THIS IS FOR: TWICE, Empat Tahun Diam, dan Sebuah Lagu Pengakuan

Ketika TWICE merilis lagu Signal pada Mei 2017, harapan fans dan penggemar K‑Pop sangat tinggi—sebuah lagu yang diharapkan bisa menyamai atau bahkan melampaui kesuksesan hits-hits sebelumnya seperti Cheer Up, TT, dan Knock Knock. Namun ternyata kenyataan berbicara lain: sejumlah netizen, bahkan sebagian penggemarnya sendiri, menyatakan kekecewaan terhadap lagu tersebut, bahkan menudingnya sebagai titik terendah dari karya TWICE yang pernah ada.
Reaksi ini muncul padahal secara komersial Signal berhasil mengejutkan pasar. Meski mendapat kritik keras, lagu ini tetap menduduki puncak tangga lagu domestik dan internasional, membuktikan daya tarik populer TWICE tak boleh diremehkan . Namun sorotan utama yang mengusik justru bukan tentang prestasi di chart, melainkan keengganan sebagian audiens digital terhadap visinya—yang terasa terlalu kontras dengan ekspektasi.
Netizen menyampaikan kritik pedas: “Tidak percaya lagu ini mendapatkan #1,” kata salah satu komentar; “Aku seorang penggemar tetapi lagu ini mengecewakan. Mereka harusnya mendapatkan lagu dari Black Eyed Pilseung,” keluhan lain; dan “TWICE mendapatkan #1 hanya karena popularitas mereka. Kualitas lagu yang paling jelek daripada yang terjelek”. Dari sana, muncul diskusi mendalam mengenai apa sebenarnya yang salah dari Signal menurut netizen, dan apa implikasinya terhadap karier TWICE dan skena K‑Pop global.
Di Mana Letak “Masalahnya”?
Dari sudut pandang musikal, Signal merupakan single utama dari mini album ke‑4 TWICE yang diproduksi langsung oleh Park Jin‑young (JYP), pendiri JYP Entertainment. Secara teori, kolaborasi ini harusnya justru membawa tonalitas baru dan potensial mainstream lebih luas, dengan kualitas produksi sangat tinggi. Namun narasi netizen mengatakan sebaliknya: mereka merasa gaya electropop dengan beat TR‑808 yang dipadukan elemen hip‑hop terasa dipaksakan, kurang catchy, atau bahkan tidak merepresentasikan karakter kuat TWICE yang dikenal selama ini.
Netizen menyebut konsep visual dan musik video juga tak sejalan dengan ekspektasi: twist alien dan superpower para member dinilai tidak natural dan terlalu gimmick. Kritikus fans menyoroti bahwa elemen sci‑fi ini terasa seperti lelucon tanpa bobot, bukan inovasi artistik.
Lebih luas, kritik terhadap Signal melambung tinggi karena ekspektasi penggemar terhadap kualitas lagu yang konsisten tinggi. Lagu-lagu sebelumnya menawarkan melodi yang gampang menempel di kepala (earworm), konsep visual yang menggemaskan, serta koreografi yang mudah diingat. Fans merasa Signal gagal memenuhi semua itu.
Popularity vs Quality—Perdebatan Besar
Meski Signal menuai kritik kualitas, secara statistik lagu ini tetap sukses dalam hal perolehan chart ranking dan penghargaan. Artikel Tempo sendiri mencatat bahwa lagu ini dikabarkan mendapatkan rating hanya sekitar 2.5 dari 19.000 review di MelOn—indikator rendah dalam konteks metrik platform streaming dominan Korea. Namun secara makro, Signal tetap meraih all kill dan memuncaki beberapa tangga musik utama—sebuah disonansi antara persepsi audiens dan realitas komersial.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan: apakah industri K‑Pop kini lebih ditopang popularitas fandom ketimbang kualitas musik itu sendiri? Beberapa kritikus berpendapat Signal adalah contoh bahwa popularitas besar bisa menutupi kekurangan substansial suatu karya—bahkan karya yang secara internal dianggap mengecewakan bagi sebagian pendengar.
Peran Park Jin‑young dan Ekspektasi Produser Senior
Keterlibatan Park Jin‑young sebagai produser utama seharusnya menandakan kualitas tinggi dan ciri khas musik JYP: aransemen matang, hook kuat, dan diferensiasi gaya. Namun netizen justru menyampaikan bahwa lagu terkesan monoton, kurang inovatif, dan tidak sebanding dengan ekspektasi dari produser sekelas Park Jin‑young. Hal ini membentuk narasi anggapan bahwa Signal adalah “produk standar” yang tidak mencerminkan potensi optimal TWICE maupun visi kreatif JYP.
Pengaruh Terhadap Brand TWICE Secara Jangka Panjang
TWICE dikenal sebagai girl group dengan citra ceria, youthful, dan audiens global luas. Banyak fans merasa Signalmelenceng dari citra ini. Narasi penurunan kualitas ini kemudian memperkuat keraguan terhadap arah musik TWICE pasca comeback itu. Namun TWICE kemudian tetap melanjutkan berbagai comeback sukses setelahnya—sehingga pertanyaan muncul: apakah kritik terhadap Signal benar-benar merusak brand group, atau hanya bagian dari dinamika fandom?
Saat ini—delapan tahun setelah rilis—TWICE tetap bertahan sebagai salah satu girl group terpopuler generasi kedua K‑Pop. Penggemar baru mungkin tidak menyadari kontroversi publik di tahun 2017, namun dinamika Signal tetap menjadi pelajaran penting dalam sejarah fandom TWICE.
Signal sebagai Studi Kasus Ketegangan Ekspektasi
Narasi lagu Signal yang “tak disukai netizen” menyentuh sejumlah titik penting:
- Ketidaksesuaian antara ekspektasi fanbase terhadap kualitas musikal dengan realitas produksi yang hadir.
- Disparitas antara popularitas komersial dan persepsi kritis audiens.
- Bahaya homogenitas gaya dan visual yang terasa dipaksakan dalam industri idol.
- Signifikansi peran produser besar seperti Park Jin‑young dan bagaimana ekspektasi tinggi bisa menimbulkan backlash jika hasilnya dianggap kurang memuaskan.
Meskipun reaksinya keras, TWICE berhasil melewati fase itu dan tetap berkembang. Tapi Signal tetap menjadi cerita—tentang bagaimana suara netizen, terutama fans yang setia sekalipun, bisa membentuk ego dan narasi di balik musik pop global.
THIS IS FOR: TWICE, Empat Tahun Diam, dan Sebuah Lagu Pengakuan
Ketika pengumuman comeback THIS IS FOR tiba, dunia K‑Pop kembali gaduh—bukan hanya karena TWICE kembali setelah hampir empat tahun sejak album penuh terakhir, tetapi juga karena pesan dan makna yang tersimpan lebih dalam di balik judul dan formatnya. Album ini dirilis tepat pada 11 Juli 2025, menandai bab keempat panjang bagi grup yang debut pada 2015 itu.
Sejak teaser “Intro: Four” dirilis, nuansa visual yang diperlihatkan terasa jauh dari bubblegum pop ceria yang selama ini diasosiasikan dengan TWICE. Kini mereka tampak berpakaian seragam biru, memegang makna simbolik—“four” sebagai angka dan juga pengakuan bahwa TWICE kini memasuki era baru yang lebih reflektif dan dewasa . Fans yang memandang lebih tajam, termasuk ONCE lama, melihat THIS IS FOR bukan sekadar album musik: melainkan surat personal kepada penggemar, bukti bahwa TWICE telah berevolusi.
Peringkat #8 di Spotify Countdown Chart atas album ini menunjukkan dukungan fanbase mereka yang masif, sekaligus antusiasme global terhadap titik balik artistik ini. Namun di tengah sorak sorai, berhembus pula pertanyaan: apakah album ini benar-benar inovatif, atau ini hanya hype kepada merek yang sudah mapan? Kritik semacam itu tumbuh dari fans yang selalu menunggu kualitas tinggi dan kejutan kreatif di setiap era TWICE—sebagaimana yang pernah mereka dapatkan lewat album seperti Formula of Love: O+T=<3 (2021), yang disebut sebagai pencapaian artistik tertinggi mereka hingga saat ini.
Dinamika fandom baru pun muncul: video teaser kedua yang menampilkan kontak mata intens dari para member membangkitkan antisipasi emosional tinggi. Fans membagikan screen‑capture mata yang menatap langsung ke kamera, membawa rasa intimasi dan ketegangan yang subtan—sebuah simbol visual baru TWICE yang lebih kuat, dewasa, dan percaya diri.
Rangkaian comeback terbaru sebelumnya, seperti Ready To Be dan EP Strategy (Desember 2024), telah memperlihatkan TWICE yang mulai banyak bereksperimen—baik dengan berbagai genre seperti R&B dan dance‑pop era Y2K, maupun kolaborasi dengan artis seperti Megan Thee Stallion. Album Strategy totalnya mendapat rating bagus dan menandai peralihan musik yang lebih berani tanpa meninggalkan aura catchy khas mereka.
Lebih dari segalanya, THIS IS FOR menjadi panggung untuk TWICE memperlihatkan identitas mereka sebagai group yang tidak hanya unggul di panggung visual dan koreografi, tetapi juga kaya narasi personal. Banyak penggemar berharap album ini hadir dengan storytelling yang kuat dari sudut pandang setiap member—menyampaikan perjalanan emosional, pencarian makna, serta ucapan terima kasih yang tulus kepada ONCE yang telah menunggu dan bertahan selama ini.
Namun ekspektasi tinggi itu juga seperti pisau bermata dua: jika lagu utama atau b-side tidak memberikan hook yang menempel atau emosi yang resonan, kritik akan tajam. Mengingat album-album terbaik mereka seperti Formula of Love yang dikagumi karena keberanian berekspresi dan bukan hanya musik cerah semata, TWICE kini menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka masih bisa mengejutkan, atau malah terlalu terlena oleh comfort zone mereka sendiri?
Sebaliknya, jika THIS IS FOR mampu menyatukan kedewasaan vokal dan naratif puitis dengan energi performatif yang powerful, ia bisa menjadi tonggak baru dalam karier mereka—sebuah penegasan bahwa TWICE bukan sekadar ikon generasi kedua K‑Pop, tetapi entitas musik yang terus berkembang dan relevan lintas waktu dan budaya.
Di akhir cerita, comeback ini terasa seperti klimaks perjalanan TWICE: perpaduan nostalgia, refleksi, dan transformasi—semua dirangkum dalam musik dan visual yang penuh makna. THIS IS FOR bukan sekadar album; itu adalah bukti bahwa TWICE masih terus berpegangan pada diri sendiri dan kepada fans yang mencintai bukan hanya image mereka, tapi juga suara dan kisah mereka.