ADVERTISEMENT

Panduan Aman Koordinasi Aksi Demonstrasi

Pertama-tama tulisan ini bukan untuk dibaca oleh para anarko-anarko imut seantero tanah air yang senantiasa menolak konsepsi dan praktik aksi massa, yang selama ini dilancarkan, karena dianggap kurang revolusioner atau kurang asyik menurut pandangan mereka. Oleh karena itu dalam dalam konteks ini, tidak ada diksi insureksi konfrontasi, atau revolusi yang mengarah pada upaya–upaya dapat membuka peluang terjadinya kekacauan.

Meskipun saya sendiri menikmati nada-nada anarki dan pesan yang terkandung di dalamnya terutama pada bait “hancurkan dominasi dan kontrol”, tapi sebisa mungkin aksi-aksi yang menjurus pada kekacauan perlu kita hindari apalagi dalam konteks budaya di nusantara.

Amok Bukan Pilihan Aksi yang Bijak

Ada satu kutukan perihal kekacauan yang diistilahkan dengan Amok. Jika aksi massa memantik Amok, maka sama saja dengan membuka kotak pandora yang berpotensi menimbulkan lebih banyak kerugian yang kontraproduktif terhadap upaya-upaya untuk memperbaiki keadaan.

Aksi sebagai ekspresi dan hak demokratis memang perlu dijaga dengan baik dari hal-hal yang menyimpang. Meskipun kita skeptis terhadap aksi yang bersifat damai, membenarkan aksi yang hanya memantik budaya amok bukanlah sebuah pilihan bijak.

Seharusnya, yang saat ini perlu kita lakukan bukan sebatas aksi dalam bentuk demontrasi, melainkan konsistensi aksi dalam bentuk penyadaran terkait pengorganisasian, pendidikan kritis, dan idealisme perjuangan di kalangan rakyat.

Perihal aksi dalam bentuk demontrasi, seyogyanya kita perlu menerapkan metode yang disebut budaya keamanan. Pada intinya, budaya keamanan adalah kumpulan nilai, kebiasaan, dan protokol kolektif yang diadopsi oleh para aktivis gerakan untuk melindungi satu sama lain dari infiltrasi, pengawasan, kriminalisasi, dan kelelahan.

Budaya keamanan mengajarkan kita bahwa kehati-hatian bukanlah keheningan, melainkan strategi yang menitikberatkan pada kewaspadaan—bukan ketakutan tetapi perhatian dan kebijaksanaan dalam tindakan.

Pengingat untuk Berbenah

Saat artikel ini ditulis beredar dua kabar dari teman-teman sesama masa aksi di Jakarta. Kabar yang pertama, tentang seorang dijuluki Profesor Reyhan, atau disebut polisi dengan inisial RAP, yang diduga mendalangi pengajaran, pembuatan, dan pendistribusian bom Molotov saat kerusuhan di Jakarta.

Menurut keterangan pihak kepolisian saat konferensi pers pada 3 september 2025, saat membeberkan andil 6 tersangka dalam kerusuhan Jakarta di antara tanggal 25 Agustus ke 1 September itu ada satu tersangka berinisial RAP yang belakangan dikenal sebagai Prof Reyhan. Yang unik, dari tersangka ke lima ini ada unggahan Molotov di akun instagram pribadinya, entah ini merupakan suatu kesengajaan atau bukan. Yang jelas, perbuatan individu berjuluk Prof. Reyhan yang diciduk di Palmerah itu merupakan hal yang fatal.

Kabar Kedua, perihal penangkapan admin aliansi mahasiswa penggugat yang masih berstatus mahasiswa, berinisial KA yang belakangan dikenal sebagai Khariq Anhar, mahasiswa asal Riau yang sempat dilaporkan oleh rektornya sendiri. Sepak terjang Khariq dalam dunia gerakan, terutama perjuangan pendidikan memang sangat bagus, karena selain mengadvokasi nasib penerima beasiswa di bawah pemerintahan Riau, ia juga aktif dalam menyuarakan kebebasan akademik, termasuk peningkatan kualitas pendidikan.

Namun, dikarenakan satu blunder yang ia buat, yaitu mengubah pemberitaan terkait himbauan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal di laman instagram Aliansi Mahasiswa Penggugat membuat dirinya harus terjerat dugaan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kedua kasus di atas mengingatkan kita untuk berbenah dan mengatur kembali bagaimana aksi demonstrasi sebaiknya dijalankan, sebelum dan selama aksi berlangsung. 

Budaya Keamanan dalam Konsolidasi Aksi Massa

Konsolidasi yang menjadi titik awal dalam mengatur massa dan mengangkat isu memang seyogyanya menerapkan empat budaya keamanan.

Pertama, memberikan peringatan terhadap pemakaian media sosial terhadap masa aksi agar tidak terlalu oversharing dan reaktif sharing. Over sharing artinya membagi apapun dengan tidak bijak termasuk hal-hal negatif meskipun dalam konteks bercanda atau iseng yang justru dapat memberatkan. Sementara reaktif sharing artinya membagikan suatu hal tanpa pikir panjang hanya karena emosi sudah tersulut lebih dahulu. Reaktif sharing dan over sharing rawan menjebak kita pada laku yang menguatkan disinformasi, mall-informasi dan miss-informasi.

Kedua, mengingatkan aturan zero kekerasan terhadap masa aksi dengan cara menerapkan aturan tegas terhadap masa aksi yang coba-coba memprovokasi atau membawa benda-benda yang dapat memantik kerusuhan menjadi lebih buruk seperti persenjataan termasuk bom Molotov.

Ketiga, membatasi waktu demonstrasi untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan keseimbangan hak masyarakat, sembari memastikan efektivitas penyampaian pesan. Dengan waktu yang terbatas, potensi kekacauan, gangguan lalu lintas, atau beban berlebih pada sumber daya keamanan dapat diminimalkan, sekaligus mendorong penyelenggara untuk menyampaikan aspirasi secara singkat dan terfokus. Di Indonesia, aturan ini sebenarnya sejalan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang mengatur kebebasan berekspresi di muka umum dengan tetap mempertimbangkan hak orang lain dan kepatuhan hukum, serta melindungi peserta dari risiko kesehatan akibat demonstrasi yang terlalu lama.

Keempat, memiliki aspirasi yang jelas dan tindak lanjut aspirasi, konsolidasi selain menentukan waktu demonstrasi, teknis lapangan, dan titik kumpul juga memerlukan serangkaian aspirasi yang hendak disampaikan dan follow-up setelahnya. Membawa dan fokus terhadap aspirasi amat penting agar massa aksi berbeda dengan massa yang mengambang, yang hanya ikut-ikutan apa yang terjadi tanpa memahami yang hendak diperjuangkan. (*)


Editor: Andi Suriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *