Keracunan Massal MBG: Kepercayaan, Risiko, dan Politik Pangan

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan pada 6 Januari 2025 dengan tujuan mulia untuk mengatasi masalah malnutrisi, menunjang perkembangan anak, serta mewujudkan visi jangka panjang Indonesia Emas 2045.1 Program ini merupakan intervensi gizi yang menargetkan kelompok rentan, termasuk anak-anak di bawah lima tahun, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak sekolah hingga tingkat sekolah menengah.1 Dalam konteks sosiologis dan politik, MBG diposisikan sebagai investasi penting bagi masa depan bangsa yang tidak boleh dihentikan.3
Namun, implementasi program MBG dengan cepat berubah menjadi krisis kesehatan publik dan tata kelola pemerintahan. Dalam periode Januari hingga September 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat terjadi 70 insiden keamanan pangan—termasuk keracunan massal—yang berdampak pada 5.914 penerima manfaat.1 Kasus-kasus ini terjadi berulang kali di berbagai lokasi, mulai dari Sleman dan Lebong 5 hingga insiden berskala besar di Agam, Sumatera Barat, yang memaksa Pemerintah Kabupaten setempat menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) setelah korban mencapai 113 hingga 122 orang, mayoritas adalah pelajar.6
Krisis ini melampaui masalah teknis keamanan pangan sederhana. Keracunan MBG yang berulang adalah cerminan dari kegagalan tata kelola (governance failure) dan kelalaian struktural negara dalam menjamin hak dasar warganya. Oleh karena itu, laporan ini menyajikan analisis kritis interdisipliner dengan menggunakan tiga lensa utama: sosiologi untuk menguji krisis kepercayaan dan politik pangan; pendidikan untuk menilai disrupsi pembelajaran dan defisit literasi kesehatan; serta Hak Asasi Manusia (HAM) untuk menegaskan tanggung jawab negara dan penegakan hukum.
Sosiologi Risiko dan Industrialisasi Bantuan
Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) secara konsisten menyoroti minimnya pengawasan proses penyiapan makanan higienis dan masalah yang timbul dari skala produksi yang besar.5 Kasus-kasus spesifik keracunan massal, seperti yang terjadi di Agam, di mana 122 warga, terutama pelajar, jatuh sakit setelah menyantap nasi goreng dan telur dadar yang disediakan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) lokal, memperlihatkan risiko sistemik ini.7
Data klinis yang dikumpulkan pasca insiden berfungsi sebagai bukti sosial atas kegagalan ini. Analisis laboratorium menunjukkan kontaminasi serius oleh beberapa jenis bakteri patogen. Sebagai contoh, E. coli ditemukan pada air, nasi, tahu, dan ayam; Staphylococcus aureus pada tempe dan bakso; dan Salmonella pada ayam, telur, dan sayuran.4 Kehadiran patogen seperti Bacillus cereus pada mi, yang biasanya terkait dengan manajemen suhu penyimpanan yang tidak tepat (waktu tunggu yang terlalu lama antara memasak dan konsumsi), menunjukkan bahwa risiko keamanan pangan ini melingkupi seluruh rantai pasok, mulai dari pengadaan bahan baku hingga distribusi.4
Ketika intervensi kesejahteraan sosial seperti MBG diindustrialisasikan atau diproduksi secara massal oleh Unit Layanan (SPPG), fokus operasional cenderung bergeser dari kualitas gizi dan higienitas menjadi efisiensi biaya dan kecepatan distribusi. Pergeseran ini, yang dikenal sebagai Paradoks Filantropi, mengubah niat baik menjadi ancaman kesehatan. Program yang dimaksudkan sebagai investasi peradaban 3 justru dapat menciptakan malapetaka (
The Peril of Philanthropy) karena proses pengolahan yang tergesa-gesa atau dilakukan oleh pihak yang tidak kompeten.9 Makanan yang secara kasat mata terlihat segar dan aman, seperti yang dilaporkan oleh seorang guru di Agam yang sempat mencicipi nasi goreng sebelum dibagikan, dapat terkontaminasi secara mikrobiologis.7 Hal ini menunjukkan kegagalan dalam penerapan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang krusial dalam katering skala besar.
Krisis Tata Kelola dan Institusionalisasi Risiko
Kegagalan higienitas dan operasional diperparah oleh krisis tata kelola di tingkat kelembagaan. Investigasi Ombudsman Republik Indonesia (RI) pasca maraknya kasus keracunan menemukan delapan masalah utama, yang mengerucut pada empat potensi maladministrasi serius dalam penyelenggaraan program MBG: Penundaan Berlarut, Diskriminasi, Ketidakkompetenan, dan Penyimpangan Prosedur Pengadaan.11
Aspek “Diskriminasi” dan “Ketidakkompetenan” memiliki implikasi sosiologis yang paling merusak. Ombudsman menemukan adanya potensi afiliasi sejumlah yayasan dan mitra dengan jejaring politik yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam penetapan mitra pelaksana program.11 Temuan adanya ‘calo-calo yayasan’ semakin memperkuat dugaan bahwa pemilihan mitra SPPG dilakukan berdasarkan kedekatan atau afiliasi, bukan berdasarkan kompetensi teknis, seperti kepemilikan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).11
Secara sosiologis, situasi ini mengarah pada institusionalisasi risiko. Jika mitra pelaksana dipilih karena alasan politik, maka risiko keracunan tidak lagi dianggap sebagai kelalaian operasional yang terisolasi, melainkan sebagai konsekuensi langsung dari governance capture oleh elite. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai transparansi anggaran dan potensi penyelewengan. Dikhawatirkan MBG berubah menjadi proyek baru untuk memperkaya pejabat atau pihak terafiliasi, yang mana hal ini memerlukan penelusuran aliran dana dan keterkaitan antara penyedia jasa dengan regulator atau pejabat terkait.13 Penyimpangan prosedur pengadaan juga terlihat dari temuan pangan yang tidak sesuai standar, seperti kualitas beras yang buruk atau penyediaan lauk yang tidak memadai, mengindikasikan bahwa kualitas dikorbankan demi keuntungan (mitra masih bisa untung Rp 2.000 per porsi).11
Tabel 1. Potensi Maladministrasi dan Kegagalan Tata Kelola Program MBG (Berdasarkan Temuan Ombudsman)
Jenis Maladministrasi (Potensi) | Manifestasi dalam Program MBG | Implikasi Risiko Sosial dan Kesehatan | Sumber Data |
Diskriminasi/Konflik Kepentingan | Potensi afiliasi yayasan/mitra dengan jejaring politik; Ditemukan ‘Calo-calo Yayasan’. | Penurunan kualitas pangan akibat pemilihan mitra non-kompeten; Erosi kepercayaan publik; Indikasi governance capture. | 11 |
Ketidakkompetenan | Minimnya keahlian teknis dan higienitas di Unit Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG); Pelatihan juru masak yang singkat. | Gagalnya sertifikasi higiene (SLHS); Keracunan berulang akibat penanganan makanan yang salah; Tidak adanya ahli gizi mumpuni. | 10 |
Penyimpangan Prosedur Pengadaan | Pengadaan bahan baku tidak sesuai standar (misalnya, kualitas beras buruk, semangka tipis). | Pangan tidak bergizi atau terkontaminasi; Potensi kerugian keuangan negara. | 11 |
Erosi Kepercayaan Publik dan Devaluasi Krisis
Skala dan sifat keracunan yang berulang (Kejadian Luar Biasa) telah memicu kecemasan yang meluas di kalangan siswa, orang tua, dan pihak sekolah.9 Krisis ini menciptakan defisit kepercayaan yang substansial terhadap kemampuan negara untuk melindungi warga yang paling rentan. Keraguan muncul ketika makanan yang seharusnya memberikan gizi malah menjadi sumber ancaman kesehatan.
Meskipun pemerintah telah mengambil langkah taktis, seperti menetapkan KLB, menangguhkan 56 dapur MBG 1, dan mengakui adanya kelalaian 17, Badan Gizi Nasional (BGN) tetap berpegang pada narasi untuk melanjutkan program. Pihak BGN bahkan mencatat deviasi kasus keracunan (jumlah korban) sangat kecil, yakni hanya 0,00017 persen dibandingkan dengan total penyaluran lebih dari satu miliar porsi.2
Pendekatan yang menekankan statistik dan persentase yang rendah ini, sementara secara faktual benar dalam konteks kuantitatif total porsi, berisiko mengalami devaluasi krisis di mata publik. Dalam perspektif sosiologi risiko, setiap insiden keracunan yang menimpa 5.914 lebih korban mewakili kegagalan total dari pihak yang seharusnya dilindungi.19 Narasi yang berfokus pada statistik besar alih-alih pada dampak kemanusiaan dari tiap korban dapat memperparah krisis kepercayaan, karena hal itu mengesankan minimnya empati atau penekanan pada keselamatan anak sebagai prioritas tertinggi.20
Implikasi Pendidikan dan Penguatan Literasi Kesehatan
Konteks pendidikan adalah titik krusial dalam kasus keracunan MBG, karena mayoritas penerima manfaat yang menjadi korban adalah pelajar, mulai dari tingkat TK hingga SMP.7 Insiden ini tidak hanya mengancam kesehatan fisik mereka, tetapi juga secara fundamental mengganggu lingkungan dan tujuan pendidikan.
Keracunan massal memaksa ratusan siswa menjalani perawatan di fasilitas kesehatan, menyebabkan absensi dan kehilangan hari belajar.6 Hal ini secara langsung menghambat pencapaian tujuan akademik dan meniadakan tujuan awal program, yaitu menunjang pembelajaran siswa supaya lebih baik.15 Disrupsi PBM terjadi di tengah jam sekolah atau tak lama setelah konsumsi, memicu keresahan yang meluas.
Lebih jauh, keracunan yang berulang menciptakan lingkungan belajar yang penuh kecemasan. Program yang seharusnya menjadi sumber dukungan, justru menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian di kalangan siswa, orang tua, dan pihak sekolah.9 Kasus keracunan ini menimbulkan ancaman ganda: ancaman fisik (sakit) dan ancaman psikologis (trauma dan kecemasan). Dalam konteks psikososial pendidikan, merawat rasa takut terhadap makanan yang disediakan negara—di lingkungan sekolah yang seharusnya aman—secara serius merusak rasa aman dan fokus belajar. Hal ini juga merusak hubungan kepercayaan antara sekolah (sebagai penyalur) dan orang tua (sebagai penerima manfaat program).
Kegagalan Integrasi Ahli Gizi dan Defisit Kompetensi Teknis
Salah satu akar masalah operasional yang paling menonjol dari perspektif pendidikan dan kesehatan adalah defisit kapasitas teknis di Unit Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Seorang guru di Cipongkor, misalnya, secara eksplisit menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh dan penyediaan ahli gizi yang mumpuni di pihak dapur SPPG untuk menjamin keamanan pangan bagi anak-anak.15
Kebutuhan akan keahlian profesional ini berkaitan erat dengan masalah Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS). Data menunjukkan adanya masalah serius dalam kepatuhan standar. Bupati Bandung Barat, misalnya, pernah menyatakan bahwa 85 SPPG belum tersertifikasi higienitas dan sanitasi.15
Menteri Koordinator Bidang Pangan menekankan bahwa SLHS harus menjadi persyaratan wajib, bukan sekadar administrasi, untuk menjamin kualitas makanan.4 Kurangnya kepemilikan SLHS secara massal dan desakan untuk merekrut Ahli Gizi bukan hanya masalah birokrasi, tetapi menunjukkan adanya kesenjangan kapasitas yang besar dalam sistem pendidikan dan pelatihan vokasional bagi juru masak dan pengelola katering massal.10 Kegagalan MBG dalam menjamin keamanan pangan adalah kegagalan sistemik untuk mengintegrasikan literasi kesehatan publik dan keamanan pangan secara ketat di sepanjang rantai pasok. Pelatihan juru masak yang singkat 10 berpotensi langsung berkontribusi pada penanganan makanan yang tidak aman, sehingga sertifikasi harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelatihan dan keterampilan.4
Implikasi Kebijakan Anggaran Pendidikan
Kasus keracunan juga memicu perdebatan serius mengenai implikasi kebijakan anggaran. Program MBG, yang membutuhkan pendanaan masif, memunculkan sorotan terkait alokasi dana pendidikan. Kritikus, seperti Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), menyoroti bahwa pendanaan MBG berpotensi menyedot hingga 44 persen dari dana pendidikan, mendesak adanya evaluasi dan realokasi anggaran.22
Penyimpangan dan kegagalan operasional program (yang menghasilkan keracunan) memicu pertanyaan etis tentang pemanfaatan sumber daya publik. Jika alokasi anggaran yang besar diarahkan untuk program yang rentan terhadap maladministrasi dan justru menimbulkan risiko kesehatan massal, ini menunjukkan ketidakselarasan strategis antara tujuan kebijakan (peningkatan gizi) dan pelaksanaannya (keamanan pangan).23 Reformasi tata kelola menjadi kunci untuk memastikan bahwa anggaran tersebut benar-benar mendukung tujuan pendidikan dan gizi anak, dan bukan malah memperburuk kondisi mereka.23
Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Tanggung Jawab Negara
Kasus keracunan MBG secara langsung menyentuh kewajiban konstitusional dan internasional negara dalam menjamin hak dasar warganya, khususnya Hak Anak atas Pangan Aman dan Sehat. Skala insiden dan temuan kegagalan tata kelola menempatkan isu ini dalam kerangka akuntabilitas negara (state accountability).
Kerangka hukum Indonesia menyediakan landasan normatif yang kokoh bagi perlindungan hak anak atas pangan dan kesehatan. Hak ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang HAM, Undang-Undang Perlindungan Anak, serta diperkuat oleh regulasi sektoral. Secara spesifik, Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga agar bahan makanan memenuhi standar gizi dan keamanan. Demikian pula, Pasal 86 ayat (2) UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 mengatur kewajiban pemenuhan standar keamanan pangan, termasuk dalam program bantuan pemerintah.17
Insiden keracunan MBG yang berulang dan massal, seperti yang disoroti oleh berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dianggap sebagai pelanggaran hak anak yang serius.25 Pihak-pihak kritis menilai bahwa negara telah lalai dalam melakukan mitigasi risiko yang dapat diperkirakan, padahal regulasi yang mengikat sudah tersedia.17 Kegagalan sistemik untuk menyediakan makanan yang aman dan sehat dalam sebuah program negara merupakan indikasi bahwa kewajiban positif negara untuk melindungi hak ini belum terpenuhi.
Konsep Kelalaian Negara (State Negligence) dan Due Diligence
Pakar hukum dan akademisi menekankan bahwa terulangnya kasus keracunan MBG disebabkan oleh lemahnya regulasi dan pengawasan oleh pemerintah.26 Analisis ini mengarah pada konsep Kelalaian Negara (
State Negligence). Meskipun Menteri Koordinator Bidang Pangan menekankan keselamatan anak sebagai prioritas dan Kementerian Kesehatan berjanji memperkuat tata kelola 20, kenyataan di lapangan menunjukkan kegagalan mendasar dalam
due diligence—kewajiban negara untuk bertindak hati-hati dan menghindari bahaya yang dapat diprediksi.
Koneksi antara maladministrasi yang ditemukan oleh Ombudsman dan kelalaian HAM sangat jelas. Temuan mengenai diskriminasi dan potensi afiliasi politik dalam penetapan mitra SPPG 11 menunjukkan bahwa risiko keracunan muncul bukan dari kesalahan acak, melainkan dari proses pengambilan keputusan di tingkat atas yang bias dan tidak berbasis kompetensi.11
Kelalaian negara dapat diuraikan secara administratif dan prosedural:
- Kegagalan Regulasi: Guru besar UGM menyoroti perlunya Peraturan Presiden (Perpres) yang lebih kuat untuk mengatur program MBG.18 Ketiadaan regulasi yang mengikat secara ketat dan cepat ini merupakan kelalaian administratif tingkat tinggi.
- Kegagalan Pengawasan Lintas Sektor: Pemerintah mengakui perlunya mengoptimalkan peran Puskesmas dan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) untuk memantau rutin dan berkala pelaksanaan MBG.4 Kegagalan dalam mengimplementasikan pengawasan lokal ini memungkinkan pelanggaran higienitas di dapur-dapur SPPG terjadi tanpa terdeteksi.
Jika keracunan berskala sistemik disebabkan oleh governance capture atau maladministrasi dalam pengadaan mitra, maka tanggung jawab utama bergeser dari kesalahan operasional SPPG semata menjadi tanggung jawab negara sebagai penjamin sistem.
Tabel 2. Korelasi Kontaminasi Bakteri, Pangan, dan Titik Kegagalan Pengawasan (Jaminan Mutu Pangan MBG)
Jenis Bakteri Patogen | Media Pangan yang Terkontaminasi | Kondisi Kontaminasi Khas | Titik Kegagalan Pengawasan (Lensa HAM & Pendidikan) | Sumber Data |
E. coli | Air, Nasi, Tahu, Ayam | Sanitasi buruk, kontaminasi fekal. | Kegagalan Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) dan pengawasan air. | 4 |
Staphylococcus aureus | Tempe, Bakso | Penanganan makanan matang yang lama; Tidak higienis. | Kurangnya kompetensi teknis dan pelatihan memadai bagi juru masak. | 4 |
Salmonella | Ayam, Telur, Sayuran | Penanganan bahan baku mentah (cross-contamination). | Kontrol kualitas bahan baku di awal rantai pasok dan minimnya inspeksi BPOM. | 4 |
Bacillus cereus | Mie | Suhu penyimpanan tidak tepat (holding temperature). | Kegagalan manajemen waktu dan suhu distribusi dari SPPG ke penerima manfaat. | 4 |
Mekanisme Akuntabilitas dan Pemulihan Korban (Remedies)
Tanggung jawab yang timbul dari insiden keracunan MBG bersifat multilapis:
- Pertanggungjawaban Administratif: Pemerintah telah mengambil langkah berupa penutupan sementara Unit Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang diduga bermasalah untuk dievaluasi dan diinvestigasi.1 BGN juga mengancam akan memidanakan SPPG jika terbukti lalai dan menyebabkan keracunan.27
- Pertanggungjawaban Perdata dan Kompensasi: Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menegaskan bahwa korban keracunan MBG, termasuk guru, berhak menuntut ganti rugi dari negara.2 Pemerintah telah menjamin pembiayaan pengobatan bagi korban.28 Namun, pemulihan harus komprehensif, mencakup biaya medis dan pemulihan psikososial akibat trauma dan kecemasan, serta kompensasi atas kerugian non-materiil akibat disrupsi pendidikan.19
- Potensi Pertanggungjawaban Pidana: Pakar hukum menilai bahwa SPPG berpotensi dijerat pidana dan perdata akibat keracunan, didukung oleh fakta bahwa Bareskrim telah turun tangan dalam kasus ini.29 Penyelidikan hukum harus mencakup penelusuran potensi aliran dana ilegal atau keterlibatan pejabat yang memungkinkan mitra non-kompeten beroperasi, yang jika terbukti, dapat ditarik ke ranah pidana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).13
Penegakan hukum yang tegas terhadap SPPG yang lalai, serta pertanggungjawaban administrasi yang jelas dari BGN dan lembaga pengawas, adalah langkah krusial untuk memulihkan kepercayaan publik dan menegaskan bahwa keselamatan anak adalah prioritas utama dan dilindungi oleh hukum negara.
Perlunya Kebijakan Terintegrasi
Kasus keracunan massal Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah cerminan kompleks dari kegagalan sistemik yang melibatkan dimensi sosiologis, pendidikan, dan hak asasi manusia. Kegagalan ini bukan sekadar insiden teknis kontaminasi bakteri, melainkan manifestasi dari tata kelola yang lemah, rentan terhadap maladministrasi, dan ketidakselarasan antara tujuan mulia program dengan kapasitas implementasi di lapangan.
Secara sosiologis, krisis ini menunjukkan bahwa governance capture dan potensi konflik kepentingan dalam penetapan mitra SPPG—ditemukan oleh Ombudsman—telah menginstitusionalisasi risiko keracunan, merusak legitimasi program dan menyebabkan erosi kepercayaan publik yang serius. Dalam konteks pendidikan, keracunan telah menimbulkan disrupsi PBM dan menciptakan lingkungan kecemasan, sementara pada saat yang sama mengungkap defisit akut dalam kompetensi teknis (SLHS dan Ahli Gizi) di tingkat operasional. Dari perspektif HAM, skala dan sifat keracunan yang sistemik, ditambah dengan temuan maladministrasi, menunjukkan adanya Kelalaian Negara (State Negligence) dalam menjalankan kewajiban due diligence untuk menjamin hak anak atas pangan yang aman dan sehat.
Untuk mentransformasi MBG dari ancaman menjadi investasi yang berkelanjutan, diperlukan reformasi struktural yang terintegrasi dan tegas, berfokus pada tata kelola, peningkatan kapasitas, dan akuntabilitas hukum.
Referensi
- Food safety alert: Ombudsman calls for tighter oversight of MBG, accessed October 3, 2025, https://en.antaranews.com/news/383441/food-safety-alert-ombudsman-calls-for-tighter-oversight-of-mbg
- FSGI: Korban Keracunan MBG dan Guru Bisa Tuntut Ganti Rugi Negara | tempo.co, accessed October 3, 2025, https://www.tempo.co/politik/fsgi-korban-keracunan-mbg-dan-guru-bisa-tuntut-ganti-rugi-negara-2075411
- Agar keracunan Makanan Bergizi Gratis tidak berulang – ANTARA News, accessed October 3, 2025, https://www.antaranews.com/berita/5138525/agar-keracunan-makanan-bergizi-gratis-tidak-berulang?page=all
- Govt takes best measures to address MBG poisoning outbreak …, accessed October 3, 2025, https://en.antaranews.com/news/383121/govt-takes-best-measures-to-address-mbg-poisoning-outbreak-minister
- Kasus Keracunan MBG di Sleman dan Lebong, Pakar UGM Sebut Minimnya Pengawasan Proses Penyiapan Makanan Higienis, accessed October 3, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/kasus-keracunan-mbg-di-sleman-dan-lebong-pakar-ugm-sebut-minimnya-pengawasan-proses-penyiapan-makanan-higienis/
- Korban Keracunan MBG di Agam Jadi 113 Orang, Pemkab …, accessed October 3, 2025, https://news.detik.com/berita/d-8141717/korban-keracunan-mbg-di-agam-jadi-113-orang-pemkab-tetapkan-klb
- Kronologi 122 Korban Keracunan Program MBG di Agam, Diduga …, accessed October 3, 2025, https://www.kompas.com/sumatera-barat/read/2025/10/03/181500288/-kronologi-122-korban-keracunan-program-mbg-di-agam-diduga-akibat
- Kasus Keracunan Massal MBG, Pakar UGM Soroti Skala Produksi dan Makanan Terkontaminasi Bakteri, accessed October 3, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/kasus-keracunan-massal-mbg-pakar-ugm-soroti-skala-produksi-dan-makanan-terkontaminasi-bakteri/
- Program MBG Dinilai Gagal – Koran Pikiran Rakyat, accessed October 3, 2025, https://koran.pikiran-rakyat.com/opini/pr-3039672629/program-mbg-dinilai-gagal?page=all
- Saat Bantuan Menjadi Malapetaka: Analisis Kasus Keracunan Program Makan | The Peril of Philanthropy: Investigating Poisoning in “Makan Bergizi Gratis” Initiatives and Determining Accountability – ResearchGate, accessed October 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/392509462_Saat_Bantuan_Menjadi_Malapetaka_Analisis_Kasus_Keracunan_Program_Makan_The_Peril_of_Philanthropy_Investigating_Poisoning_in_Makan_Bergizi_Gratis_Initiatives_and_Determining_Accountability
- Ombudsman Temukan 8 Masalah MBG Usai Geger Kasus Keracunan – detikFinance, accessed October 3, 2025, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-8138289/ombudsman-temukan-8-masalah-mbg-usai-geger-kasus-keracunan
- Ombudsman RI temukan Empat Potensi maladministrasi MBG – RRI, accessed October 3, 2025, https://rri.co.id/batam/makan-bergizi-gratis/1871972/ombudsman-ri-temukan-empat-potensi-maladministrasi-mbg
- [FULL] DPR-Pakar Hukum Soroti Kans Pidana Investigasi Keracunan MBG, Siapa Tanggung Jawab? – YouTube, accessed October 3, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=WS3E1JVTRRE
- Temuan Ombudsman soal Penyimpangan MBG: Semangka Tipis hingga Kualitas Beras, accessed October 3, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/10/01/12505071/temuan-ombudsman-soal-penyimpangan-mbg-semangka-tipis-hingga-kualitas-beras
- Kronologi Korban Keracunan MBG di Bandung Barat, Alami Mual, Kejang hingga Trauma | DIPO INVESTIGASI – YouTube, accessed October 3, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=kTk_4d9Q2rM
- Dapur MBG Kini Wajib Lengkapi Tiga Jenis Sertifikasi – Tempo.co, accessed October 3, 2025, https://www.tempo.co/politik/dapur-mbg-kini-wajib-lengkapi-tiga-jenis-sertifikasi-2075615
- Menteri Pigai: Keracunan MBG Tak Melanggar HAM – Tempo.co, accessed October 3, 2025, https://www.tempo.co/politik/menteri-pigai-keracunan-mbg-tak-melanggar-ham-2075183
- Keracunan Massal Picu Desakan Hentikan MBG hingga Perpres Tata Kelola Terbit, Apa Respons Pemerintah? | KBR.ID, accessed October 3, 2025, https://kbr.id/articles/ragam/keracunan-massal-picu-desakan-hentikan-mbg-hingga-perpres-tata-kelola-terbit-apa-respons-pemerintah-
- Kasus Keracunan MBG Bukan Sekadar Angka – Universitas Muhammadiyah Surakarta, accessed October 3, 2025, https://www.ums.ac.id/berita/teropong-jagat/kasus-keracunan-mbg-bukan-sekadar-angka
- Pemerintah Perkuat Tata Kelola Program MBG, Keselamatan Anak Jadi Prioritas, accessed October 3, 2025, https://kemkes.go.id/id/pemerintah-perkuat-tata-kelola-program-mbg-keselamatan-anak-jadi-prioritas
- Sertifikat Higiene Dinilai Bukan Solusi Masalah MBG, Rawan Diperjualbelikan – Metro TV, accessed October 3, 2025, https://www.metrotvnews.com/read/kBVC98P5-sertifikat-higiene-dinilai-bukan-solusi-masalah-mbg-rawan-diperjualbelikan
- FSGI Petakan 4 Masalah Program MBG, Beri 4 Rekomendasi – detikcom, accessed October 3, 2025, https://www.detik.com/edu/sekolah/d-8141416/fsgi-petakan-4-masalah-program-mbg-beri-4-rekomendasi
- Evaluasi MBG: Lonjakan Keracunan Anak Memicu Seruan Stop Sementara dan Reformulasi Kebijakan, accessed October 3, 2025, https://www.uni-muenster.de/Physik.TP/teaching/courses/numerical_methods_for_complex_systems_ii_ss2019.html?sport-news-264933-2025-10-01-kebijakan-makan-bergizi-gratis-dievaluasi-setelah-lonjakan-kasus-keracunan-anak
- (PDF) Penegakan Hak Anak Atas Makanan Aman dan Sehat: Studi Kasus Keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis Ditinjau dari Tanggung Jawab Negara – ResearchGate, accessed October 3, 2025, https://www.researchgate.net/publication/394642722_PENEGAKAN_HAK_ANAK_ATAS_MAKANAN_AMAN_DAN_SEHAT_STUDI_KASUS_KERACUNAN_DALAM_PROGRAM_MAKAN_BERGIZI_GRATIS_DITINJAU_DARI_TANGGUNG_JAWAB_NEGARA
- Keracunan Massal MBG dan Pelanggaran HAM Negara – KOMPAS.com, accessed October 3, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/09/27/11563581/keracunan-massal-mbg-dan-pelanggaran-ham-negara?page=all
- Keracunan MBG Kembali Terulang, Guru Besar UGM Soroti Lemahnya Regulasi dan Pengawasan, accessed October 3, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/keracunan-mbg-kembali-terulang-guru-besar-ugm-soroti-lemahnya-regulasi-dan-pengawasan/
- Langkah-langkah BGN Usai Maraknya Kasus Keracunan MBG… – KOMPAS.com, accessed October 3, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/09/26/08064591/langkah-langkah-bgn-usai-maraknya-kasus-keracunan-mbg
- Ini Dua Skema Pembiayaan Pengobatan Korban Keracunan MBG – Tempo.co, accessed October 3, 2025, https://www.tempo.co/politik/ini-dua-skema-pembiayaan-pengobatan-korban-keracunan-mbg-2073610
- Pakar Hukum Sebut SPPG Bisa Dijerat Pidana-Perdata Imbas Keracunan MBG, accessed October 3, 2025, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250925181718-12-1277776/pakar-hukum-sebut-sppg-bisa-dijerat-pidana-perdata-imbas-keracunan-mbg
One Comment