ADVERTISEMENT

Menjemput Masa Depan Ekonomi Pemuda: Refleksi atas Audiensi BAKORNAS LEMI PB HMI dengan OJK Malang

Menjemput Masa Depan Ekonomi Pemuda: Refleksi atas Audiensi BAKORNAS LEMI PB HMI dengan OJK Malang
Menjemput Masa Depan Ekonomi Pemuda: Refleksi atas Audiensi BAKORNAS LEMI PB HMI dengan OJK Malang
(Dok. Pribadi Haziz Hidayat)

Balai Pikir Di tengah gelombang disrupsi teknologi dan ekonomi yang semakin mengguncang struktur sosial bangsa, kabar tentang audiensi Badan Koordinasi Nasional Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (BAKORNAS LEMI) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Malang pada 15 Juli 2025 patut kita sambut sebagai secercah terang di lorong-lorong keputusasaan generasi muda. Bukan hanya karena forum itu mempertemukan pemuda dan regulator keuangan, tetapi karena audiensi tersebut menjadi simbol: bahwa masih ada pemuda yang tidak menyerah pada gawai, gacha, dan godaan pinjol.

Pertemuan ini bukan agenda besar kenegaraan. Tidak ada gelar doktor ekonomi atau stempel birokrasi tinggi. Namun justru karena kesederhanaannya, peristiwa ini mencerminkan apa yang sesungguhnya mendesak: kebutuhan akan literasi ekonomi yang membumi, menyapa anak muda di lorong-lorong pasar, di warung kopi, di gang-gang kampus, dan di pojok-pojok desa yang jauh dari infografik OJK.

Dalam pertemuan itu, dibahas banyak hal. Judi online, pinjaman online, hingga problem mental dan sosial akibat game online. Permasalahan-permasalahan ini bukan hal baru, namun kehadiran BAKORNAS LEMI PB HMI dalam ranah tersebut adalah sesuatu yang menyegarkan. Selama ini, gerakan pemuda kerap terjebak dalam romantisme revolusi dan jargon perlawanan tanpa peta ekonomi yang jelas. Kini, arah angin tampaknya mulai bergeser ke hal yang lebih konkret.

Literasi Ekonomi: Dari Slogan ke Aksi

Kita semua tahu bahwa istilah literasi ekonomi telah menjadi jargon wajib dalam setiap pidato pejabat, seminar kampus, dan brosur bank. Namun sayangnya, literasi ekonomi di negeri ini lebih sering berhenti di angka dan retorika. Padahal, menurut data OJK tahun 2022, indeks literasi keuangan nasional baru menyentuh angka 49,68 persen. Artinya, lebih dari separuh warga Indonesia masih belum memahami cara kerja dunia keuangan secara mendasar—mulai dari menabung, berinvestasi, hingga mengelola utang.

Masalah ini semakin pelik ketika menimpa generasi muda. Sebuah studi dari Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa 7 dari 10 generasi Z di Indonesia pernah menggunakan layanan pinjaman daring, dan separuh di antaranya mengalami gagal bayar. Judi online makin merajalela, masuk lewat permainan kasual, promosi influencer, hingga slot-slot tersembunyi di aplikasi sosial media.

Dalam konteks inilah audiensi yang dilakukan oleh Haziz Hidayat dan tim BAKORNAS LEMI PB HMI menjadi signifikan. Mereka tidak hanya bicara tentang visi dan idealisme, tapi juga menyusun skema kerja sama yang menyasar problematika nyata: pemuda, utang, dan ketidakpahaman terhadap uang.

OJK dan Tantangan Inklusivitas

Respons Kepala OJK Malang, Farid Faletehan, juga memperlihatkan adanya kesadaran yang sama di tubuh regulator: bahwa literasi keuangan tidak cukup hanya lewat kampanye konvensional. Dalam pernyataannya, Farid menyambut baik inisiatif pemuda ini sebagai bagian dari strategi perluasan pemahaman keuangan di kalangan masyarakat. Ini langkah positif.

Namun, OJK sebagai otoritas tetap memiliki pekerjaan rumah besar. Kita tidak bisa menutup mata bahwa selama ini akses informasi keuangan masih banyak dinikmati oleh masyarakat kota, kelas menengah, atau kelompok dengan latar belakang pendidikan tinggi. Masyarakat pinggiran, pekerja informal, dan pelajar di daerah terpencil masih jarang disentuh langsung oleh program-program literasi OJK.

Kolaborasi dengan organisasi kepemudaan seperti HMI menjadi peluang emas untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Bukan hanya karena HMI punya jaringan yang luas sampai ke pelosok, tetapi karena organisasi ini memiliki akar sejarah dalam perjuangan sosial-ekonomi bangsa. Jika sinergi ini benar-benar dijalankan, maka narasi besar tentang inklusivitas ekonomi tak lagi jadi omong kosong.

Gerakan Pemuda di Era Ekonomi Digital

Pertemuan di Malang ini juga memberi pesan penting: bahwa pemuda hari ini tak lagi bisa hanya menjadi penonton di tengah pusaran ekonomi digital. Mereka harus belajar menjadi aktor. Jika tidak, mereka hanya akan jadi angka dalam statistik pengangguran atau korban selanjutnya dari pinjaman online ilegal.

BAKORNAS LEMI PB HMI memulai dari sesuatu yang kecil tapi bermakna: membuka kanal komunikasi dengan pihak regulator. Di tengah banyak organisasi pemuda yang lebih senang memproduksi konten atau sekadar menggelar diskusi berbalut kopi dan Instagram Story, langkah HMI ini adalah ajakan untuk kembali kepada kerja-kerja strategis. Dari kampus ke komunitas, dari diskusi ke aksi.

Namun tentu kita tidak boleh cepat puas. Audiensi bukan tujuan, ia baru pijakan awal. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana tindak lanjutnya dibentuk: Apakah akan ada modul edukasi ekonomi yang disesuaikan dengan bahasa anak muda? Apakah akan ada kelas daring tentang investasi sehat, atau pelatihan membedakan aplikasi legal dan ilegal? Apakah akan dibentuk jejaring edukator muda yang bisa masuk ke sekolah-sekolah dan kampung-kampung?

Jika tidak ada tindak lanjut yang konkret, maka audiensi ini akan berakhir seperti kebanyakan pertemuan seremonial lainnya: penuh dokumentasi, tapi nihil perubahan.

ADVERTISEMENT

Tantangan Kolaborasi: Bukan Hanya Soal Kemauan

Untuk memastikan keberhasilan kolaborasi ini, kedua belah pihak harus menyadari bahwa kerja sama pemuda-regulator bukan hanya soal kemauan, tapi juga soal desain. Banyak kerja sama yang gagal bukan karena tidak ada semangat, melainkan karena tidak ada struktur yang menopangnya.

OJK perlu menyediakan kanal khusus untuk organisasi kepemudaan yang ingin bergerak di bidang edukasi ekonomi. Tidak semua organisasi bisa langsung paham bagaimana menjembatani bahasa teknis keuangan dengan realitas sosial anak muda. Di sinilah peran fasilitasi menjadi penting: pelatihan bagi trainer, materi komunikasi visual, hingga mekanisme monitoring dan evaluasi bersama.

Sebaliknya, organisasi seperti BAKORNAS LEMI PB HMI juga harus membuka diri terhadap profesionalisme gerakan. Kerja-kerja literasi ekonomi tidak bisa hanya mengandalkan semangat, tapi juga membutuhkan kapasitas manajerial, metode pelatihan yang terukur, dan pendekatan yang berbasis data. Pendek kata: idealism meets expertise.

Menuju Gerakan Literasi Ekonomi yang Membebaskan

Indonesia tengah berada di ambang jendela demografi emas. Pada 2030, proporsi penduduk usia produktif akan mencapai puncaknya. Namun angka ini tidak akan berarti apa-apa jika generasi muda justru menjadi generasi yang rentan secara ekonomi. Kita tidak butuh generasi rebahan yang hidup dari paylater ke paylater sambil berharap pada giveaway TikTok. Kita butuh generasi pemuda yang melek finansial, tahu cara membaca neraca, tahu kapan harus menabung dan kapan harus investasi, serta tahu batas antara aplikasi legal dan jebakan digital.

Dalam konteks itu, kolaborasi seperti yang dilakukan HMI dan OJK Malang harus terus diperluas. Bukan hanya di Malang, tetapi di semua kota tempat pemuda sedang berjuang memahami dunia yang terlalu cepat berubah. Dari Makassar ke Madiun, dari Padang ke Pontianak, literasi ekonomi harus menjadi bagian dari gerakan kebangsaan baru.

Antara Harapan dan Kenyataan

Audiensi BAKORNAS LEMI PB HMI dengan OJK Malang adalah angin segar yang semestinya tidak berlalu begitu saja. Ia adalah alarm bahwa ada gerakan akar rumput yang mulai sadar bahwa ekonomi bukan milik ekonom semata, tapi milik semua orang—terutama mereka yang selama ini tertinggal.

Tantangannya kini adalah bagaimana membuat momentum ini hidup lebih lama dari dokumentasi media. Bagaimana menjadikannya gerakan nasional, bukan sekadar kegiatan lokal. Bagaimana mengubah percakapan tentang ekonomi dari seminar di hotel ke diskusi di pos ronda, dari pidato panjang ke modul pelatihan yang sederhana.

Literasi ekonomi bukan soal hafal istilah bank. Ia soal bagaimana seorang anak muda tahu cara bertahan hidup tanpa terjebak utang. Dan dalam usaha itu, negara harus hadir. Tapi lebih dari itu, pemuda harus bangkit. Jika tidak, maka sejarah hanya akan mencatat mereka sebagai generasi yang pintar berselancar, tapi tenggelam dalam utang digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!