ADVERTISEMENT

Barak Bukan Kelas: Mengapa Siswa Harus Belajar kepada Guru, Bukan Komandan

Barak Bukan Kelas: Mengapa Siswa Harus Belajar kepada Guru, Bukan Komandan
Ilustrasi Barak Bukan Kelas: Mengapa Siswa Harus Belajar kepada Guru, Bukan Komandan

Ada sebuah fenomena yang belakangan ini mencuat ke permukaan—kebijakan yang mengharuskan siswa dikirim ke barak. Ya, barak: tempat yang selama ini identik dengan tentara, disiplin ketat, dan jargon-jargon militer yang garang. Di mata para pembuat kebijakan, mungkin saja ini adalah solusi sakti mandraguna untuk membentuk karakter siswa. Namun, apakah barak memang tempat yang tepat bagi anak-anak yang sedang menuntut ilmu?

Dalam tulisan ini, saya ingin mengupas tuntas mengapa siswa belajar kepada guru, bukan komandan. Karena sejatinya, pendidikan adalah tentang membuka cakrawala, membangun pemikiran kritis, dan merangsang kreativitas—bukan sekadar mendisiplinkan barisan seperti di militer. Saya akan mengajak Anda menyusuri argumen yang berlandaskan pada fakta dan riset, tapi dikemas dengan sentuhan satir ala Mojok supaya tidak terlalu kaku dan tetap menghibur.

Pendidikan Bukan Militer: Belajar Beda dengan Baris-Berbaris

Kita semua tahu barak sebagai ruang militer sarat dengan aturan baku, disiplin keras, dan pengawasan ketat oleh seorang komandan. Di sana, tak ada ruang untuk protes, pertanyaan, apalagi kreativitas. Yang ada hanya perintah, yang harus dilaksanakan tanpa diskusi. Kalau salah, siap-siap saja menerima hukuman.

Sekarang, coba bayangkan anak-anak usia belasan tahun—mereka sedang dalam masa pertumbuhan dan pencarian jati diri—dipaksa menjalani rutinitas barak yang penuh tekanan seperti itu. Bukannya membangun karakter, hal ini justru bisa memunculkan trauma, rasa takut berlebih, dan bahkan mengikis motivasi belajar mereka.

Pendidikan, sebagaimana didefinisikan oleh UNESCO dan lembaga-lembaga akademis dunia, adalah proses pembelajaran yang bersifat holistik: mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru hadir sebagai fasilitator dan mentor yang mendorong siswa berpikir kritis, bertanya, dan bereksplorasi. Guru adalah teladan sekaligus pendorong tumbuh kembang intelektual dan emosional.

Komandan barak? Mereka ahli dalam membangun kedisiplinan dan ketaatan, bukan dalam mengajarkan konsep matematika, literasi, atau sains sosial. Memaksakan pola militeristik ke dalam ruang belajar berarti menyamakan antara membentuk prajurit dan membentuk warga negara yang berpengetahuan dan kritis. Dua hal ini jelas berbeda.

Bukti Riset: Disiplin Ketat Belum Tentu Efektif untuk Pembelajaran

Sejumlah penelitian psikologi pendidikan menunjukkan bahwa pendekatan yang terlalu otoriter dan kaku dalam pendidikan justru dapat berujung pada efek negatif bagi siswa. Misalnya, menurut hasil studi yang diterbitkan dalam Journal of Educational Psychology, model pembelajaran yang otoriter berhubungan dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi, motivasi belajar yang menurun, dan kreativitas yang terhambat.

Selain itu, menurut penelitian dari American Psychological Association (APA), anak-anak yang dididik dengan pendekatan penuh tekanan dan hukuman fisik cenderung mengalami penurunan kualitas hubungan sosial dan kemampuan adaptasi emosional. Ini berlawanan dengan tujuan pendidikan yang ideal, yakni membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga sehat mental dan sosial.

Kebijakan mengirim siswa ke barak, yang disertai dengan pengawasan dan pembinaan ala militer, berpotensi menciptakan lingkungan belajar yang penuh tekanan dan takut. Ketika siswa takut, mereka cenderung belajar hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena rasa ingin tahu dan semangat belajar. Dan ini adalah kebalikan dari apa yang seharusnya terjadi di kelas.

Guru, Bukan Komandan: Fungsi dan Peran yang Berbeda

Mari kita bedah lebih dalam peran guru dan komandan, agar tidak rancu. Guru adalah pendidik yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan membimbing siswa mengembangkan potensi diri. Guru harus mampu mendengarkan, memberikan motivasi, dan menciptakan suasana kelas yang inklusif serta ramah untuk belajar.

Sementara itu, komandan barak adalah figur otoritatif yang berfokus pada disiplin dan kepatuhan. Mereka mengatur barisan, memberikan perintah, dan menegakkan aturan tanpa ruang tawar-menawar. Peran mereka efektif dalam konteks militer, tetapi tidak di ruang belajar formal.

Penggabungan dua peran ini dalam satu sistem—mengharuskan siswa belajar dalam pola barak militer—berisiko mencampurkan ranah pendidikan dengan ranah kedisiplinan militer secara tidak tepat. Akibatnya, siswa bukan saja kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri secara optimal, tapi juga berpotensi mengalami stres berlebihan.

Mengapa Barak Bukan Tempat yang Layak untuk Belajar?

Seandainya sekolah diibaratkan sebuah taman, maka barak adalah kandang yang dipenuhi perintah dan pembatasan ketat. Sedangkan taman harusnya jadi tempat berkembangnya bunga-bunga kreativitas, yang mendapatkan sinar matahari berupa motivasi dan nutrisi berupa bimbingan guru.

Lingkungan barak yang keras, dengan aturan kaku dan pengawasan ketat, membuat siswa belajar dalam tekanan, bukan dalam ketenangan. Ini berpotensi menghambat perkembangan fungsi eksekutif otak yang meliputi perencanaan, pengambilan keputusan, dan kemampuan sosial. Apalagi jika pendekatan yang diterapkan lebih banyak berupa perintah dan hukuman, bukan dialog dan refleksi.

Selain itu, anak-anak dan remaja punya kebutuhan psikologis yang berbeda dengan tentara profesional. Mereka membutuhkan ruang untuk mengekspresikan diri, mencoba, dan juga membuat kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Di barak, ruang ini seringkali sangat terbatas atau bahkan tidak ada.

Apa Kata Ahli Pendidikan?

Pak Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan tokoh pendidikan Indonesia, pernah menekankan bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia, bukan malah menghilangkan kemanusiaannya. Jika siswa ditempatkan dalam sistem yang sangat militeristik, maka kemanusiaan mereka—yang terdiri dari rasa ingin tahu, ekspresi diri, dan kemampuan berpikir kritis—berisiko tergerus.

Selain itu, menurut Howard Gardner dengan teorinya tentang Multiple Intelligences, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, dan cara belajar yang efektif tidak bisa disamaratakan dengan pendekatan satu model kaku seperti barak. Disiplin memang penting, tapi disiplin tidak harus identik dengan ketakutan dan hukuman.

Pendidikan yang baik adalah yang mendorong anak menjadi pribadi mandiri dan bertanggung jawab, bukan yang sekadar mencetak robot patuh perintah. Jika pendekatan militeristik diadopsi secara berlebihan dalam sistem pendidikan, kita justru berisiko melahirkan generasi yang patuh tapi tidak kritis, takut tapi tidak kreatif.

Efek Jangka Panjang: Ketakutan, Bukan Kepercayaan Diri

Disiplin yang terlalu ketat dan lingkungan yang keras seperti barak bisa meninggalkan bekas psikologis jangka panjang pada siswa. Mereka mungkin tumbuh menjadi orang dewasa yang menghindari risiko dan tidak berani menyampaikan pendapatnya. Karena selama masa sekolah, mereka sudah terbiasa “menyembunyikan” diri agar tidak menjadi sasaran hukuman.

Ini jelas tidak sejalan dengan tujuan pembangunan sumber daya manusia yang inovatif dan adaptif di era 4.0 dan 5.0. Dunia kerja menuntut karyawan yang mampu berpikir out of the box, berkolaborasi, dan berinovasi. Jika sekolah kita malah mendidik dengan pendekatan militeristik yang keras, maka kita seperti sedang mempersiapkan generasi yang gagap menghadapi dunia modern.

Alternatif Pendekatan: Disiplin dengan Pendekatan Humanis

Disiplin dalam pendidikan tentu penting, tapi bisa dilakukan dengan cara yang lebih humanis dan membangun. Pendekatan seperti restorative justice (keadilan restoratif), pembelajaran berbasis proyek, dan diskusi terbuka, terbukti lebih efektif dalam membangun disiplin yang berasal dari kesadaran diri, bukan paksaan.

Guru sebagai mentor punya peran besar dalam membangun lingkungan kelas yang aman secara psikologis. Lingkungan seperti ini memotivasi siswa untuk belajar dan berkembang tanpa harus merasa takut atau tertekan. Dalam kondisi seperti ini, siswa juga belajar menghargai aturan bukan karena takut, tetapi karena mereka memahami manfaatnya.

Kembalikan Pendidikan kepada Guru, Bukan Komandan

Kebijakan mengirim siswa ke barak adalah contoh pendekatan pendidikan yang keliru dan ketinggalan zaman. Siswa bukanlah prajurit yang perlu dilatih dengan cara militeristik, melainkan pelajar yang perlu dididik dengan penuh perhatian, kreativitas, dan bimbingan dari guru yang kompeten dan berempati.

Siswa belajar kepada guru karena guru adalah pendidik, fasilitator, dan pembimbing. Komandan barak tidak memiliki kompetensi pedagogis untuk mendidik siswa secara holistik. Memaksakan pola militer ke pendidikan hanya akan menimbulkan ketakutan dan mengekang potensi siswa.

Sudah saatnya kita menolak paradigma “komandan barak” dalam pendidikan, dan kembali menempatkan guru sebagai pusat pembelajaran yang manusiawi, inspiratif, dan progresif. Pendidikan bukan barak militer, dan siswa bukan prajurit yang hanya harus patuh perintah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!