Sunyi di Antara Halaman: Ketika Negeri Runtuh karena Ketiadaan Baca

Di banyak sudut negeri, layar ponsel lebih sering menyala daripada lembar buku terbuka. Informasi datang dalam bentuk potongan singkat: judul berita yang provokatif, video singkat yang viral, infografis yang memikat mata namun jarang memuat kedalaman. Padahal, penelitian literasi dari UNESCO dan berbagai studi lokal menunjukkan bahwa membaca secara mendalam berperan besar dalam membentuk kemampuan berpikir kritis, daya analisis, dan kepekaan sosial.
Ketika kebiasaan membaca melemah, ruang publik menjadi rapuh. Pendapat dibentuk oleh potongan informasi yang belum diverifikasi. Data yang keliru beredar tanpa hambatan, hoaks menjadi arus utama. Akibatnya, kebijakan yang buruk dapat lolos tanpa kritik substansial, sementara wacana publik dipenuhi perdebatan emosional tanpa landasan fakta.
Minimnya literasi bacaan mengakibatkan rendahnya kemampuan membedakan fakta dari opini. Survei PISA menunjukkan bahwa pemahaman membaca yang rendah berbanding lurus dengan rendahnya partisipasi politik yang berbasis pada data dan analisis. Generasi muda yang seharusnya menjadi penopang perubahan justru rentan dimanipulasi narasi dangkal.
Fenomena ini terlihat jelas ketika isu-isu penting seperti perubahan iklim, kesehatan publik, atau kebijakan ekonomi dibahas di media sosial. Banyak yang lebih cepat bereaksi daripada menelusuri sumber resmi atau membaca kajian mendalam. Penelitian sosiologi komunikasi menegaskan bahwa pola konsumsi informasi semacam ini memperbesar polarisasi dan menghambat dialog rasional.
Di tengah derasnya arus informasi, algoritma media sosial memperparah keadaan. Konten yang memicu emosi cenderung lebih sering ditampilkan dibandingkan konten analitis. Penelitian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat dibandingkan berita yang benar, karena sifatnya yang provokatif dan mudah dicerna. Tanpa budaya membaca yang kuat, generasi muda cenderung terjebak dalam lingkaran informasi semu yang menguatkan bias mereka sendiri.
Kondisi ini berdampak pada kualitas demokrasi. Demokrasi memerlukan warga negara yang mampu mengolah informasi, menguji kebenaran, dan mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan yang memadai. Jika sebagian besar warga hanya mengandalkan informasi kilat yang tidak terverifikasi, kualitas keputusan kolektif menurun. Pemilu bisa dimenangkan oleh narasi, bukan visi dan program nyata. Kebijakan publik bisa didorong oleh tren sesaat, bukan kajian jangka panjang.
Namun, masih ada titik terang. Di berbagai kota, mulai tumbuh kembali komunitas baca. Klub buku, diskusi publik, hingga inisiatif perpustakaan keliling hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap dangkalnya konsumsi informasi. Data dari American Library Association menunjukkan bahwa komunitas dengan aktivitas membaca yang tinggi memiliki tingkat partisipasi publik lebih besar, dan warganya lebih kritis dalam menanggapi isu sosial.
Menghidupkan budaya membaca tidak cukup hanya dengan kampanye. Lingkungan harus mendukung: sekolah yang mengintegrasikan kegiatan membaca kritis dalam kurikulum, media yang menyediakan ruang bagi analisis mendalam, dan keluarga yang memberi teladan. Penelitian dari National Literacy Trust di Inggris menegaskan bahwa kebiasaan membaca di rumah sejak dini berpengaruh signifikan terhadap kemampuan literasi di usia dewasa.
Membaca buku sejarah membantu memahami konteks masalah bangsa dan menghindari pengulangan kesalahan masa lalu. Membaca karya ilmiah memberikan gambaran faktual tentang arah kebijakan yang tepat. Membaca sastra memperluas empati dan membantu memahami perspektif orang lain. Semua ini adalah fondasi penting bagi negara yang sehat dan masyarakat yang berpikir kritis.
Carut marut yang kita saksikan hari ini bukanlah takdir yang tak bisa diubah. Ia adalah konsekuensi dari pilihan kolektif yang terlalu lama mengabaikan bacaan yang bermakna. Mengubah keadaan berarti mengembalikan halaman-halaman buku sebagai sumber inspirasi dan pijakan berpikir. Upaya ini memerlukan kerja sama lintas sektor: dari pemerintah yang memfasilitasi akses literasi, guru yang memotivasi siswa untuk membaca, media yang menyajikan informasi berkualitas, hingga masyarakat yang menghargai pengetahuan.
Mengambil waktu untuk membaca bukan hanya kegiatan pribadi; ini adalah tindakan sosial dan politik. Di setiap halaman yang dibuka, ada peluang untuk memperkuat nalar publik, memperkaya diskursus nasional, dan mengarahkan bangsa menuju masa depan yang lebih cerdas. Sejarah mencatat bahwa bangsa-bangsa yang maju adalah bangsa yang warganya gemar membaca, bukan hanya demi hiburan, tetapi demi membangun peradaban.
Maka, di tengah gegap gempita teknologi dan arus informasi tanpa henti, berhentilah sejenak. Ambil sebuah buku, sebuah laporan penelitian, atau sebuah artikel analisis yang panjang. Bacalah perlahan, resapi maknanya, uji kebenarannya, dan diskusikan. Karena dari situlah, kesadaran kolektif akan tumbuh, memperkuat fondasi bangsa, dan mengubah carut marut menjadi arah yang terencana.
Negara yang tangguh lahir dari warganya yang mampu berpikir panjang, dan berpikir panjang hanya mungkin jika kita terbiasa membaca mendalam. Tanpa itu, masa depan akan ditentukan oleh kebisingan sesaat, bukan oleh visi bersama yang matang.