Surga di Balik Hembusan Napas

Di kaki Gunung Cempaka yang selalu diselimuti kabut pagi, berdirilah sebuah desa bernama Kalibelik. Konon, jika seseorang mampu menarik napas dalam-dalam di puncak gunung itu saat matahari terbit, maka segala dosanya akan luruh seperti embun di pagi hari. Entah siapa yang pertama kali menyebarkan keyakinan itu, namun di Kalibelik, kabar lebih dipercaya daripada kitab, dan mimpi lebih dihormati daripada fakta.
Di sanalah tinggal seorang tokoh yang dicintai sekaligus diam-diam ditakuti: Kiai Gozali bin Safaruddin. Orang memanggilnya Abah Gozali, seorang lelaki sepuh berwajah teduh, bersorban putih dan berbicara seolah kata-katanya berasal dari langit. Ia tidak pernah sekolah formal, tapi kata warga, Abah Gozali bisa membaca kitab kuning bahkan dalam gelap. “Karena ilmu cahaya tak butuh penerangan,” begitu katanya sambil tersenyum simpul, membuat jemaah berdecak penuh takzim, meski tak paham maknanya.
Di halaman pesantrennya yang bernama Baitul Nafas, setiap malam Jumat selalu digelar majelis dzikir. Yang datang bukan hanya warga Kalibelik, tapi juga ibu-ibu dari kota tetangga yang rela naik ojek motor selama dua jam hanya demi mendengar napas Abah Gozali saat melantunkan sholawat. Konon, napas itu harum. Tidak seperti bau keringat petani atau asap rokok kretek, tapi semerbak seperti dupa dari langit ketujuh.
“Napase Abah iku surga,” kata Bu Marni, janda umur empat puluh delapan yang selalu duduk di saf depan.
Tapi di balik embun dan harum dupa itu, Kalibelik menyimpan sesuatu yang disimpan rapat oleh waktu dan rasa takut: rahasia di balik hembusan napas sang Kiai.
Suatu malam, selepas majelis, Abah Gozali memanggil salah satu santriwatinya yang baru mondok dua bulan: Siti Mawar, anak bungsu dari penjual pecel lele di Pasar Belik. Usianya baru tujuh belas, wajahnya bening seperti embun yang belum disentuh matahari.
“Nderek kula, Abah?” tanya Mawar dengan logat halus, sedikit bingung melihat sorban putih yang melambai-lambai seperti ular suci itu.
“Nderek, Nduk. Aja wedi. Iki bagian saka karomah,” jawab Abah dengan nada mendesak, namun lembut. Tangannya bergetar saat menyentuh bahu Mawar. Santriwati lain hanya menunduk. Mereka semua tahu, tapi diam adalah syarat kelulusan tak tertulis di pesantren itu.
Di ruangan yang disebut “Balai Nafas”, Abah Gozali menjelaskan bahwa setiap santri perempuan yang terpilih akan mendapatkan ijazah ruhani—semacam pemberkatan spiritual yang katanya hanya bisa diberikan lewat kontak batin yang sangat dalam. Sangat… sangat dalam.
“Aja wedi, Nduk. Iki laku tirakat. Kowe bakal disuceni saka hawa nafsu,” bisiknya, sambil melepaskan pecinya perlahan.
Tapi malam itu berbeda. Mawar tidak diam. Saat tangan Abah Gozali mulai merayap di balik kerudungnya, ia berteriak. Teriakan itu menembus lapisan doa-doa, menabrak dinding-dinding pesantren, dan untuk pertama kalinya, mengguncang aroma surga yang selama ini hanya berasal dari dupa dan minyak wangi murahan dari Arab.
Keesokan paginya, Kalibelik gempar. Tapi bukan karena Mawar. Abah Gozali dikabarkan pingsan karena serangan jin yang masuk lewat jendela Balai Nafas. Semua orang panik. Para jemaah mengirim doa, beberapa ibu-ibu menjerit histeris, dan seorang perangkat desa bahkan memanggil paranormal dari Banjarnegara. Tapi Mawar? Ia sudah disingkirkan. Dituduh kerasukan, pembawa sial, bahkan dijuluki ‘Santri Setan’ oleh ibu-ibu pengajian.
“Kowe ngerti apa, Nduk? Abah iku wali!” bentak Bu Marni di depan rumah Mawar, sambil membawa segelas air zam-zam yang dilemparkannya ke tanah, seolah air suci itu kini najis setelah melewati cerita Mawar.
Tak seorang pun percaya padanya. Karena di Kalibelik, kebenaran itu tidak ditentukan oleh siapa yang jujur, tapi oleh siapa yang paling sering membaca doa di mikrofon masjid.
Malam Jumat berikutnya, Balai Nafas kembali dibuka. Kali ini dengan dupa yang lebih harum, dzikir yang lebih panjang, dan sholawat yang lebih merdu. Seorang santriwati lain dipanggil. Dan dunia kembali diam. Seperti biasa.
Tapi di bawah tenang kabut dan suara jangkrik, di antara lembar-lembar kitab yang mulai menguning karena rayap, bisikan Mawar terus berputar: “Surga apa yang kau cium, jika itu adalah napas cabul?”
—–
Kalibelik, seperti biasa, menelan semua keanehan dengan doa. Yang aneh dibungkam, yang menyimpang dipulangkan. Dan yang melawan, dijadikan bahan ghibah lalu dilenyapkan dalam bait-bait sholawat yang dideklamasikan setiap malam Jumat. Mawar hanya satu dari banyak bunga yang patah sebelum sempat mekar. Sebelumnya ada Ratih, dan sebelumnya lagi ada Halimah. Semuanya sudah “turun gunung”, istilah pesantren untuk santriwati yang keluar sebelum waktunya. Alasannya beragam, tapi biasanya hanya satu: “Tidak cocok.”
Namun, sejak insiden Mawar, ada satu perubahan kecil yang luput dari perhatian. Ustaz Mahfud, tangan kanan Abah Gozali, mendadak lebih rajin menggembok Balai Nafas dari dalam. Bahkan, ia mulai membuat “jadwal” kunjungan khusus santri putri ke kamar Abah. Kegiatan itu dinamai Riyadhoh Nafasiyyah. Terdengar sangat spiritual. Tapi kecurigaan tumbuh pelan-pelan, seperti jamur di tembok lembab.
Di antara santri laki-laki, mulai terdengar gumaman.
“Lha kok santri putri terus sing dipanggil, yo?”
“Konon, abis riyadhoh kuwi, diparingi kembang telon lan uang saku…”
“Lan kembang perawan, mungkin?”
Tawa kecil menyelinap di sela guyonan kotor mereka. Tapi tidak ada yang berani serius membahasnya. Abah Gozali adalah wali—setidaknya, begitulah yang diyakini para orang tua mereka.
Di tempat lain, Mawar mencoba memulai hidup baru. Ia kembali membantu ibunya di warung pecel lele. Tapi pelanggan mulai berkurang. Ibu-ibu pengajian melarang anaknya makan di sana. “Nasi lele bekas tangan setan,” kata mereka. Bahkan satu-satunya tukang sayur yang biasa ngutang pun tak lagi mampir.
“Bu, kita pindah saja,” kata Mawar suatu sore.
Ibunya menoleh. Wajahnya tirus karena stres, bukan karena zikir. Ia menatap anaknya lama, lalu berkata lirih, “Ke mana? Dunia ini kecil kalau kau dituding mencemarkan langit.”
Tapi angin di Kalibelik tak selalu tenang. Suatu hari, seorang wartawan muda dari kota bernama Salman datang. Ia bekerja untuk sebuah media daring kecil, Suara Langit. Ia tidak religius, tidak percaya karomah, dan tidak pernah mabuk aroma dupa. Ia datang karena mendapat kiriman surat dari seseorang yang tidak mencantumkan nama, hanya tulisan tangan yang nyaris pudar:
“Jika kau ingin menulis sesuatu yang benar, datanglah ke Kalibelik. Di sana, surga dijual lewat napas seorang lelaki tua.”
Salman menyukai surat aneh. Apalagi jika ada embel-embel agama dan manipulasi. Maka ia naik bus ke Kalibelik, menyamar sebagai donatur wakaf masjid. Dengan jaket murahan dan rekaman suara sholawat di ponselnya, ia berhasil masuk ke dalam lingkaran pengajian pesantren Baitul Nafas.
Abah Gozali menyambutnya dengan hangat.
“Anak muda yang mencari Tuhan lewat logika,” kata sang Kiai sambil mengusap janggutnya. “Sering kali tersesat ke lorong neraka.”
Salman hanya tertawa kecil. “Mungkin neraka lebih jujur daripada surga yang dijual per hembusan napas, Kiai.”
Untuk sesaat, mata Abah menyipit. Tapi hanya sebentar. Ia sadar, pemuda ini berbeda. Tidak menunduk saat ditegur, tidak menitikkan air mata saat mendengar sholawat. Tapi justru itu yang menariknya. Kiai Gozali suka tantangan. Dan ia yakin, semua bisa dilunakkan, asal diberi aroma dan sentuhan yang tepat.
Selama tiga hari, Salman mencatat diam-diam. Ia melihat bagaimana Balai Nafas hanya dibuka untuk santri tertentu. Bagaimana Ustaz Mahfud melarang siapa pun mendekat saat ritual malam. Bagaimana santriwati yang dipanggil selalu tampak pucat, dan kemudian menghilang seminggu kemudian dengan alasan sakit, atau “mencari hidayah di tempat lain.”
Ia juga bertemu dengan Mawar. Pertemuan mereka tak sengaja, saat Salman mampir ke warung pecel lele yang sepi. Mawar mengenali logatnya. Mereka bicara singkat. Tapi cukup untuk membuat Salman tahu bahwa surat anonim itu… bukan anonim. Mawar-lah yang menulisnya.
“Aku sudah dicap najis,” kata Mawar.
“Berarti kau tak perlu lagi takut kotor,” jawab Salman.
Hari berikutnya, Salman mencoba sesuatu yang nekat: menyusup ke Balai Nafas malam hari. Ia meminjam sorban dan sarung, menyaru sebagai santri yang terlambat zikir. Ia sembunyi di balik lemari kitab tua dan menunggu. Dan saat pintu dibuka, dan seorang santriwati masuk, Salman melihat semua.
Balai itu bukan tempat dzikir. Tapi ranjang. Kasur tipis, dupa menyala, lampu temaram, dan suara napas tua yang disucikan oleh ketakutan.
Salman merekam. Tak lama, ia dikejar. Ia dipukul, ponselnya dihancurkan. Tapi ia sudah mengirim satu rekaman pendek lewat email ke dirinya sendiri. Cukup untuk meledakkan segalanya.
Kabar itu meledak seminggu kemudian. Di media. Di grup WhatsApp wali santri. Di meja redaksi harian nasional. Judulnya mencolok:
“Surga yang Dicabuli: Investigasi Nafas Abah Gozali.”
Kalibelik gempar. Tapi bukan karena merasa bersalah. Mereka marah. Bukan pada sang Kiai, tapi pada Salman. Pada Mawar. Pada siapa pun yang membongkar ‘kebersamaan rohani’ itu. Mereka bilang: “Ini fitnah!” dan “Abah sedang diuji!” serta “Salman pasti agen Yahudi!”
Tapi video tak bisa dibantah. Dan polisi pun akhirnya turun. Abah Gozali ditangkap. Ia tampak tetap tenang, bahkan saat digiring keluar dari pesantrennya. Ia berkata pelan, “Jangan khawatir. Surga tak akan ditutup hanya karena satu badai kecil.”
Di belakangnya, Ustaz Mahfud kabur ke luar negeri. Pesantren disegel. Santriwati dipulangkan. Ibu-ibu pengajian menangis di halaman Balai Nafas, memeluk dupa yang sudah mati.
Namun, cerita tidak berakhir di situ. Sebab di desa lain, hanya dua bukit dari Kalibelik, sudah muncul kiai baru. Sorban baru. Minyak wangi baru. Dan napas baru yang katanya bisa menyucikan dosa masa lalu.
Karena di negeri ini, surga selalu bisa dibangun kembali. Cukup dengan sedikit dupa, mikrofon, dan lidah yang pandai bicara.
—–
Di Kalibelik, Abah Gozali mungkin telah ditangkap, tapi aroma suci dari Balai Nafas tidak begitu saja lenyap. Seperti dupa yang menempel di tirai, ia terus melekat di kepala para jemaah—terutama mereka yang kehilangan arah setelah kehilangan pemimpin rohani.
Ibu-ibu pengajian mulai membuat versi baru dari narasi. Mereka bilang Abah dizalimi. Mereka mengatakan video itu palsu. Beberapa bahkan mulai menyusun petisi agar pemerintah membebaskannya. Petisi itu berjudul: “Tegakkan Hak Ulama, Hancurkan Fitnah Jurnalistik Laknatullah.”
Dan ketika beberapa stasiun televisi mulai menayangkan dokumenter tentang kasus itu, warga Kalibelik beramai-ramai melempari layar TV di balai desa. Seorang ustaz baru, muda dan berwajah tampan, naik ke podium dan berteriak: “Media itu kaki tangan setan! Jangan percaya kecuali dia berbau surga!”
Yang mereka maksud dengan ‘surga’ tetap kabur. Apakah bau surga itu dupa, atau aroma tubuh Abah Gozali saat berkeringat dalam ritual malam? Tak ada yang benar-benar bisa menjelaskan. Namun tak seorang pun merasa perlu menjelaskan. Keimanan tak butuh alasan; cukup rasa takut dan kebiasaan.
Sementara itu, Salman kembali ke kota. Ia tidak mendapat penghargaan, tidak juga promosi. Redaksi tempatnya bekerja malah mendapat ancaman. Situs media mereka diblokir sementara. Ada yang bilang karena masalah konten, ada pula yang menyebut karena “mengganggu ketertiban spiritual masyarakat.”
Salman menerima surat kaleng berisi rambut dan kertas bertuliskan ayat yang salah tulis. Ancaman mistik ala ala. Ia tertawa kecil dan membuang surat itu ke tong sampah, bersamaan dengan sisa dupa yang sempat ia simpan dari Kalibelik.
Tapi tawa itu tak bertahan lama.
Karena satu bulan kemudian, muncul sosok baru di televisi nasional: Habib M. Zuhri Al-Kalibeliqi, pendakwah muda yang mengklaim pernah menjadi santri khusus Abah Gozali. Dengan janggut rapi, jas putih bersulam benang emas, dan nada bicara penuh welas asih, ia mengguncang layar kaca.
“Abah Gozali adalah mursyid saya. Ia dizalimi oleh zaman. Tapi saya akan meneruskan misi beliau,” katanya dalam salah satu tayangan talk show rohani.
Bukan hanya meneruskan, Zuhri malah melampaui gurunya. Ia membuka Majelis Nafas Surga Internasional, dengan cabang di enam kota besar dan satu kantor perwakilan di Malaysia. Setiap pengajian dihelat dengan pencahayaan yang mirip konser, suara latar yang menggugah, dan lontaran kata-kata yang seolah diambil dari kitab langit, padahal kebanyakan adalah kutipan film motivasi barat yang diterjemahkan secara longgar.
Dan tentu saja, ia punya sesi khusus.
Sesi Pembersihan Diri.
Khusus perempuan. Khusus yang ‘terpilih’. Khusus yang siap ‘menyatu dengan energi Tuhan’ lewat sentuhan yang katanya tidak fisik tapi spiritual.
Mawar melihat semua itu dari televisi warung nasi goreng tempat ia sekarang bekerja. Warung itu lebih ramai dari pecel lele ibunya dulu, karena letaknya di dekat terminal. Ia tak lagi takut. Tapi ia juga tak punya tenaga untuk marah.
“Gantian tokoh saja, ya?” ujar tukang gorengan di sebelahnya. “Tapi ceritanya yaa… masih bau napas juga.”
Mawar tersenyum masam.
“Surga mereka kayak warung padang. Bisa waralaba.”
Satu sore, Salman mendatangi Mawar. Mereka duduk di bangku bambu, dikelilingi nyamuk dan suara azan dari tiga masjid yang bersaing volume. Salman tampak gelisah.
“Zuhri naik daun. Semua orang percaya padanya,” katanya.
“Ya. Sama seperti mereka percaya pada Gozali dulu.”
“Kita harus lakukan sesuatu.”
Mawar menoleh. “Apa lagi yang bisa kita lakukan? Tuhan saja diam, apalagi kita?”
Salman terdiam. Kalimat itu menghantam lebih keras daripada tamparan apa pun. Tapi ia tahu Mawar tidak sedang sinis. Ia hanya sedang realistis. Dan itu jauh lebih mematikan.
Namun, tak lama setelah itu, muncullah kesempatan.
Seorang perempuan bernama Ririn, mantan ‘jamaah khusus’ Zuhri, diam-diam menghubungi Salman lewat email. Ia menceritakan bagaimana ia dimanipulasi, dihipnotis dengan doktrin, dan “disucikan” lewat ritual yang membuatnya trauma hingga kini.
“Aku ingin bicara. Tapi tidak lewat video. Aku mau semua orang dengar langsung dari mulutku, di panggung, di depan publik,” tulis Ririn.
Maka disusunlah sebuah acara. Disamarkan sebagai diskusi kebudayaan di salah satu taman budaya kota. Tapi malam itu, taman itu penuh sesak. Karena kabar tentang pengakuan seorang perempuan yang ‘nyaris jadi istri spiritual Habib Zuhri’ sudah viral di media sosial.
Ririn berdiri di atas panggung, mengenakan baju sederhana dan jilbab tanpa brokat. Ia tak menangis, tak gemetar. Ia hanya berbicara.
Pelan.
Tegas.
Dan benar.
“Aku tidak datang dari neraka. Aku datang dari surga yang busuk, penuh parfum palsu dan sentuhan yang katanya suci tapi berbau selangkangan.”
Seluruh taman terdiam. Lalu meledak. Media datang. Polisi datang. Tapi Habib Zuhri menanggapinya dengan santai.
Dalam konferensi pers, ia berkata, “Perempuan itu kerasukan. Kami akan bantu dia dengan ruqyah. Kasihan, banyak wanita zaman sekarang ingin terkenal lewat jalan syubhat.”
Dan seperti sebelumnya, sebagian orang percaya padanya. Karena wajahnya putih. Karena dia hafal satu-dua ayat. Karena ia sering tampil di televisi sambil mencium anak yatim.
Namun kali ini, api kecil menyala dari dalam. Beberapa mantan jamaah mulai bicara. Forum-forum daring dipenuhi testimoni. Satu stasiun TV berani membuat dokumenter lanjutan dari kasus Balai Nafas. Dan di ujung tayangan, wajah Mawar muncul, untuk pertama kalinya, tanpa sensor, tanpa malu.
Ia berkata:
“Dulu aku berpikir aku korban. Sekarang aku tahu, aku saksi. Dan saksi tidak boleh diam.”
Kalimat itu menyebar seperti virus. Dan seperti semua virus, sistem kekuasaan spiritual pun mulai demam.
Zuhri mundur dari publik. Katanya, untuk khalwat. Tapi kabar burung menyebut ia melarikan diri ke negara Arab, mencari ‘ilmu’ baru. Pesantrennya dibubarkan. Kantor cabang di Malaysia dikosongkan.
Kalibelik kini sepi. Balai Nafas ditutup permanen. Dijadikan gudang pupuk oleh pemerintah. Beberapa orang masih berziarah ke makam Abah Gozali (yang belum mati, tapi sudah punya batu nisan cadangan). Tapi sisanya mulai sadar: surga yang selama ini mereka hirup, hanya ilusi yang diproduksi oleh ketakutan dan kebiasaan tunduk.
Di suatu sore, Mawar duduk sendiri di puncak Gunung Cempaka. Ia menarik napas dalam-dalam. Kabut tipis menari di antara ilalang. Tapi tak ada harum dupa. Tak ada suara zikir. Hanya napasnya sendiri.
Dan itu cukup.
Karena ia tahu, surga yang sejati bukan berasal dari napas orang lain—tapi dari keberanian bernapas dengan jujur, meski dunia tak percaya.
—–
Kalibelik tidak benar-benar berubah. Ia hanya mengganti nama dosanya dan memoles wajah pelakunya. Setelah kasus Zuhri memuncak dan meredup dalam satu musim seperti sinetron kehabisan rating, warganya kembali sibuk dengan urusan dunia: panen padi, arisan RT, dan tentu saja, majelis zikir setiap malam Jumat.
Kini, pengajian dipimpin oleh sosok baru: Ustaz Subakir, mantan tukang servis amplifier masjid yang tiba-tiba mengaku mendapat wahyu dalam mimpi. Dalam mimpi itu, katanya, Abah Gozali datang menemuinya, berselimut cahaya, dan menyerahkan tongkat napas yang dulu digunakan untuk “membersihkan jiwa perempuan-perempuan berdosa.”
Tongkat itu, menurutnya, adalah warisan spiritual yang tidak bisa diwariskan secara fisik, tapi “membekas dalam tulang dada.” Maka mulailah ia berkhotbah dengan gaya yang ia sebut metode dada terbuka—sebuah pendekatan spiritual yang melibatkan sentuhan langsung ke dada santriwati untuk “menyambungkan getaran langit.”
Bu Marni, yang dulu paling keras membela Abah Gozali, kini menjadi ketua pengajian baru bernama Majelis Hembusan Langit, dengan semboyan “Napasku adalah napas Tuhan, bila ikhlas.” Dalam setiap pertemuan, ia menyemprotkan minyak wangi yang konon dibuat dari keringat sorban Abah Gozali yang pernah dibawa ke Mekkah (walau belakangan terbukti dibeli di Tanah Abang dengan diskon akhir tahun).
Di desa itu, penyucian tetap berlangsung. Tapi kini dalam bentuk produk. Ada air botol Air Nafas Abah, dengan label bergambar wajah Gozali muda. Ada dupa “Aromatik Ruhani” yang dijual di kios masjid. Dan yang paling laris: kursus daring Menyatu dalam Napas Ilahi, yang diajarkan oleh istri keempat mantan asisten Zuhri yang kini bergelar Ustazah Spiritual Certified.
Agama, di Kalibelik, telah menemukan format yang lebih stabil: bukan sebagai jalan ke Tuhan, tapi sebagai industri kesucian yang bisa dicetak dalam brosur dan dibungkus dengan testimoni.
Sementara itu di kota, Salman mencoba menulis buku. Ia menamainya “Napasku Bukan Milikmu.” Tapi penerbit menolaknya. Katanya: terlalu panas. Terlalu menyerang tokoh agama. Terlalu tidak menjual.
“Kalau kamu bisa ganti tokohnya jadi semacam ustaz fiktif dari Timur Tengah, mungkin bisa kami proses,” kata editor itu, sambil menghisap rokok dengan wajah penuh selamat tinggal.
Salman tidak menyerah. Ia unggah sebagian naskah di blog. Tapi pengunjungnya sedikit. Dunia digital sudah keburu penuh dengan ceramah motivasi dari ustaz-ustaz ganteng dengan latar kaligrafi dan backsound lo-fi. Netizen lebih suka konten tentang bagaimana napas bisa memperbaiki rezeki daripada bagaimana napas pernah digunakan untuk memperkosa martabat.
Mawar, di sisi lain, memilih jalan yang lebih sunyi. Ia membuka warung kopi kecil bernama “Kedai Napas Sendiri.”Letaknya di pinggiran kota. Tidak ramai. Tapi cukup untuk hidup. Di dindingnya terpampang kalimat yang ia tulis sendiri:
“Kami tidak menjual surga. Tapi kopi kami jujur: pahit, hangat, dan tidak meraba.”
Pengunjung pertama warung itu adalah seorang ibu paruh baya yang diam-diam pernah menjadi korban sentuhan spiritual Gozali di masa mudanya. Ia menangis pelan saat menyeruput kopi pertama.
“Kalau aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan tarik napasku sendiri, bukan menumpang di napas orang lain,” katanya.
Dan itulah yang Mawar percaya: setiap orang berhak atas tubuh dan napasnya sendiri. Tuhan tidak menumpang lewat desahan siapa pun, apalagi disalurkan lewat ritual gelap di balik sorban yang harum.
Namun sistem lebih kuat dari kebenaran.
Sebulan setelah warung Mawar mulai viral karena tulisannya, datang surat dari ormas lokal. Mereka menuduh warung itu “mempromosikan nilai-nilai feminisme sekuler yang menggerogoti iman.” Dua minggu kemudian, warungnya dilempari batu. Beberapa kursi patah, spanduk robek, dan satu pelanggan dipukul karena membawa buku.
Polisi datang. Tapi bukan untuk menangkap pelaku, melainkan menasehati Mawar agar “tidak menyinggung perasaan umat.”
“Kadang niat baik bisa disalahartikan, Mbak,” kata petugas muda itu. “Kita ini negara religius. Jangan bawa-bawa kebebasan terlalu jauh.”
Mawar menatap petugas itu lama.
“Kamu tahu, Pak? Di Kalibelik dulu, orang yang disentuh tanpa izin disebut ‘yang kerasukan’. Tapi yang menyentuhnya disebut wali. Negara ini terlalu cinta pada napas para penipu.”
Waktu berlalu. Kalibelik tetap berjalan seperti biasa. Setiap malam Jumat, suara zikir terdengar sampai bukit. Tapi kini ada tambahan: live streaming di TikTok, lengkap dengan filter efek awan. Ustaz Subakir kini punya lebih dari 200 ribu pengikut. Dan dalam salah satu siarannya, ia berkata:
“Napas adalah ruh. Ruh adalah cahaya. Maka biarkan saya meniupkan cahaya ke dalam batinmu.”
Kolom komentar penuh dengan emoji hati dan kata “MasyaAllah.” Bahkan ada yang berkata: “Ustaz ini mirip Abah Gozali, ya. Lanjutkan perjuangan beliau…”
Di akhir cerita ini, kita tidak akan menutupnya dengan kematian dramatis. Tidak ada ledakan. Tidak ada pembalasan ilahi.
Karena dunia nyata tidak bekerja seperti itu.
Para penipu tetap hidup.
Para korban tetap dilupakan.
Dan yang disebut “surga”, masih terus dijual, dihirup, ditelan, bahkan diperkosa—oleh siapa pun yang tahu cara membungkus nafsu dengan jubah putih dan satu-dua ayat suci.
Namun, di sebuah warung kecil di pinggiran kota, di meja kayu yang sudah mulai lapuk, seorang perempuan duduk menulis.
Ia tidak menulis doa.
Ia tidak menulis ancaman.
Ia hanya menulis satu kalimat:
“Aku tidak butuh surga, jika surga dibangun di atas tubuhku yang ditindih oleh kebohongan.”
Dan napasnya—akhirnya—menjadi miliknya sendiri.