Makna Menulis untuk Kehidupan Sehari-Hari

Menulis, dalam pandangan umum, sering dipersempit hanya sebagai aktivitas akademis: mencatat, membuat laporan, atau menyusun karya ilmiah. Namun dalam realitas kehidupan sehari-hari, menulis memiliki makna yang jauh lebih mendalam.
Ia adalah medium eksistensial manusia untuk memahami dirinya sendiri, mengatur dunia yang berantakan, hingga membangun jembatan komunikasi dengan orang lain. Menulis bukan sekadar menciptakan teks; ia adalah perpanjangan dari kesadaran.
Pandangan ini tidak lahir dari ruang hampa. Tokoh-tokoh besar dunia, mulai dari filsuf klasik hingga pemikir modern, telah lama menyoroti makna menulis dalam relasi dengan kehidupan manusia.
Michel Foucault melihat tulisan sebagai “praktik diri” (practices of the self), Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa menulis adalah cara manusia untuk melawan absurditas hidup, sementara Lev Vygotsky melihat tulisan sebagai instrumen kognitif yang membentuk kesadaran.
Menulis sebagai Praktik Mengatur Kekacauan
Kehidupan sehari-hari tidak pernah rapi. Kita dibombardir informasi, tuntutan pekerjaan, ekspektasi sosial, hingga kegelisahan personal. Di sinilah menulis mengambil peran vital: ia adalah alat untuk mengatur kekacauan.
Filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah menulis bahwa manusia adalah makhluk yang “harus mengingat dan melupakan dengan seimbang.” Menulis, dalam praktik sehari-hari, memungkinkan manusia untuk menyimpan beban pikiran di luar kepalanya. Sebuah catatan kecil di buku harian atau memo di ponsel adalah cara paling realistis untuk melepaskan pikiran yang menumpuk.
Seseorang yang terbangun tengah malam dengan kecemasan tentang pekerjaan esok hari, lalu menuliskannya di secarik kertas. Tindakan itu bukan sekadar aktivitas motorik, tetapi proses mental untuk “memindahkan” kegelisahan.
Dalam psikologi modern, James Pennebaker menegaskan melalui Expressive Writing Paradigm bahwa menuliskan pengalaman emosional terbukti menurunkan tingkat stres dan meningkatkan imunitas. Maka, menulis adalah praktik keseharian yang memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas.
Menulis sebagai Perlawanan terhadap Lupa
Realitas sehari-hari manusia sering ditandai oleh kelupaan. Kita lupa janji, lupa detail, bahkan lupa perasaan yang pernah begitu intens. Menulis, secara ultra realistis, adalah perlawanan paling sederhana terhadap lupa.
Paul Ricoeur dalam bukunya Memory, History, Forgetting menjelaskan bahwa ingatan manusia rapuh dan penuh celah. Catatan harian, jurnal aktivitas, atau sekadar daftar belanja adalah bentuk konkret bagaimana tulisan menjadi memori eksternal.
Ambil contoh nyata: seorang ibu rumah tangga yang membuat daftar belanja di kertas kecil sebelum pergi ke pasar. Pada permukaan, itu hanyalah daftar barang. Namun bila ditelusuri lebih jauh, kertas itu adalah representasi dari manajemen hidup, memori, dan perencanaan masa depan. Tanpa tulisan, kebutuhan bisa terlupa, ritme rumah tangga berantakan.
Menulis di sini bukanlah aktivitas intelektual elitis, melainkan mekanisme bertahan hidup sehari-hari. Dengan menulis, manusia mengikat waktu yang mudah melesat.
Menulis sebagai Proses Menyusun Identitas
Ultra realisme menuntut kita melihat bahwa manusia bukanlah makhluk yang sudah selesai, melainkan selalu dalam proses menjadi. Menulis adalah sarana utama untuk menyusun identitas.
Foucault, dalam gagasan tentang technologies of the self, menjelaskan bahwa praktik menulis catatan pribadi di zaman Yunani-Romawi Kuno adalah bentuk melatih diri (askesis). Orang menulis untuk merekam pengalaman, mengevaluasi diri, dan mengarahkan hidupnya.
Di masa kini, kita melihat fenomena serupa dalam bentuk jurnal pribadi, blog, hingga status media sosial. Seorang remaja yang menulis diari tentang rasa cemas menghadapi ujian sebenarnya sedang membangun narasi tentang siapa dirinya. Seorang pekerja kantoran yang menulis refleksi di LinkedIn tentang perjalanan kariernya sedang meneguhkan identitas profesionalnya.
Dengan menulis, kita merangkai fragmen hidup menjadi cerita yang bisa dipahami, bukan sekadar serpihan pengalaman acak. Dalam bahasa Jerome Bruner, manusia adalah homo narrans—makhluk pencerita—dan menulis adalah bentuk paling konkret dari penceritaan diri.
Menulis sebagai Medium Refleksi dan Kesadaran
Dalam kehidupan sehari-hari yang serba cepat, refleksi menjadi barang langka. Menulis memaksa kita berhenti sejenak dan menatap kehidupan dengan lebih jernih.
David Bohm, seorang fisikawan sekaligus pemikir dialog, menyebut menulis sebagai bentuk thinking on paper. Dengan menulis, pikiran yang abstrak dipaksa tampil dalam bentuk konkret. Proses ini sering kali mengubah isi pikiran itu sendiri. Sesuatu yang semula terasa besar dan menakutkan, saat ditulis, bisa tampak lebih sederhana.
Seseorang yang sedang galau karena hubungan personalnya retak. Saat menulis surat—meski surat itu tidak dikirimkan—ia menyadari perasaan sebenarnya, memilah mana yang berasal dari ego, mana yang berasal dari luka. Menulis menjadi medium refleksi yang tidak bisa digantikan oleh sekadar berpikir dalam hati.
Dalam kerangka psikoanalisis, Jacques Lacan menegaskan bahwa bahasa membentuk realitas subjektif manusia. Dengan menulis, kita tidak hanya mencatat pengalaman, tetapi juga membentuk ulang pengalaman itu. Menulis adalah praktik kesadaran diri.
Menulis sebagai Jembatan Komunikasi
Kehidupan sehari-hari menuntut interaksi dengan orang lain. Menulis menjadi medium utama untuk menjembatani jarak, baik secara fisik maupun emosional.
Dalam teori komunikasi klasik, Harold Lasswell menyebutkan pertanyaan fundamental: Who says what in which channel to whom with what effect? Menulis adalah jawaban praktis untuk pertanyaan itu. Surat cinta, pesan singkat, email pekerjaan, hingga postingan media sosial adalah bentuk nyata komunikasi tertulis yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Kita bisa melihat bagaimana sebuah pesan WhatsApp singkat bisa mengubah suasana hati seseorang sepanjang hari. Sebuah email resmi bisa menentukan nasib karier. Artinya, menulis bukan sekadar ekspresi, tetapi juga alat negosiasi sosial yang memengaruhi kehidupan nyata.
Menulis sebagai Latihan Menghadapi Keterbatasan
Manusia hidup dalam keterbatasan: waktu, tenaga, bahkan kosakata. Menulis adalah latihan harian menghadapi keterbatasan itu.
Ernest Hemingway, seorang novelis besar, terkenal dengan gaya minimalisnya. Ia percaya bahwa kekuatan tulisan justru muncul ketika kata-kata dipangkas hingga esensial. Prinsip ini sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Menulis memo singkat di kantor, misalnya, menuntut kita menyampaikan informasi padat tanpa bertele-tele.
Latihan ini bukan sekadar teknis, tetapi juga filosofis. Dengan menulis singkat, kita belajar memilah mana yang penting dan mana yang bisa diabaikan. Dalam dunia nyata yang penuh distraksi, kemampuan ini menjadi bekal bertahan hidup.
Menulis dan Dimensi Sosial-Politik
Walaupun terlihat personal, menulis dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah steril dari dimensi sosial-politik.
George Orwell, dalam esainya Politics and the English Language, menegaskan bahwa bahasa yang buruk melahirkan politik yang buruk. Dalam praktik realistis, menulis laporan RT, menulis aspirasi warga, atau sekadar menulis komentar kritis di media sosial, adalah bagian dari keterlibatan politik.
Menulis memberi ruang bagi orang biasa untuk bersuara. Seorang petani yang menulis surat keberatan atas kebijakan pupuk bersubsidi sesungguhnya sedang menjalankan praktik demokrasi. Di level mikro, inilah makna menulis: menjadikan individu yang tampak kecil tetap memiliki suara dalam arena sosial.
Menulis sebagai Terapi Realistis
Keseharian manusia modern sering diliputi stres. Menulis menawarkan fungsi terapeutik yang sangat nyata.
Pennebaker, seperti disinggung sebelumnya, menunjukkan melalui penelitian ilmiah bahwa menulis pengalaman traumatis bisa membantu proses penyembuhan psikologis. Bahkan dalam praktik klinis, journaling therapy kini digunakan sebagai salah satu metode terapi.
Secara realistis, kita bisa melihat bagaimana seseorang yang menulis surat untuk dirinya di masa depan sedang melakukan terapi mandiri. Menulis memberi ruang aman untuk menyalurkan emosi tanpa harus takut dihakimi orang lain.
Menulis sebagai Warisan Kehidupan
Sehari-hari, manusia sering tidak sadar bahwa tulisan kecil mereka bisa menjadi warisan.
Seorang ayah yang menuliskan pesan singkat di buku catatan anaknya, seorang nenek yang menyimpan resep masakan dalam buku tua, atau seorang guru yang menuliskan catatan kecil di pinggir buku murid—semua itu adalah bentuk warisan yang melampaui waktu.
Maurice Halbwachs, dengan konsep collective memory, menunjukkan bahwa ingatan kolektif suatu kelompok sering kali dibentuk melalui teks yang diwariskan. Maka, menulis bukan hanya praktik personal, tetapi juga investasi sosial-budaya untuk generasi berikutnya.
Tantangan Menulis dalam Realitas Kontemporer
Kita tidak bisa menutup mata pada tantangan menulis di era digital.
Pertama, distraksi. Notifikasi media sosial membuat orang lebih sulit duduk tenang untuk menulis reflektif. Kedua, ilusi instan. Banyak orang menulis demi validasi cepat, bukan untuk refleksi mendalam. Ketiga, ancaman manipulasi. Di era fake news, tulisan bisa disalahgunakan untuk menyesatkan.
Meskipun demikian, kesadaran akan tantangan ini justru mempertegas bahwa menulis masih relevan. Ia menjadi benteng terakhir untuk melawan arus informasi yang serba cepat.
Menulis sebagai Laku Hidup
Ultra realisme menuntut kita memandang menulis bukan sebagai aktivitas eksklusif kaum intelektual, melainkan sebagai laku hidup sehari-hari yang melekat pada siapa pun. Dari catatan belanja, pesan singkat, hingga jurnal pribadi, menulis adalah cara manusia bertahan, merawat diri, dan membangun relasi sosial.
Dalam pandangan Sartre, manusia dikutuk untuk bebas, dan menulis adalah salah satu bentuk kebebasan itu: kebebasan untuk memberi makna pada kehidupan yang absurd. Dengan menulis, kita tidak hanya mencatat hidup, tetapi juga menyusunnya, mengartikulasikannya, bahkan melampaui batasannya.
Maka, makna menulis untuk kehidupan sehari-hari terletak pada kesederhanaannya yang radikal: ia membuat manusia tetap manusiawi di tengah kekacauan dunia.