Mengupas Isu Kesehatan Mental: Kenapa Kita Semua Harus Peduli

Kalau kita bicara soal kesehatan, yang terbayang biasanya adalah tubuh yang kuat, bebas dari penyakit fisik. Tapi, tahukah kamu kalau kesehatan itu sebenarnya dua sisi? Selain fisik, ada kesehatan mental yang sama pentingnya, bahkan bisa dibilang fondasi utama agar hidup kita bisa berjalan baik. Kesehatan mental menentukan bagaimana kita menghadapi tekanan, membangun hubungan dengan orang lain, dan menikmati hidup dengan bahagia.

Sayangnya, kesehatan mental sering dianggap tabu atau malah dilupakan. Banyak orang masih mengira kalau masalah kesehatan mental itu hanya dialami oleh “orang gila” saja, atau sesuatu yang nggak perlu dibahas secara terbuka. Padahal, menurut data terbaru, masalah kesehatan mental justru sudah menyentuh hampir semua lapisan masyarakat, tanpa pandang usia, pekerjaan, atau status sosial.

Dalam tulisan ini, kita akan menyelami mengapa isu kesehatan mental itu sangat penting, bagaimana dampaknya terhadap kita semua, dan apa yang bisa kita lakukan supaya hidup kita dan orang-orang di sekitar kita jadi lebih sehat secara psikologis.

Kesehatan Mental: Lebih dari Sekadar ‘Tidak Gila’

Pertama-tama, mari kita luruskan dulu pemahaman tentang kesehatan mental. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental bukan cuma soal tidak adanya gangguan psikologis. Kesehatan mental adalah kondisi di mana kita mampu menyadari potensi diri, mampu menghadapi tekanan hidup sehari-hari, bekerja secara produktif, dan berkontribusi bagi komunitas sekitar.

Bayangkan, kesehatan mental adalah fondasi yang menopang bagaimana kita bisa ‘berdansa’ dengan kehidupan yang kadang penuh tantangan dan perubahan tak terduga. Kalau fondasi ini rapuh, maka segala sesuatu di atasnya akan terasa goyah.

Data dari WHO pada 2021 menunjukkan, sekitar 1 dari 8 orang di dunia mengalami gangguan mental, mulai dari kecemasan, depresi, hingga gangguan yang lebih serius. Di Indonesia sendiri, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat sekitar 6% penduduk mengalami gangguan mental emosional. Angka ini menunjukkan bahwa kita bukan kasus unik; kesehatan mental adalah persoalan bersama.

Apa yang membuat masalah ini semakin pelik? Tekanan hidup modern, perubahan sosial yang cepat, ketidakpastian ekonomi, hingga pandemi COVID-19 yang memberikan dampak berat secara psikologis bagi banyak orang. Misalnya, isolasi sosial yang berlangsung lama membuat banyak orang merasa kesepian dan cemas, sementara ketidakpastian kerja dan keuangan memicu stres yang berkepanjangan.

Dampak gangguan mental pun sangat luas, bukan hanya dirasakan secara individual tapi juga secara sosial dan ekonomi. Sebuah riset oleh Patel dan rekan pada 2018 memperkirakan bahwa gangguan kesehatan mental menyebabkan kerugian ekonomi global hingga 1 triliun dolar AS setiap tahunnya akibat penurunan produktivitas dan absensi kerja. Bayangkan, bukan hanya hati yang sakit, tapi juga kantong yang terdampak.

Belum lagi, teknologi dan media sosial yang seharusnya membantu kita terhubung justru kadang menjadi sumber stres baru. Studi dari Twenge dan kolega (2019) menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan terkait dengan meningkatnya tingkat depresi dan kecemasan terutama pada anak muda dan remaja. Mereka yang terlalu sering membandingkan hidupnya dengan orang lain di dunia maya bisa merasa kurang dan tidak bahagia.

Namun, kesehatan mental juga lebih dari sekadar menghindari penyakit. Psikolog Corey Keyes (2002) memperkenalkan konsep “dual-continua” yang menyatakan bahwa seseorang bisa mengalami gangguan mental namun tetap merasa bahagia, dan sebaliknya. Jadi, sehat mental adalah soal keseimbangan—bukan sekadar tidak ada masalah.

Apa Penyebab Gangguan Mental dan Bagaimana Cara Menghadapinya?

Gangguan kesehatan mental tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan hasil interaksi kompleks antara berbagai faktor. Faktor biologis, psikologis, dan sosial semuanya berperan. Misalnya, beberapa gangguan mental seperti skizofrenia memiliki dasar genetik dan perubahan kimia di otak. Tapi, kebanyakan gangguan yang kita alami sehari-hari lebih banyak dipicu oleh tekanan lingkungan dan pengalaman hidup.

Salah satu temuan penting datang dari studi tentang Adverse Childhood Experiences (ACE) yang dilakukan Felitti dan kolega (1998). Mereka menemukan bahwa pengalaman traumatis masa kecil, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian, atau pelecehan, memiliki dampak besar dan jangka panjang pada kesehatan mental di kemudian hari. Luka batin yang tidak disembuhkan bisa terus membayangi sampai dewasa dan memicu gangguan kecemasan, depresi, bahkan perilaku berisiko.

Selain itu, kondisi sosial juga berperan besar. Kemiskinan, diskriminasi, pengangguran, hingga ketidaksetaraan sosial adalah pemicu stres kronis yang bisa menggerus kesehatan mental seseorang. Artinya, kesehatan mental bukan hanya urusan individu, tapi juga masalah sosial yang memerlukan perhatian bersama.

Sayangnya, stigma terhadap gangguan mental masih sangat kuat di banyak tempat. Orang yang mengalami gangguan mental sering dianggap lemah, aneh, atau bahkan berbahaya. Hal ini membuat banyak dari mereka enggan mencari bantuan dan malah memilih menyimpan masalahnya sendiri. Padahal, stigma justru memperparah penderitaan karena isolasi sosial dan kurangnya dukungan.

Dalam hal ini, tokoh-tokoh penting telah memberikan kontribusi besar dalam memahami dan mengatasi masalah kesehatan mental. Aaron Beck, misalnya, adalah bapak terapi kognitif yang mengajarkan bagaimana pola pikir negatif bisa diubah agar tidak memperburuk stres dan depresi. Terapi kognitif perilaku (CBT) yang dikembangkannya kini banyak digunakan di seluruh dunia dan terbukti efektif.

Viktor Frankl, yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menawarkan pendekatan yang berbeda: mencari makna hidup sebagai jalan keluar dari penderitaan. Dalam bukunya “Man’s Search for Meaning,” Frankl menekankan bahwa bahkan dalam situasi paling buruk sekalipun, makna hidup bisa menjadi sumber kekuatan luar biasa.

Selain itu, Dorothy Rowe mengajak kita melihat gangguan mental bukan hanya sebagai masalah medis, tapi sebagai respon seseorang terhadap pengalaman dan konteks sosialnya. Pendekatan ini menempatkan empati dan pemahaman konteks sebagai bagian penting dalam penyembuhan.

Dari sisi praktis, Organisasi Kesehatan Dunia mengembangkan program Mental Health Gap Action Programme (mhGAP) yang bertujuan memperluas akses layanan kesehatan mental di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan sumber daya terbatas. Program ini mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam pelayanan kesehatan primer, sehingga masyarakat lebih mudah mendapatkan bantuan.

Kemajuan teknologi pun membawa angin segar. Telekonseling, aplikasi kesehatan mental, hingga grup support online menjadi alternatif baru yang memudahkan akses dan mengurangi hambatan stigma. Namun, penggunaan teknologi ini juga harus diimbangi dengan regulasi dan etika agar tetap aman dan efektif.

Namun, semua upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan sosial yang kuat. Keluarga, teman, dan komunitas harus menjadi jaringan pengaman yang memberikan dukungan emosional dan mendorong mereka yang membutuhkan untuk berani mencari bantuan. Edukasi masyarakat juga sangat penting agar stigma bisa hilang dan kesehatan mental dianggap sebagai bagian dari kesehatan yang wajib diperhatikan.

Kita Semua Bisa Berperan

Isu kesehatan mental bukan masalah orang lain. Ini masalah kita bersama. Setiap dari kita punya peran, sekecil apapun. Kadang, mendengarkan teman yang sedang mengalami masalah, menawarkan dukungan, atau sekadar tidak menghakimi adalah langkah besar.

Kalau kamu sendiri merasa berat menjalani hidup, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Kesehatan mental bisa diperbaiki dan dikelola dengan baik, asal kita mau peduli dan bertindak.

Dengan semakin banyak orang yang sadar dan terbuka soal kesehatan mental, kita bisa membangun masyarakat yang lebih sehat secara psikologis dan lebih manusiawi. Sebuah masyarakat yang mampu menerima keberagaman kondisi manusia dan memberikan ruang bagi penyembuhan.

Kesehatan mental adalah pondasi utama agar kita bisa hidup bahagia dan produktif. Data dan riset menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental sudah menjadi fenomena global yang tidak bisa diabaikan. Berbagai faktor penyebabnya harus kita pahami agar intervensi yang dilakukan tepat sasaran.

Tokoh-tokoh seperti Aaron Beck, Viktor Frankl, dan Dorothy Rowe sudah memberikan banyak inspirasi dalam memahami dan menangani masalah ini. Sementara itu, teknologi dan kebijakan kesehatan mental terus berkembang untuk membuka akses layanan lebih luas.

Namun, di atas semua itu, kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sosial yang mendukung dan bebas stigma. Dengan begitu, kesehatan mental tidak lagi menjadi “rahasia gelap” yang menakutkan, melainkan bagian dari kehidupan sehat yang bisa dinikmati semua orang.

Jadi, mari mulai dari diri kita sendiri dan lingkungan terdekat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan mental. Karena hidup yang sehat adalah hidup yang utuh—fisik dan jiwa berjalan beriringan.

Suara Serupa

One Comment

Tinggalkan Balasan