ADVERTISEMENT

Adam dan Doa di Ujung Malang

Di ujung malam yang dingin, Adam duduk kembali. Bukan di perempatan jalan, melainkan di simpang batinnya sendiri. Angin yang berhembus seakan menyingkap tirai-tirai hati yang lama tertutup debu. Ia bukan hanya seorang lelaki yang berzikir, melainkan sosok yang berusaha bangkit dari reruntuhan harapan, melalui sujud yang sering terputus-putus. Adam seperti sebuah kitab yang belum selesai ditulis—ayat-ayatnya retak, tapi tintanya terus mengalir dari luka yang tak kunjung sembuh.

Langit malam terbentang di atasnya bagaikan sajadah luas. Bintang-bintang tampak seperti butiran tasbih yang berserakan. Adam menatap ke langit, bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk menyadari: langit pun tak selalu biru, sebagaimana hatinya yang tak selalu jernih. Di dadanya masih terngiang lirih lillāhi rabbil ‘ālamīn. Namun, zikir itu kini terdengar lebih seperti ketukan kecil pada bel kesadaran—bahwa ibadah bukanlah ajang pamer kesalehan, melainkan pengakuan jujur atas keterbatasan dan kehancuran yang kita peluk.

Adam mengangkat kedua tangannya. Jemarinya bergetar, bukan karena udara dingin, melainkan oleh beratnya kejujuran yang ingin ia ungkapkan. Doa yang ia panjatkan jatuh perlahan, seperti kelopak bunga yang gugur—indah, tapi tahu diri, bahwa akhirnya ia akan lebur bersama tanah.

Hujan yang Menyusup ke Dalam

Malam itu hujan turun perlahan, seolah air mata Tuhan yang enggan terlihat. Setiap tetesnya membasahi pundak Adam, meresap ke dalam pori-pori, seakan membasuh dosa-dosa kecil yang sering ia anggap sepele. Ia sadar, bukan badai besar yang menenggelamkan kapal, melainkan tetesan kecil yang dibiarkan masuk tanpa disadari.

Kenangan pun datang berkunjung: tawa masa lalu yang masih terngiang di sela-sela doa, cita-cita yang diam-diam tumbuh seperti lumut di dinding keikhlasan, serta bayangan kesalahan lama yang tak mudah hilang. Dari sanalah Adam belajar melihat dirinya. Ia bukan menara keimanan yang tegak dan megah, melainkan lembah yang rendah. Namun, justru karena rendah itulah ia lebih dekat dengan aliran rahmat, lebih mungkin menampung limpahan ampunan.

Titik Antara Diri dan Tuhan

Adam kembali bersujud. Namun kali ini, sujudnya bukan tanda penaklukan, melainkan pelukan kepada dirinya sendiri yang rapuh. Bibir yang dulu sering mencium pujian kini rela menyentuh tanah, tanda kerendahan. Ia tak lagi berdoa dengan kata-kata indah dan megah, melainkan dengan diam yang jujur—diam yang menyingkap semua kepura-puraan.

“Aku tak ingin lagi menjadi hamba yang sempurna,” bisiknya lirih, “aku hanya ingin menjadi hamba yang sepenuhnya hancur di hadapan-Mu.”

Dalam kesadaran itu, Adam bukan lagi sosok yang bingung di perempatan. Ia kini hanyalah bayang-bayang yang berjalan menuju cahaya, dengan langkah pincang, namun tak pernah berhenti. Ia paham: surga bukanlah tempat tanpa keraguan, melainkan tempat di mana keraguan tetap dibawa dan dihadapkan dalam doa.

Merayakan Retakan, Menyucikan Yang Patah

Adam belajar dari langit yang tak selalu utuh, dari hujan yang turun tanpa memilih tanah, dan dari cermin yang pecah—bahwa pantulan yang terbelah justru bisa memperlihatkan lebih banyak sisi dirinya yang selama ini tersembunyi.

Ketika adzan subuh akhirnya terdengar, menyeruak di antara sisa-sisa malam, Adam tersenyum samar. Bukan karena hatinya sudah sepenuhnya damai, tetapi karena ia tahu: dalam kontradiksi yang ia alami, ia tidak lagi sendirian. Ia ditemani oleh Tuhan yang hadir bukan hanya dalam kesucian, tetapi juga dalam setiap retakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!