ADVERTISEMENT

Islam Nusantara: Perempuan, dan Suara Lain Sunan Kalijaga di Rumah Kesenian

Islam Nusantara
Ilustrasi Islam Nusantara: Perempuan, dan Suara Lain Sunan Kalijaga di Rumah Kesenian

Seperti barang baru yang tidak pernah ada sama sekali sebelumnya, yakni term islam Nusantara. Kehadiran term tersebut kemudian cukup memantik perhatian dari beberapa kalangan. Bahkan tidak sedikit yang menentangnya. Karena dianggap bahwa term tersebut dapat berpotensi memberikan pemahaman yang salah tentang nasab pengetahuan tentang agama Islam. Sebab dalam khazanah pemikiran Islam sendiri term tersebut sama sekali asing untuk dikenal.

Akhirnya, terjadi pemutarbalikan dan anggapan-anggapan yang melahirkan sikap penolakan atas term yang dianggap kontroversi. Lain daripada itu, term Islam Nusantara tidak dibentuk untuk kemudian menegasikan satu golongan tertentu yang berbeda dalam segala aspeknya.

Kemunculan term ini tidak pula memiliki tujuan politis. Begitu rawan dan melahirkan cukup banyak reaksi setelah term ini lahir. Dikarenakan belum adanya kesamaan pemahaman tentang nilai Substansi.

Terdapat satu hal yang perlu ditegaskan sebagai prolog dalam konteks term Islam Nusantara, bahwa yang dimaksud term tersebut, adalah islam di Nusantara. Agar satu dan yang lain tidak jatuh dalam persepsi tunggal.

Islam di Nusantara merupakan nilai-nilai universal islam yang telah diimplementasikan di bumi Nusantara sejak dalam kurun masa yang lama oleh para pendahulu di Nusantara ini. Salah satu ciri yang dapat direkam dari garis sejarah bahwa, islamisasi di bumi Nusantara dilakukan dengan santun dalam menyebarkan agama, menjunjung tinggi nilai moderat dengan penuh toleransi, menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.

Mengingat islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tentu hal tersebut perlu wujud nyata dalam bentuk kongkret yang menguatkan statement tersebut. Seperti halnya di Indonesia sebagai negara yang majemuk, di mana pluralitas menjadi satu hal yang niscaya keberadaannya.

Indoensia yang berpenduduk lebih dari 250 juta, didiami oleh 700-an suku bahasa, 500-an bahasa, ragam tradisi dan budaya. Penerapan nilai-nilai Islam di Nusantara memungkinkan tidak sama. Katakanlah bahwa setiap tradisi dari satu wilayah dengan wilayah yang lain pun berbeda.

Maka, sikap penyesuaian di sini menjadi kebutuhan pokok untuk dilakukan lantaran adanya keberagaman yang dipandang sebagai sebuah kekayaan yang perlu dijaga agar menjadi semacam mutiara yang bernilai mahal, harkat dan martabatnya. Sebutlah ketika nilai-nilai islam terkait dengan penyikapan terhadap perempuan.

Penghormatan terhadap perempuan sangat mungkin tidak sama ekspresinya antara satu tempat dengan tempat lain. Sikap Islam dengan ajarannya yang rahmatan lil alamin, harus menunjukkan buktinya kepada sesuatu eksternal di luarnya.

Jika mungkin perbedaan akan mengarah tajam kepada akidah atau keyakinan sekalipun, ia haruslah memberi ruang atas kenyataan tersebut. Maka term Islam di Nusantara hendak menunjukkan bahwa ia lahir dari proses yang panjang dalam sejarah.

Membentuk kristal di kemudian hari dengan bentuknya yang khas yakni, Islam didakwahkan di Nusantara dengan cara merangkul, menyelaraskan, menghormati, dan tidak memberangus budaya. Sebab hal ini menjadi konsekuensi logis dari ajaran Islam yang syumul (sempurna) (baca Abu Yasid: Islam Moderat, 2018). Artinya bahwa Islam turun dari langit idealisme menuju bumi yang realitas.

Maka bukan tidak mungkin ajaran islam tidak dapat diterapkan dengan sempurna. Justru kesempurnaan itu dilihat dengan tetap memiliki spirit idealitas dan tidak menutup sebelah mata terhadap realitas (baca Afifuddin Muhajir: Fiqh Tata Negara).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!