Politik Tanpa Selubung: Membaca Machiavelli

Buku ini adalah terjemahan karya klasik Niccolò Machiavelli yang ditulis sekitar tahun 1512-1519. Karya tersebut lahir dari pengalaman pribadi Machiavelli sebagai pejabat Republik Florence yang kemudian tersingkir dari panggung politik setelah keluarga Medici kembali berkuasa. Il Principe disusun sebagai semacam “pedoman” bagi para penguasa dalam mempertahankan kekuasaan di tengah kondisi politik Italia yang kacau pada abad ke-16.
Isinya memaparkan beragam bentuk negara dan kerajaan, cara memperolehnya, serta bagaimana mempertahankannya. Machiavelli membahas kerajaan warisan, kerajaan gabungan, hingga wilayah yang direbut dengan kekuatan sendiri atau dengan bantuan asing. Ia menyinggung pula tentang pasukan bayaran, pentingnya militer rakyat, hingga nasihat tentang bagaimana seorang penguasa harus bersikap—apakah lebih baik ditakuti daripada dicintai, bagaimana menggunakan kekejaman secara efektif, serta bagaimana menjaga wibawa di mata rakyat.
Salah satu ciri khas buku ini adalah pendekatannya yang realistis, bahkan dianggap sinis. Machiavelli memisahkan politik dari moralitas religius, suatu gagasan yang pada zamannya dianggap revolusioner. Bagi Machiavelli, tujuan utama seorang penguasa adalah menjaga stabilitas dan kelanggengan kekuasaan. Segala cara, termasuk tipu daya atau kekerasan, bisa dibenarkan jika tujuannya untuk mempertahankan negara. Pandangan ini kemudian melahirkan istilah “Machiavellian”, yang sering disalahartikan sekadar sebagai politik licik, padahal sesungguhnya ia berusaha mendeskripsikan realitas politik yang ia saksikan.
Kekuatan buku ini terletak pada keberaniannya merumuskan politik sebagai bidang yang otonom, tidak selalu tunduk pada kaidah moral atau agama. Dalam sejarah pemikiran politik Barat, Il Principe menandai lahirnya realisme politik modern. Tidak mengherankan jika karya ini terus menjadi rujukan dan bahan perdebatan hingga kini, baik di kalangan akademisi, politisi, maupun publik luas.
Namun, buku ini juga menuai kritik. Banyak yang menilai ajaran Machiavelli berbahaya karena memberi legitimasi terhadap kekerasan dan manipulasi. Tetapi tanpa membaca konteks sejarah—Italia yang terpecah belah, ancaman invasi asing, dan rapuhnya republik-republik kecil—pandangan Machiavelli bisa mudah disalahpahami.
Dalam edisi terjemahan ini, pembaca mendapat keuntungan tambahan berupa pengantar dari M. Sastrapratedja dan Frans M. Parera. Pengantar tersebut memberi kerangka historis dan filosofis, sehingga membantu pembaca Indonesia memahami latar lahirnya pemikiran Machiavelli.
Buku Sang Penguasa membuka mata pembaca pada kenyataan bahwa politik sering kali berjalan di luar jalur moralitas. Machiavelli menulis bukan dari menara gading filsafat, melainkan dari pengamatan langsung terhadap kekuasaan yang rapuh di Italia abad ke-16. Ia menyingkap wajah kekuasaan dengan dingin, seakan tanpa hati. Dalam salah satu babnya, ia menegaskan: “Lebih aman bagi seorang raja untuk ditakuti daripada dicintai, bila ia tidak dapat memperoleh keduanya sekaligus.” (Bab XVII). Kutipan ini merangkum dengan jelas arah pemikirannya: penguasa tidak bisa menggantungkan diri pada belas kasih rakyat, melainkan pada rasa takut yang mampu menahan gejolak pemberontakan.
Kekuatan buku ini juga tampak pada keberanian Machiavelli untuk menegaskan bahwa dalam politik, janji bisa dilanggar jika keadaan menuntut. Ia menulis: “Seorang raja yang bijak tidak boleh setia pada janjinya bila kesetiaan itu merugikan dirinya, dan bila alasan yang membuatnya berjanji sudah tidak ada lagi.” (Bab XVIII). Kalimat ini sering dituding sebagai legitimasi politik licik, tetapi sejatinya ia sedang mendeskripsikan bagaimana penguasa bertahan di dunia penuh intrik.
Selain itu, Machiavelli juga menolak bergantung pada kekuatan asing. Baginya, kemandirian militer adalah syarat mutlak sebuah negara. Ia menulis: “Pasukan bayaran dan bantuan asing sama sekali tidak berguna dan berbahaya; siapa yang mendasarkan kekuasaannya pada pasukan seperti itu tidak pernah kokoh.” (Bab XII). Kutipan ini menunjukkan visinya tentang pentingnya kekuatan rakyat sendiri sebagai tulang punggung pertahanan negara.
Namun justru dari kutipan-kutipan seperti inilah kelemahan buku ini muncul. Gaya Machiavelli yang lugas dan tanpa kompromi membuat seakan-akan ia membenarkan kekejaman. Misalnya ketika ia menulis: “Kekejaman dapat dipergunakan dengan baik, bila dilakukan sekali saja untuk mengamankan kekuasaan, dan kemudian dihentikan.” (Bab VIII). Kalimat ini memang bernuansa realistis, tetapi di tangan pembaca yang keliru bisa dianggap sebagai dorongan untuk kekerasan tanpa batas.
Dengan demikian, Sang Penguasa tampil sebagai karya yang tajam, penuh pernyataan mengejutkan, dan terus relevan hingga kini. Ia adalah buku yang membuat pembaca bertanya: apakah politik sungguh bisa dipisahkan dari moral? Atau justru moral hanyalah selubung yang mudah ditanggalkan ketika kekuasaan dipertaruhkan?
Sang Penguasa adalah karya yang wajib dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami filsafat politik modern, realisme politik, atau sekadar ingin menyingkap rahasia di balik praktik kekuasaan. Buku ini tidak menawarkan panduan etika, melainkan cermin dari dunia politik yang keras dan sering kali tanpa kompromi.
Bagi pembaca Indonesia, karya ini relevan bukan hanya sebagai literatur sejarah, tetapi juga sebagai bahan refleksi: sejauh mana politik harus tunduk pada moral, dan kapan realitas memaksa penguasa mengambil keputusan yang tampak “kejam” demi menyelamatkan negara.
Identitas Buku
Judul Buku: Sang Penguasa: Surat Seorang Negarawan kepada Pemimpin Republik
Judul Asli: Il Principe
Pengarang: Niccolò Machiavelli
Alih Bahasa: C. Woekirsari (diperiksa kembali oleh Damasus Kaut & Y. Priyo Utomo)
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit: Cetakan pertama Desember 1987; cetakan ketiga September 1991
Jumlah Halaman: ± 180 halaman
Seri: Filsafat Sosial No. 1
Kategori: Filsafat politik, teori kekuasaan