Ketinggian Tak Selalu Membebaskan

Di banyak unggahan, gunung tampak seperti tempat bertemu dengan versi terbaik dari diri sendiri. Namun kenyataannya, banyak orang naik gunung bukan semata-mata karena keindahan alam. Ada yang mendaki untuk menjauh dari riuh kota, ada yang membawa luka dan ingin sembuh, ada juga yang sekadar ingin berolahraga sambil menguji adrenalin. Tak sedikit pula yang merasa bahwa ketinggian bisa meredam kebisingan batin.
Dalam budaya media sosial hari ini, gunung tampil sebagai latar pencapaian spiritual dan eksistensial. Tapi gunung tak pernah menjanjikan apa-apa. Ia tak peduli siapa yang datang, apa tujuannya, atau dari mana ia berasal. Kitalah yang menggantungkan makna padanya dan kerap kali, makna itu kita paksa agar tampak fotogenik.
Ilusi Visual dan Narasi Romantis Petualangan
Dalam budaya visual yang serba instan, pendakian direduksi menjadi checklist pencapaian dan konten. Kita tidak lagi naik gunung untuk mendengarkan desau angin atau mengenali hening. Kita mendaki sambil memastikan sinyal cukup kuat untuk mengunggah cerita. Di tengah dorongan untuk “terlihat pernah sampai ke atas,” barangkali kita lupa bahwa ketinggian tidak selalu berarti kejelasan.
Setiap tahun, kita mendengar kabar tentang pendaki yang tersesat, kelelahan, bahkan kehilangan nyawa seperti yang terjadi pada pendaki asal Brasil di Gunung Rinjani Juliana Marins. Tapi narasi dominan tetap menggambarkan pendakian sebagai perjalanan estetis dan spiritual yang mulia. Risiko nyata sering kali terselubung oleh lapisan romantisme dan ekspresi digital yang ingin terus tampak menginspirasi.
Dikutip dari GoodStats, sejak 2013 hingga Mei 2024, 155 pendaki meninggal dunia di berbagai gunung di Indonesia. Penyebabnya beragam mulai dari hipotermia, tersesat, hingga kecelakaan fatal seperti jatuh ke jurang atau tertimpa longsor. Angka ini bukan sekadar statistik tapi sebagai pengingat bahwa alam (gunung) bukan hanya ruang kontemplatif, tapi juga medan yang menuntut kesiapan fisik, mental, dan etika.
Pendakian Sebagai Konsumsi
Dalam banyak budaya, gunung adalah simbol keheningan dan keteguhan. Tapi dalam masyarakat visual hari ini, ia telah menjadi objek konsumsi. Kita mendaki bukan lagi untuk hadir, melainkan untuk terlihat. Tak jarang, yang dicari bukan pengalaman, tapi pengakuan. Maka muncullah foto-foto yang dirancang sedemikian rupa, caption yang terdengar puitis, dan narasi yang heroic walau kadang tak sesuai dengan kenyataan di jalur pendakian.
Kita lupa bahwa mendaki seharusnya bukan tentang mencapai puncak tercepat, melainkan tentang hadir sepenuhnya dalam proses. Kita kehilangan relasi yang tulus dengan alam, digantikan oleh kebutuhan untuk membuktikan sesuatu pada dunia maya.
Saatnya Berhenti dan Bertanya
Mungkin sudah waktunya kita memaknai ulang pendakian bukan sebagai proyek estetika, tetapi sebagai dialog sunyi yang tak selalu perlu disaksikan. Gunung tak pernah menuntut kita untuk sampai ke atas. Ia hanya mengajak kita untuk hadir sepenuhnya: tanpa ilusi, tanpa pencitraan. justru saat kita tak lagi merasa harus terlihat, di sanalah ketinggian benar-benar membebaskan.
Penulis: Ari Reski Sashari
Sosiolog yang Sayang orang tua. Percaya bahwa revolusi sosial dimulai dari mencuci piring tanpa disuruh.
Instagram: https://www.instagram.com/arireskisashari/