Meja Kaki Lima
Yang Tidak Bisa Dibakar
Waktu berputar. Musim kampanye tiba seperti kabut datang ke pematang—mendadak dan membutakan. Para calon wali kota berseliweran di layar kaca, berjanji menyulap pasar menjadi mal, jalan menjadi lorong LED, dan rakyat menjadi “data potensi ekonomi.” Tak satu pun menyebut tentang meja kaki lima yang tiap pagi menghidupi mereka diam-diam.
Namun, suara meja itu terus hidup. Seorang penyair tua menulis buku kumpulan puisi berjudul Kaki Kelima, lalu membacakannya di lapak. Seorang sutradara muda membuat film dokumenter tentang pasar yang digusur, menjadikan meja itu simbol. Seorang dosen hukum membahas puisi di bawah meja itu dalam kuliah konstitusi: “Inilah bentuk perlawanan kontekstual, karena hukum tak selalu hadir ketika perut kosong.”
Dan para aparat, yang sudah letih membongkar, memilih mengabaikan. Sebab mereka tahu, yang mereka hadapi bukan sekadar kayu dan besi, tapi kesadaran.
Meja itu—meski bisa dibakar, bisa dipatahkan, bisa disita—selalu kembali.
Karena ada sesuatu yang tidak bisa dibakar: kenangan akan keadilan yang belum ditegakkan.
Pak Darun Kembali (Atau Mungkin Tidak?)
Suatu pagi yang lengang, ketika matahari malu-malu menyibak tirai awan, sosok tua berjenggot tipis terlihat mendekati pasar. Ia membawa tas lusuh, mengenakan peci dan sandal jepit. Anak-anak yang biasa jajan molen menatapnya dengan mata ragu.
Seorang remaja bertanya lirih, “Itu… Pak Darun?”
Tapi lelaki itu hanya tersenyum, tak menjawab. Ia duduk di kursi plastik, di dekat meja kaki lima, lalu mengambil sepotong gorengan, membelahnya perlahan, dan menggigit sambil memejamkan mata.
“Rasanya tetap sama,” katanya.
Apakah itu benar Pak Darun, atau hanya bayangan dari harapan kolektif?
Tak ada yang tahu pasti. Tapi sejak hari itu, meja itu kembali jadi tempat tanya yang sunyi—bukan jawaban. Orang datang bukan untuk membeli, tapi untuk mendengar. Bukan untuk kenyang, tapi untuk mengingat.
Meja yang Menjadi Jalan
Di suatu titik, meja itu tak lagi disebut “lapak.” Ia berubah makna. Ia bukan tempat dagang, tapi tempat tinggal gagasan. Tempat orang kecil tak merasa kecil. Tempat pemerintah diam karena tak punya kalimat.
Kaki kelima—yang dulu dianggap cacat—kini jadi lambang. Ia tidak simetris, tidak terukur, tidak rasional. Tapi justru karena itu, ia manusiawi.
Dan mungkin, ketika sejarah menulis ulang dirinya nanti, akan ada catatan kecil di pinggir halaman:
“Pada zaman pemerintah terlalu sibuk membangun monumen, ada satu meja kaki lima yang diam-diam membangun republik dalam hati rakyat.”
Warisan Tanpa Tugu
Meja itu masih berdiri. Tidak megah, tidak kuat. Tapi nyata. Seperti luka. Seperti doa. Seperti rakyat yang terus berjalan meski dunia terlalu sempit untuk tempat berpijak.
Ia tidak diberi patung peresmian. Tidak ada pita merah yang dipotong. Tapi ia hadir di ingatan mereka yang pernah meneguk teh hangatnya, menyentuh kayu lapuknya, atau membaca puisi yang kini abadi di bawahnya:
“Jika meja kami hancur, kami akan berdiri di tanah.
Jika tanah kami dicabut, kami akan berjalan di udara.
Tapi jika suara kami kau bakar,
Maka kami akan tumbuh di tenggorokanmu,
Sebagai batuk yang tak pernah sembuh.”
Dan di tengah kota yang terus digusur oleh ambisi, meja itu tetap menunggu pagi.
Dan pagi—entah kapan—akan datang juga.