ADVERTISEMENT

Membaca dalam Kemapanan Kerja

Membaca dalam Kemapanan Kerja
Ilustrasi Membaca dalam Kemapanan Kerja

Di antara gemuruh mesin ekonomi dan detak jam kerja yang tak pernah berhenti, terdapat sebuah kehormatan sunyi membaca buku di sela kesibukan. Adalah sesuatu yang sederhana—membuka halaman, menyusuri baris, meresapi keheningan—namun langka. Orang yang tetap membaca meski sibuk, bukan sekadar mencari hiburan melainkan sedang membangun kemapanan batin yang tidak bisa diukur nilai tukar dan angka penghasilan.

Goenawan Mohamad, lewat Catatan Pinggir, pernah mengatakan:

“Orang yang tak pernah membaca, hidupnya hanya satu. Orang yang membaca, hidupnya ribuan kali.”

Kalimat ini mengingatkan bahwa membaca memperkaya kehidupan dengan kemungkinan. Keberadaan waktu kerja panjang, deadline, tumpukan email, bukanlah halangan absolut jika seseorang memilih membaca sebagai bagian dari kehidupan, bukan sebagai pelarian.

Kesibukan dan Krisis Makna

Kesibukan kerja sering menjadi tolok ukur kemapanan: jabatan tinggi, pendidikan bagus, penghasilan stabil. Semua ini penting—namun jika seseorang menyerahkan seluruh hidupnya kepada kesibukan, ia mungkin kehilangan sesuatu yang lebih mendasar: makna tentang apa ia lakukan, dan siapa ia sejatinya.

ADVERTISEMENT

Dalam dunia kerja modern, produktivitas menjadi dewa. Laporan, target, efisiensi—semua diukur dengan angka. Adakah ruang untuk bertanya: Untuk apa saya bekerja? Untuk siapa saya bekerja? Apakah kerja ini menjadikan saya lebih manusiawi atau hanya lebih terkuras?

Studi menunjukkan bahwa membaca memiliki manfaat kesehatan mental yang nyata. Penelitian dari University of Sussex tahun 2018 menemukan bahwa hanya enam menit membaca dalam sehari dapat menurunkan stres sekitar 68%. Fakta ini bukan retorika—itu kenyataan yang menunjuk bahwa sunyi membaca bukan kemewahan: ia kebutuhan. Dia memberi ruang untuk bernafas, untuk meredam tekanan, untuk kembali pada diri sendiri.

Membaca Sebagai Latihan Etika dan Refleksi

Menurut Goenawan Mohamad, membaca buku adalah cara kita bertemu dengan pikiran orang lain, kadang yang jauh berbeda, dan dalam pertemuan itu kita diuji: apakah kita akan tetap terbuka, atau tetap memegang klaim bahwa hanya kita yang benar.

Dalam membaca buku non-kerja—sastra, filsafat, sejarah—terdapat latihan untuk melihat dunia dari sudut lain, untuk mengajukan pertanyaan, bukan hanya jawaban yang siap. Di dalam Catatan Pinggir, GM menyebut bahwa ia menggunakan rubrik itu bukan hanya sebagai esai yang mengulas, tetapi sebagai cara “membiarkan pembaca ikut berpikir, ikut meragukan, ikut mempertanyakan.” (tempo.co)

Mereka yang tetap membaca meski lelah dari kerja, di malam hari, dalam keadaan tubuh letih—itu adalah orang yang memilih latihan batin. Latihan untuk tetap peka, tetap punya selera terhadap perbedaan, tetap punya ruang bagi kesalahan dan keraguan.

ADVERTISEMENT

Kemapanan Batinnya Lebih dari Kemapanan Material

Kemapanan materi gampang diukur: gaji, rumah, mobil, tabungan. Tapi kemapanan batin yang lahir dari membaca tidak terukur oleh inflasi atau indeks saham. Ia adalah kemampuan untuk damai dengan keheningan malam, untuk menolak godaan mengisi setiap jeda dengan media sosial, iklan, atau hiburan dangkal, dan memilih duduk dengan buku.

GM mengaku, ia hampir rutin menulis Catatan Pinggir setiap pekan, kecuali dalam keadaan luar biasa; bahkan ketika bepergian ke desa kecil di Eropa tanpa akses internet, ia mengirim teks melalui SMS agar tulisannya tetap muncul. Ini menunjukkan bahwa menjaga tradisi membaca dan menulis bukan sekadar pekerjaan; ia cara hidup, bukan sesuatu yang ditinggalkan saat sibuk.

Kemapanan batin muncul ketika seseorang bisa berkata, “saya memiliki waktu sendiri,” meski sibuk, karena ia memberi prioritas kepada hal-hal yang merawat jiwa: membaca, merawat imajinasi, merawat pertanyaan-pertanyaan dasar tentang hidup.

Buku vs Layar: Ancaman Fragmentasi Pikiran

Zaman digital memudahkan akses. Informasi datang deras (berita, media sosial, opini, video pendek). Namun gaya membaca di layar, potongan-potongan singkat, cenderung fragmentatif. Informasi cepat, tetapi memahami lambat.

Maryanne Wolf, seorang neurosaintis, memperingatkan bahwa otak yang terlalu terbiasa membaca cepat dan fragmen kehilangan kemampuan melakukan deep reading (membaca yang lambat, reflektif, menyambung gagasan satu sama lain hingga menghasilkan pemahaman yang utuh). Membaca buku fisik atau teks panjang adalah latihan melawan fragmentasi pikiran tersebut.

Goenawan sendiri melukiskan bahwa Catatan Pinggir bermula sebagai rubrik yang dipanggil dari isi buku atau film, tapi berkembang ke refleksi yang lebih luas—filsafat, keadilan sosial, ideologi, kehidupan manusia. Buku tidak hanya sebagai objek; buku menjadi lawan dialog—dengan pembaca, dengan penulis, dengan penulis buku itu sendiri.

Membaca sebagai Proses Merebut Waktu

Kita mungkin sering berpikir bahwa kita tidak punya cukup waktu untuk membaca. Namun sebenarnya, waktu kita sudah dibagi-bagi: untuk pekerjaan, aktivitas yang nampak produktif, serta keterlibatan digital. Sedikit waktu luang pun sering terisi oleh hal-hal yang instan.

Membaca buku adalah cara merebut kembali waktu untuk diri sendiri. Saat seseorang memilih membaca sebelum tidur, atau di perjalanan pulang, atau di ruang tunggu, ia menyatakan bahwa hidup tidak boleh seluruhnya diserahkan kepada tuntutan eksternal. Ia mengambil kembali kepemilikan atas waktu pribadinya.

GM pernah bercerita bahwa menulis Catatan Pinggir tidak selalu mudah; meskipun tugasnya rutin, ia kadang harus menghadapi kendala teknis dan geografis; namun kecintaan terhadap buku dan gerak pikir membuatnya selalu mencari jalan agar suara pikirannya tetap terdengar. 

Sunyi yang Menumbuhkan dan Menyuburkan Imajinasi

Sunyi bukanlah kekosongan yang menakutkan, melainkan ladang bagi imajinasi. Buku menyediakan ruang keheningan di mana pikiran bisa diampelas oleh gagasan, terinspirasi oleh kata-kata dan makna yang jauh dari kegaduhan dunia.

Di esai “Pelan” dalam Catatan Pinggir, Goenawan menggambarkan dirinya sebagai seorang flâneur penyendiri, yang “bangun pagi demi mencari sepi sebelum membuka laptopnya”. Ia mengambil jarak antara dirinya dengan kerumunan yang riuh di media sosial dan keramaian dunia luar. Dari jarak itu muncul refleksi, muncul kemampuan untuk melihat, untuk meresapi, bukan sekadar merespons.

Mereka yang tetap membaca, membiarkan diri mereka berada dalam posisi yang tidak cerewet, tidak buru-buru. Membiarkan pertanyaan beterbangan, membiarkan sudahnya jam kerja belum memaksa mereka mengubur rasa ingin tahu.

Kemapanan yang Utuh

Kemapanan sejati bukan hanya soal materi. Ia juga soal batin. Ia juga soal kemampuan seseorang tetap menjadi manusia yang utuh di tengah tuntutan efisiensi dan produktivitas.

Mereka yang tetap membaca meski dikepung deadline, tanggung jawab, kekhawatiran—mereka membangun kemapanan yang tidak mudah roboh oleh krisis. Karena ketika hidup penuh angka, buku mengingatkan pada arti, pada sejarah, pada manusiawi yang tidak bisa dikompromi.

Goenawan Mohamad pernah berkata:

“Sejarah adalah kebohongan yang disepakati.” 

Kutipan ini menunjukkan bahwa pemahaman kita atas dunia bergantung pada narasi dan interpretasi. Membaca banyak perspektif, memeriksa ulang asumsi, adalah bagian dari tanggung jawab intelektual. Dan orang yang membaca secara berkelanjutan, meski sibuk, melakukan tugas itu. Ia tidak membiarkan dirinya ditelan oleh narasi tunggal dari produktivitas, oleh klaim bahwa “sibuk = sukses”.

Maka, kemapanan orang yang tetap membaca merupakan kemapanan keberanian. Keberanian untuk mempertahankan kerentanan, untuk tetap mempertanyakan, tetap tenggelam dalam huruf agar bisa bangkit dengan kesadaran baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *