Dari Warung Kopi ke Mimbar Politik: Ketika Cak Imin Menyentil HMI dan PMII Membalas dengan Gelak Tawa

Di negeri yang tak pernah kekurangan sensasi politik, kadang yang bikin ramai bukanlah krisis pangan, naiknya harga beras, atau defisit APBN. Yang bikin meledak justru sepenggal kalimat dari mulut seorang politisi yang, entah disengaja atau tidak, berhasil menyulut bara dalam tungku persaingan historis dua organisasi mahasiswa Islam terbesar: HMI dan PMII. Dan ya, seperti bisa ditebak, pemicunya bukan siapa-siapa, melainkan Muhaimin Iskandar—alias Cak Imin—yang sudah lama dikenal piawai bermain kata di tengah panggung politik.
Satu Kalimat, Seribu Tafsir
“Kalau ada yang tak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII, pasti itu HMI,” ujar Cak Imin dalam acara pengukuhan PB IKA PMII. Kalimat itu sederhana, hanya berisi dua anak kalimat, tapi cukup untuk memancing reaksi dari seantero alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Sebagian tersinggung, sebagian bingung, dan sebagian lagi tersenyum miring sambil menyeruput kopi hitam di warkop, “Ah, Cak Imin, kok ndak capek-capek nyari ribut?”
Dari sisi linguistik, pernyataan Cak Imin bisa dianalisis sebagai sebuah bentuk self-assertive comparative antagonism, yaitu strategi komunikasi di mana seseorang mengangkat identitas kelompoknya dengan menyisipkan sentilan terhadap kelompok lain. Dalam konteks budaya politik Indonesia, gaya ini bukan hal baru. Bedanya, Cak Imin melontarkannya di depan publik yang semakin cerdas dan, tentu saja, mudah tersinggung.
Dinamika PMII vs HMI: Saudara yang Lama Berseteru Diam-Diam
Untuk memahami konteks ucapan Cak Imin, kita perlu mundur ke sejarah. PMII lahir dari rahim NU pada 1960 sebagai bentuk respon atas dominasi HMI dalam dunia pergerakan mahasiswa Islam. Kala itu, HMI memang lebih dulu lahir (1947) dan telah menjadi rumah bagi banyak tokoh nasional, dari Soeharto hingga Akbar Tanjung, dari Anies Baswedan hingga Fahri Hamzah.
PMII, di sisi lain, sejak awal mengusung garis kaum akar rumput, kultural, santri, dan tentu saja—bernafaskan NU. Perbedaan ideologi dan pendekatan sosial inilah yang membuat hubungan HMI dan PMII seperti kakak-adik yang saling mencubit diam-diam. Jadi, ketika Cak Imin bilang “yang tak tumbuh dari bawah pasti bukan PMII”, ia sedang menggarisbawahi identitas PMII sebagai anak kampung yang bangga jadi kampungan. Tapi masalahnya, yang disindir bukan sembarang organisasi. HMI itu sudah semacam “Cernih di kampus”– tak tampak, tapi terasa berkuasa.
Balasan dari Arief Rosyid: Refleksi, Bukan Reaksi
Arief Rosyid Hasan, mantan Ketua Umum PB HMI (2013–2015), bukanlah sosok yang akan diam ketika sejarah HMI dipelintir. Dalam pernyataan publiknya, ia menyebut ucapan Cak Imin “ahistoris, simplistik dan menyesatkan.” Dan sejujurnya, Arief tidak sedang marah—ia sedang menyekolahkan Cak Imin dalam kuliah sejarah mikro yang biasanya cuma bisa ditemukan di kelas Prof. Taufik Abdullah.
Ia menjelaskan bagaimana HMI justru tumbuh dari basis masyarakat kampus yang marginal di masa revolusi, dari mahasiswa Islam yang tersisih dalam dominasi sosialis dan komunis. Bahkan, jika menilik karya Deliar Noer maupun Yudi Latif, HMI justru menjadi benteng pertama melawan hegemoni kiri di kampus-kampus, ketika NU dan kelompok Islam lainnya belum punya struktur mahasiswa.
Jadi, kalau mau jujur, narasi “dari bawah” itu bukan monopoli PMII. HMI justru lebih dulu menggali tanah.
Ketika Politik Identitas Jadi Lawakan Internal
Yang menarik, banyak alumni PMII pun tak serta merta membela Cak Imin. Beberapa dari mereka tertawa geli, “Ah, ini Cak Imin lagi kampanye pakai identitas lagi. Basi, Cak.” Ungkapan itu lebih terdengar seperti kritik internal yang tidak berani dilontarkan terang-terangan—karena, ya, siapa yang berani terang-terangan mengkritik calon presiden versi internal partai sendiri?
Sebagian menyindir balik: “Kalau semua PMII itu tumbuh dari bawah, kenapa banyak yang naiknya pakai eskalator kekuasaan partai, bukan tangga akademik?” Kalimat itu muncul dalam berbagai grup WA alumni PMII. Bercanda, tapi tajam. Ada yang membalas dengan meme: foto Cak Imin bersanding dengan tangga darurat bertuliskan “jalur karir darurat: PKB.”
Mengapa Ini Jadi Masalah Serius (yang Lucu)?
Mungkin Anda bertanya-tanya: kenapa hanya karena satu kalimat, politikus sebesar Cak Imin bisa dihujani kritik, bahkan dari orang-orang yang dulu mendukungnya? Jawabannya sederhana: karena kita sedang hidup di zaman di mana “asal bunyi” tak lagi lucu. Ini bukan 2005, ketika pernyataan kontroversial bisa lenyap ditelan infotainment. Ini era digital, di mana satu kalimat bisa jadi meme, jadi artikel, jadi trending topic, dan akhirnya: jadi bahan diskusi serius.
Cak Imin sepertinya terlalu percaya diri bahwa simbol PMII akan membentengi dirinya dari kritik. Padahal, dunia mahasiswa Islam hari ini tidak sekaku dua dekade lalu. HMI sudah punya alumni yang nyantri, PMII punya anggota yang lulusan Oxford. Batas “bawah” dan “atas” bukan lagi soal latar belakang, tapi kualitas berpikir.
Yang Lebih Penting dari Ribut-Ribut Ini
Jika ditelisik lebih jauh, baik HMI maupun PMII punya PR yang sama: regenerasi kader yang bisa berpikir kritis, bukan hanya loyal pada bendera. Baik HMI maupun PMII pernah melahirkan tokoh hebat, tapi juga pernah mencetak politisi medioker yang haus kuasa.
Alih-alih saling sindir, keduanya seharusnya berlomba dalam hal kontribusi kebangsaan. Misalnya, siapa yang lebih banyak menghasilkan tokoh yang konsisten membela rakyat? Siapa yang kadernya tidak hanya jago pidato, tapi juga jujur dalam mengelola APBD? Ini bukan soal siapa dari bawah, tapi siapa yang naik dengan niat tulus.
Sudut Pandang Baru: Politik Kaum Alumni
Ada satu hal yang jarang dibahas dalam kasus ini: bagaimana para alumni memonopoli narasi organisasi. Baik PMII maupun HMI, dalam kenyataannya, kini lebih sering dikendalikan oleh jejaring alumni daripada kader aktif di kampus. Maka ketika Cak Imin bicara soal “tumbuh dari bawah”, sebenarnya yang sedang bersuara adalah kelas elit alumni PMII yang sudah duduk nyaman di kursi kekuasaan.
Dengan kata lain, ada paradoks dalam klaim “dari bawah”: yang mengklaim justru sudah duduk di atas. Seolah-olah akar pohon sedang berpidato, padahal yang bicara adalah cabang paling tinggi yang sudah kena angin politik.
Ketawa Dulu, Baru Diskusi
Pernyataan Cak Imin mungkin menyakitkan bagi sebagian kader HMI, menyebalkan bagi sebagian PMII, dan membingungkan bagi mereka yang cuma mahasiswa biasa. Tapi lebih dari itu, ini adalah potret kecil dari bagaimana politik identitas masih menjadi alat jualan paling laris dalam dunia politik Indonesia.
Lucunya, pernyataan itu muncul di era ketika semua orang tahu: kinerja lebih penting dari asal-usul. Di dunia nyata, rakyat tidak peduli apakah wakilnya dari HMI, PMII, GMNI, atau SSB Kampung Tengah. Yang penting, mereka bekerja, jujur, dan tidak lupa daratan.
Jadi, mari kita anggap pernyataan Cak Imin sebagai lelucon internal yang kebetulan viral. Karena kalau terlalu serius, kita bisa lupa bahwa yang lebih berbahaya dari sindiran antarmahasiswa adalah: politisi yang lupa diri, lupa janji, dan lupa etika.
Dan dari semua ini, satu pelajaran penting bisa diambil:
“Kalau kau ingin bicara soal ‘dari bawah’, pastikan dulu kau tidak sedang berdiri di panggung paling tinggi, dengan mikrofon yang dibayar APBN.“