Setan Merah di Senjakala

Setan Merah di Senjakala
(Ode untuk Klub yang Pernah Menyalakan Langit Eropa)
Di lorong teater impian yang kini sepi,
terdengar gaung nama-nama lama:
Cantona, Keane, Scholes—
mereka bernyanyi dari dinding yang mulai retak,
sementara rumput lapang hanya tahu sunyi.
Lalu datanglah musim yang tak dikenali,
di mana pelatih bukan lagi pemandu,
tapi lilin di lorong gelap tak tentu,
dan para pangeran lapangan—
terlena jadi bayang-bayang endorsement belaka.
Rashford berlari… bukan ke gawang, tapi dari beban.
Sancho menggocek… ke luar radar.
Garnacho menari di TikTok, bukan di sisi kanan.
Sementara Amorim di pinggir lapang
berbisik pada Tuhan:
“Apakah ini kutukan, atau karma dari masa kejayaan?”
Old Trafford kini seperti museum hidup,
tiketnya mahal tapi jiwanya muram.
“Glory glory” jadi gema palsu,
bertabrak rindu di dada fans yang tetap setia,
meski tiap akhir pekan jadi luka baru.
Dulu kami juara—
kini kami bertahan.
Dulu kami tak terkalahkan—
kini kami takut Brighton.
Dulu kami percaya proyek—
kini kami curiga kontrak.
Tapi begini kami mencintaimu,
dalam krisis, dalam luka,
dalam tawa sarkas setelah peluit panjang.
Karena satu hal tak bisa dicuri:
Kami adalah Manchester United.
Dan cinta kami—
meski murung dan mabuk kekalahan—
tak pernah bubar.
Di Balik Dinding Bernama Harapan
(Ode untuk Manchester United)
Kami duduk di tribun, bukan hanya menonton,
tapi menanti—seperti petani tua
yang tetap menanam meski musim tak berpihak.
Karena kami tahu, rumput itu akan tumbuh lagi,
suatu hari, mungkin esok, mungkin nanti.
Amorim menggambar taktik di kertas kusut,
dengan tinta dari kritik dan waktu yang terburu.
Cunha berdiri di garis depan,
mata tajam tapi jiwa masih mencari arah.
Mbeumo berlari, membawa angin baru,
seperti bisikan Juni yang ingin menghapus Mei yang pilu.
Tak ada lagi Roy Keane yang menyalak di ruang ganti,
tapi mungkin, suatu hari,
akan ada kapten baru yang menolak kalah,
bukan karena kontrak—tapi karena marwah.
Kami, para penyintas musim-musim kacau,
tak butuh banyak alasan untuk bertahan.
Cukup satu gol indah, satu tekel penuh nyali,
satu sorak “United!” yang menggema tanpa dibayar.
Kami tahu, klub ini bukan cuma bisnis dan brand,
bukan sekadar statistik dan saham,
tapi nadi dari kota bernama Manchester,
yang darahnya mengalir merah seperti dulu—
meski kini memar biru dan ungu.
Old Trafford akan tertawa lagi,
tidak karena nostalgia,
tapi karena kemenangan yang lahir dari luka.
Dan saat hari itu datang,
kami akan berdiri—tak angkuh, tak lupa—
tapi penuh bangga berkata:
“Kami tetap di sini.
Karena Setan Merah tak pernah benar-benar mati.”
Kebangkitan Bukan Milik Mereka yang Sempurna
(Ode untuk Manchester United)
Kami bukan malaikat dalam kitab sejarah,
kami Setan Merah—bangkit dari darah.
Dari reruntuhan, dari kesalahan demi kesalahan,
kami membangun bukan benteng…
tapi tekad.
Musim demi musim kami terperosok,
tertawa getir saat dikalahkan Brentford,
berkabung diam saat City berpesta
di stadion yang dulu iri pada kami.
Tapi apa gunanya malu
jika cinta kami tak tahu cara pulang?
Kini lihat kami:
mata Garnacho menyala bukan karena drama,
tapi karena ia mengerti makna crest di dadanya.
Cunha tak lagi ragu,
dan Mbeumo menari bukan demi sorakan kamera,
tapi demi tribun yang berdoa diam-diam.
Di bench, Amorim tidak bicara banyak,
tapi wajahnya kini tidak bingung,
melainkan yakin—
seperti seseorang yang telah melihat badai
dan tahu betul:
kapalnya tak akan karam.
Kami tak sekuat dulu,
tapi kami lebih tabah.
Kami tak selalu menang,
tapi kami tak lagi menyerah.
Kami tak punya Ferguson,
tapi kami punya diri kami sendiri—
dan itu cukup.
Mereka mencemooh saat kami terjatuh,
tapi kini mereka diam saat kami bangkit.
Karena kebangkitan bukan milik mereka yang sempurna,
tapi milik mereka yang tak berhenti mencintai.
Old Trafford kini tidak hanya saksi,
tapi bagian dari kebangkitan itu sendiri.
Ia tak hanya rumah bagi sejarah,
tapi rumah bagi masa depan.
Dan kami?
Kami masih berdiri.
Kami tak pernah pergi.
Karena kami bukan fans musiman,
kami pewaris takdir:
Manchester United akan kembali—bukan karena waktu,
tapi karena kami tak pernah benar-benar hilang.
Warung RAP, 13 Juli 2025