Kursi Goyang
Ilustrasi Kursi Goyang/Balai Pikir

I

Di atas teras kayu, seekor kursi goyang berdiri tegak, menantang waktu. Rotan lapuknya menggambarkan usia yang menua, namun masih mampu menahan berat tubuh laki-laki renta yang duduk di sana setiap pagi. Dinginnya embun belum sepenuhnya hilang saat Pak Dirman menyalakan rokok kreteknya. Isapan pertama menghembuskan ujung putih ke udara, seperti simbol bisu kekesalannya terhadap dunia yang terus bergerak tanpa ia rasakan manfaatnya lagi.

“Bangun pagi, Nak, demi apa?” gumamnya pelan pada cucu semata wayangnya, Raka. Mata anak muda itu masih berat usai menuntaskan tugas akhir kuliah di kota—tugas sosial sebagai bagian dari pembelajaran. Ia pulang kampung selama enam bulan, membantu ibunya di warung kecil di depan SD, dan mendampingi kakeknya setiap pagi.

“Demi perubahan, Kakek,” jawab Raka, sopan. Tapi sekilas raut di wajahnya mencerminkan kelelahan. Sudah terlalu lama ia menyaksikan karya nyata seolah berhenti—janji-janji tak ditepati, kebijakan tersendat, layanan publik semakin tak terjangkau.

Pak Dirman menghembuskan asap lagi. Ia menatap jalan desa yang dipenuhi lubang—minggir sana, sana, kembali bertemu di tikungan. Truk berat lewat perlahan, rambutnya bergoyang, dan suara rodanya menambah khasanah derit debu yang menari di antara pepohonan pisang.

“Jalan ini dulu kami ratakan pakai gotong-royong,” katanya sambil menepuk rotan kursi. “Sekarang cuma dibangun—tapi tak tahan dua musim hujan. Rusak lalu dibangun lagi. Ketika pintu kampanye terbuka, puluhan juta masuk kantong kampung, tapi sama saja.”

Raka mengangguk, menyimpan kalimat itu untuk dituliskan di jurnalnya. Ia tahu: bukan hanya nostalgia kakek yang berbicara, melainkan kekhawatiran banyak warga. Guru-guru honorer masih diperlakukan seperti kuli, petani tetap kesulitan pupuk—meski subsidi diumumkan besar di televisi—dan kader kesehatan desa sering mengeluh listrik Puskesmas mati tiap sore.

II

Cerita terus berulang: kampanye, janji perubahan, dan senyum selebar tapal kuda yang menghilang setelah tanda tangan kontrak politik dilemparkan. Duit bansos, katanya, sudah dihasilkan lewat program unggulan; padahal masyarakat di desa ini harus berburu kwitansi agar klaimnya tak ditolak.

Raka mencatat semua ini di buku catatnya—judulnya sementara: “Monolog dari Kursi Goyang”. Perangkat pemerintah tak pernah jauh dari ponselnya; kadang ia menelepon kantor desa, kadang membuat laporan via aplikasi, seringkali tak ada tindak lanjut. Faktanya sederhana: pengaduan menumpuk, prestasi administratif meningkat, tapi kualitas hidup stagnan atau menurun.

Suatu siang, suara toa masjid mengumumkan pembagian bantuan pangan. Raka, ibunya, dan kakeknya mengantri bersama ratusan warga lainnya. Kartu keluarga, KTP, foto copy bukti domisili—semua harus lengkap. Ia melihat wajah-wajah lelah, mata gelap, tangan gemetar menahan kantong plastik berisi gula, minyak, dan beras.

“Tak bisakah ini simpel saja?” desah Raka lirih.

“Birokrasi itu pelindung penyalahgunaan, katanya,” jawab sebuah suara di sebelahnya, sambil tertawa getir. “Tapi bila tak ada penyalahgunaan—yang ada sebaliknya: orang kecil yang sengsara.”

III

Malam tiba. Raka duduk di kursi goyang, membolak-balik naskahnya. Ia menambahkan dialog imajiner antara kakek dan calon legislatif lokal. “Pak, kursi ini lapuk karena lupa dirawat, bukan karena jamannya habis. Persis seperti janji-janji politik, Pak,” katanya.

Raka berhenti menulis. Lampu minyak di meja berkerlip, menciptakan bayangan besar di dinding rumah kayu. Irama bulir angin bertiup, menampar tirai lusuh. Sebuah bola kayu tua terjatuh dan bergulir. Tugas akhir seakan berbicara: agak paras, tapi berat.

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *