada akhirnya ada hal-hal yang memang bukan kuasa kita. Di titik itulah takdir bekerja, dan hati ditenangkan dengan ikhlas.

Shalat pun bisa menjadi ruang refleksi yang dalam. Ia bukan hanya ritual, tapi juga wadah untuk meluapkan keresahan, mengadu, bahkan menangis. Dari situ, lahirlah rasa lapang dan kekuatan baru untuk kembali menata hidup.

Pisau Ganda untuk Menyongsong Masa Depan

Dengan pisau filosofis ala Stoikisme dan pisau teologis dari ajaran Islam, generasi 20-an bisa lebih siap menghadapi badai quarter life crisis. Bukan lagi dengan pelarian yang melelahkan, melainkan dengan ketenangan, refleksi, dan langkah yang lebih bijak.

Krisis di usia muda sejatinya bukan akhir dari segalanya. Justru di sanalah jalan berliku menuju kedewasaan dimulai. Dan siapa tahu, di balik kegamangan hari ini, tersimpan pintu-pintu baru menuju masa depan yang lebih terang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *