ADVERTISEMENT

Merdeka Secara Mental dan Ekonomi

Kemerdekaan bukan sekadar tonggak sejarah, melainkan proses panjang yang terus diperjuangkan. Sejak proklamasi 1945, bangsa Indonesia memang telah terbebas dari penjajahan fisik. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Soekarno, kemerdekaan politik hanyalah jembatan emas: “Kemerdekaan hanyalah syarat untuk bisa berjuang lebih sempurna. Bukan tujuan akhir.” Dengan kata lain, kemerdekaan sejati menuntut bangsa ini bebas secara mental dan ekonomi.

Merdeka Secara Mental

Merdeka secara mental berarti lepas dari belenggu psikologis dan budaya inferior. Franz Kafka pernah menulis, “Dari penjara, seseorang tidak perlu melarikan diri, melainkan melarikan diri dari dirinya sendiri.” Kalimat ini relevan untuk menggambarkan bagaimana bangsa pasca-penjajahan kerap masih terikat oleh rasa rendah diri, sikap bergantung, atau bahkan mentalitas kolonial.

Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan, menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah proses “conscientização”—kesadaran kritis yang membebaskan manusia dari ketertindasan (Freire, Pedagogy of the Oppressed, 1970). Maka, untuk merdeka mental, bangsa ini perlu membangun tradisi pendidikan dan literasi yang menguatkan daya pikir kritis, kreativitas, serta keberanian berinovasi.

Selain itu, globalisasi membuat bangsa mudah hanyut dalam arus budaya luar. Di sinilah identitas menjadi penting. Merdeka mental berarti terbuka pada modernitas, tetapi tetap berakar pada budaya dan nilai luhur. Sebagaimana Ki Hajar Dewantara berpesan: “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Artinya, kemerdekaan mental adalah kemampuan menjadi subjek, bukan sekadar objek dari zaman.

Merdeka Secara Ekonomi

Jika kemerdekaan mental adalah fondasi batin, maka kemerdekaan ekonomi adalah fondasi lahiriah. Amartya Sen, ekonom dan peraih Nobel, menyatakan bahwa pembangunan sejati adalah memperluas kebebasan manusia, bukan hanya pertumbuhan angka-angka (Sen, Development as Freedom, 1999). Artinya, ekonomi yang kuat harus mampu menciptakan kesempatan dan mengurangi ketergantungan.

Indonesia diberkahi sumber daya alam melimpah: hutan, laut, tambang, dan tanah subur. Namun, sebagaimana dikritik Mohammad Hatta, “Indonesia tidak boleh menjadi bangsa kuli di negerinya sendiri.” Jika kekayaan ini lebih dinikmati oleh bangsa lain atau segelintir elit, rakyat tetap hidup dalam keterjajahan. Merdeka ekonomi berarti kedaulatan dalam mengelola sumber daya, keberpihakan pada ekonomi kerakyatan, serta distribusi yang adil.

Lebih dari itu, kemandirian ekonomi juga ditopang oleh inovasi dan kewirausahaan rakyat. Penguatan UMKM, koperasi, dan industri berbasis teknologi lokal adalah jalan untuk mewujudkan ekonomi berdikari. Dengan begitu, kemakmuran tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota besar, tetapi tersebar merata hingga pelosok desa.

Sinergi Mental dan Ekonomi

Kemerdekaan mental dan ekonomi tidak dapat dipisahkan. Mental yang merdeka melahirkan manusia percaya diri, pekerja keras, dan berani mengambil risiko. Inilah yang dibutuhkan untuk menciptakan inovasi dan kemandirian ekonomi. Sebaliknya, ekonomi yang kokoh membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan, sehingga martabat dan kepercayaan diri bangsa ikut terangkat.

Albert Camus pernah menulis, “Kebebasan bukanlah hadiah yang didapatkan begitu saja, tetapi hasil dari perjuangan yang terus-menerus.” Kutipan ini menegaskan bahwa merdeka mental maupun ekonomi adalah kerja kolektif tanpa henti. Bangsa yang hanya merdeka secara politik, tetapi mentalnya lemah dan ekonominya rapuh, akan tetap mudah didikte oleh kekuatan luar.

Kemerdekaan sejati menuntut bangsa ini berdiri tegak, baik secara lahir maupun batin. Merdeka mental berarti bebas dari rasa rendah diri dan kuat dalam identitas, sedangkan merdeka ekonomi berarti berdaulat dalam mengelola sumber daya dan adil dalam membagi kesejahteraan.

Dengan dua pilar ini, Indonesia tidak hanya merdeka dalam arti simbolis, tetapi juga merdeka dalam arti substansial—mampu menghidupi rakyatnya dengan martabat, serta percaya diri menghadapi dunia. Sebagaimana diingatkan Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya kepada dirinya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *