Meja Kaki Lima

Suara dari Asap Wajan
Di sudut pasar yang tak lagi mengingat namanya sendiri, berdirilah sebuah meja. Bukan meja warung biasa—meja ini berkaki lima. Kakinya timpang, tidak rata, satu lebih panjang dari yang lain. Namun entah bagaimana, ia tidak pernah roboh. Saban pagi, lelaki tua bernama Pak Darun memoles permukaannya dengan kain lap basah, seperti seorang pendeta membersihkan altar suci.
Pak Darun tak banyak bicara. Tapi asap dari wajan penggorengannya bercerita lebih lantang dari teriakan demonstran. Di sana, tahu goreng dan pisang molen bersuara lirih, menumpahkan keluhan-keluhan rakyat yang tak sempat diucap.
“Meja ini saksi,” katanya suatu sore kepada seorang mahasiswa yang nyasar ke lapaknya.
“Saksi apa, Pak?” tanya si mahasiswa sambil menyeruput teh manis.
Pak Darun menatap langit, seakan ingin mengeja awan.
“Saksi bahwa pemerintah yang menindas bisa jatuh bukan oleh senjata, tapi oleh lapar.”
Kota yang Menyapu Ulang Peta
Kota ini dulunya disebut Harapan, tapi sejak dibawah Wali Kota baru, orang-orang lebih suka menyebutnya Kota Cakar. Entah karena jalan-jalannya yang rusak seperti dicakar garpu baja, atau karena setiap hari ada yang tercakar hatinya oleh peraturan baru yang absurd.
Semua yang menjual di trotoar dianggap musuh negara. Meja-meja disita, gerobak digilas, dan dagangan dihamburkan seperti debu kesalahan.
Tapi meja Pak Darun tidak ikut musnah. Bukan karena ia sakti, tapi karena ia punya kaki kelima yang tersembunyi—kaki yang tertanam ke dalam tanah seperti akar.
“Meja ini bukan milik saya,” bisik Pak Darun suatu hari. “Ini milik suara yang tak punya mikrofon.”
Lelaki Berjas, Sepatu Licin
Suatu pagi datanglah seorang lelaki berjas dengan sepatu licin dan lencana gemerlap. Ia memeriksa lapak satu per satu, mencatat dan memarahi. Tapi ketika tiba di meja kaki lima itu, ia berhenti. Matanya menatap kaki-kaki yang ganjil itu, lalu mulutnya bergerak seperti ingin mengutuk, tapi tertahan.
“Kau belum bayar izin berjualan!” katanya akhirnya.
Pak Darun hanya menunduk. “Saya tak tahu izin macam apa yang harus dibayar untuk udara yang saya hirup, atau cahaya matahari yang membakar gorengan saya.”
“Semua butuh izin!”
Pak Darun mengangguk, lalu menunjuk ke meja.
“Izin itu tak bisa dibayar. Ia tumbuh dari tanah. Seperti kaki kelima ini.”
Pejabat itu marah, tapi tak bisa menjatuhkan sanksi. Sebab di bawah meja itu tertulis puisi tua, diukir dengan paku kecil: “Jika rakyat pergi, pemerintah tinggal bersama kekuasaan yang hampa.”