ADVERTISEMENT

Politik Zohran Mamdani: Menjaring Solidaritas di Kota yang Terbelah

New York, Juli 2025. Udara musim panas masih menahan sisa panas asap hutan Kanada; di jalur‐jalur bawah tanah, kipas tua meraung‐raung tanpa ampun. Di atas permukaan, harga sewa meroket lebih cepat daripada cat grafiti yang dihapus petugas kota.

Di tengah gelisah metropolitan inilah Zohran Kwame Mamdani—politikus 33 tahun, anggota Majelis Negara Bagian New York, sekaligus kandidat Wali Kota paling progresif sejak era Fiorello La Guardia—meluncurkan proposal radikal: pembekuan sewa, transportasi publik gratis, dan konvergensi kebijakan iklim dengan agenda keterjangkauan hidup.

Pengajuan itu langsung memecah ruang publik: bagi sebagian warga, ia nabi baru yang berani “menghijaukan” ekonomi; bagi lainnya, ia “sosialis dadakan” yang belum paham seluk‑beluk fiskal kota. Lembaran editorial New York Post bahkan menyebut gagasan rent freeze‑nya “bencana” yang akan “meninggalkan penyewa miskin justru tanpa atap”. 

Akar Diaspora & Dapur Intelektual

Putra dari pasangan cendekiawan Uganda‑India—Mahmood Mamdani dan sineas Mira Nair—Zohran tumbuh dalam rumah tangga tempat risalah Frantz Fanon bersisian dengan script film Salaam Bombay!. Lahir di Kampala, besar di New York, ia menyerap afrikaisme, sinema, dan politik kiri sejak usia remaja. Wikipedia boleh menuliskan tanggal lahirnya, tetapi tak ada entri yang sanggup menggambarkan bagaimana aroma masala dan kisah pengungsi Idi Amin di meja makan keluarga melebur menjadi bahan bakar politik antikolonial di kemudian hari. 

Identitas rangkap—Uganda, India, Queens—membentuk sensibilitas kosmopolit‐radikal Mamdani: penderitaan global selatan baginya bukan berita asing, melainkan kenangan genealogis. Para pengkritik menyebutnya “too woke”, tetapi bagi pendukungnya justru “terlalu sadar sejarah”.

Jalan Panjang Aktivisme: Dari Taksi hingga Gaza

Sebelum menjejak Albany, Zohran lebih dulu menjejak trotoar: memimpin door‑to‑door kampanye DSA di Astoria, ikut mogok makan bersama supir taksi yang menuntut restrukturisasi utang, hingga tidur di depan apartemen Chuck Schumer menuntut gencatan senjata Gaza 2023.

Aktivisme hunger‑strike itu menempatkannya pada garis api isu Palestina. Ketika parlemen negara bagian merumuskan “Not on Our Dime Act”—RUU yang melarang yayasan nirlaba New York menyalur dana ke pemukiman ilegal Israel—Zohran berdiri di barisan terdepan, lengkap dengan poster “Stop Funding Apartheid”.

Mencuri Kursi di Albany

Tahun 2020, saat petahana Demokrat moderat Aravella Simotas merasa aman, Mamdani mengetuk 7 000 pintu di Queens dan meraih 56 % suara. Ia masuk Majelis dengan gelar rapuh: “anggota baru kurang pengalaman”. Komentarnya tentang kurikulum sejarah rasial membuat redaksi Fox News menudingnya “aktivis, bukan legislator”. Guyonan lama: “Jika Anda ingin bicara, jadilah komentator; kalau mau bekerja, jadilah pembuat UU.”

Empat tahun kemudian, kritik itu dipakai lagi—oleh Andrew Cuomo, rivalnya di panggung debat Wali Kota: “Dia cuma punya tiga RUU yang lolos!” Narasi ini lantas dibongkar oleh City & State: memang benar hanya tiga UU, tetapi ide‑idenya—seperti pilot bus gratis di lima borough—justru diadopsi langsung dalam anggaran MTA.

Legislatif dalam Angka vs Legislatif sebagai Tekanan

Mamdani sering menyitir teori Antonio Gramsci: “negara bukan cuma rumah hukum, ia medan hegemoni.” Karenanya, walau catatan legislasi tipis, ia menilai ukuran keberhasilan adalah seberapa jauh wacana publik bergeser. Contoh konkret: dari “mustahil” menjadi “rasional” menyoal bus gratis, atau dari “radikal” menjadi “terdiskusikan” soal upah minimum USD 30/jam.

Di sinilah peran teknik “propaganda by the deed” ala gerakan anarkis abad 19 mendapatkan format modern: aksi mogok makan, protes massal, dan retorika tajam di sosial media berfungsi menagih liputan—yang kemudian menekan parlemen.

Agenda Perumahan: Pembekuan, Pembangunan, dan Konflik

Proposisi pembekuan sewa Mamdani memang terdengar sederhana: nol kenaikan untuk unit rent‑stabilized, plus hukuman bagi “landlord nakal”. Tetapi New York Post memotret sisi lain: potensi landlord kecil bangkrut, stok apartemen menipis, dan pasar sewa bebas justru melambung.

Di luar pembekuan, ia menjanjikan 200 000 unit hunian terjangkau dalam satu dekade—mirip “Five‑Year Plan” Uni Soviet versi Chelsea‑Astoria—didanai obligasi kota hijau dan pajak spekulasi lahan.

Queens, terutama Jamaica, mencatat maraknya penipuan akta rumah. Kantor baru ini dirancang menjadi “ombudsman” pemilik rumah kulit hitam‑Latinx. Di sinilah Mamdani menafsirkan urbanisme bukan sebatas beton, melainkan relasi rasial.

Iklim dan Transportasi: Menjahit Isu dengan Harga Hidup

Apa hubungan atap bocor di Astoria dengan panel surya di atap sekolah? Mamdani menjawab: “keterjangkauan.” Green New Deal lokal tidak terpisah dari dompet, melainkan menyatu: retrofit bangunan publik menurunkan tagihan energi; bus bebas tarif memperkecil pengeluaran warga. Narasi inilah—“climate equals affordability”—yang diberitakan The Guardian sebagai kunci lonjakan elektabilitasnya. 

Model kebijakan itu menggandeng dua kubu: aktivis iklim dan ibu‑ibu pekerja hotel yang kesal pada tarif subway. Ketika bus gratis satu rute di tiap borough terbukti meningkatkan omzet UMKM koridor tersebut, Mamdani memakai data itu sebagai “kartu statistik” menolak kritik “utopis”.

Panggung Wali Kota 2025: Debat, Drama, dan Diskursus

Pada debat pertama, Cuomo menyerang riwayat legislasi Mamdani; pada debat ketiga, Senator Kirsten Gillibrand terpeleset menyebutnya “pendukung jihad global”—komentar yang kemudian ia ralat dan minta maaf.

Ironisnya, insiden itu justru melambungkan nama Mamdani di media sosial: tagar #GillibrandApologize sempat trending. Banyak pemilih muda melihatnya sebagai bukti establishment resah menghadapi kandidat pasca‑Sanders era‑baru—muda, sosialis, diaspora, Muslim.

Kontroversi Israel–Palestina: Politik Luar Negeri rasa Domestic

Menolak resolusi tahunan yang memuji Israel lengkap dengan frasa “cahaya bagi bangsa‐bangsa” dianggap sebagian kolega Demokrat sebagai “kurang sensitif”. Namun Mamdani berdalih, narasi itu “tak sesuai fakta lapangan Gaza”. Pihak konservatif menudingnya antisemit; organisasi Jews for Racial & Economic Justice justru membelanya, menilai kritik itu diplintir. 

RUU Not on Our Dime! miliknya memperluas definisi “charity fraud” agar mencakup donasi ke permukiman ilegal. Kritik pun datang: “Mengapa New York harus mengurusi kebijakan luar negeri?” Mamdani menjawab lugas, “Karena uang warga New York ikut membiayai kejahatan perang.” 

Ideologi & Strategi: Sosialisme Demokratis ala Queens

Bagi Mamdani, sosialisme demokratis bukan slogan; ia metode—memakai lembaga liberal (pemilu, parlemen) untuk memajukan program redistributif. Ia kerap mengutip Bernie Sanders soal “kelas pekerja multirasial”, lantas menambahkan bumbu Fanon: “dekolonisasi juga soal perumahan di Bronx.”

Pragmatisme? Ia mengaku sering belajar dari Movimiento de los Sin Techo Brasil dan Barcelona en Comú—koalisi warga biasa yang merebut balai kota lewat gotong royong digital. Di kampanyenya, phonebank dikelola relawan diaspora Bangladesh, sementara field canvass dipimpin ibu‑ibu Latinx.

Hambatan Struktural: Finansialisasi, Machine Politics, dan Media

New York adalah kota di mana dana kampanye menganak sungai ke dompet konsultan. Walau ada program public matching funds, kandidat tetap memerlukan jaringan donor. Mamdani mengandalkan sumbangan rata‑rata USD 42; namun Super PAC pro‑real‑estate menayangkan iklan TV bertajuk “Rent Freeze = Rat Heaven”. Daya tembus layar masih mahal.

Di sisi lain, machine politics Queens—koalisi klub demokrasi lokal, serikat buruh moderat, dan bisnis konstruksi—merasa terancam. Narasi “radikal” dijual untuk menakut‑nakuti pemilih pensiunan. Ini tantangan elektoral dan ideologis.

Konvergensi Gerakan: Warga, Serikat, dan Pasar

Meski kerap diberi label “kiri murni”, Mamdani lihai bernegosiasi; ia pernah memenangkan dukungan Transit Workers Union untuk pilot bus gratis—terobosan karena serikat itu biasanya pragmatis. Strategi: menyelaraskan tuntutan pekerja (upah, keamanan kerja) dengan visi publik (transportasi murah).

Pola serupa ia coba ke pasar properti: menawarkan insentif pajak bagi tuan tanah kecil yang bersedia mengonversi unit kosong ke skema sewa sosial. Bagi aktivis anti‑penggusuran, ini “kendur”; bagi ekonom urban, ini kompromi penting.

Politik Narasi: “Keterjangkauan” sebagai Kata Kunci

Kampanye Mamdani mem‐frame segala isu—iklim, gender, ras, bahkan Gaza—dalam kata “affordability”. Logika sederhana: jika rakyat tak mampu bayar sewa, tiket subway, atau insulin, maka demokrasi cuma dekorasi. Ia menulis: “Keadilan iklim harus terasa di kantong warga sebelum terasa di grafik IPCC.” 

Strategi itu bukan sekadar retorika; riset internal timnya menunjukkan “keterjangkauan” adalah isu lintas ras paling dominan di polling pasca‑pandemi.

Kritik Internal Kiri: Cukup Radikal atau Terlalu Moderat?

Di kubu progresif sendiri, ada suara sumbang: mengapa mengejar kursi Wali Kota, bukan membangun kooperasi tanah? Mengapa menghitung cost‑benefit bus gratis ketimbang menasionalisasi Uber?

Mamdani menanggapi dengan analogi tangga: “Sosialisme demokratis adalah tangga, bukan elevator. Anda tak bisa loncat dari anak tangga pertama ke atap.” Kritik tetap ada—tetapi dibanding figur kiri lain, ia relatif piawai merangkul spektrum “reformis” dan “revolusioner”.

Prospek Pemilu November & Efek Domino Nasional

Jika memenangkan Balai Kota, Mamdani berpotensi menjadi wali kota DSA pertama di metropolis AS terbesar. Pesaing Republikan lemah; ancaman utamanya justru “Demokrat moderat putar balik” ala Bloombergian yang bisa melancarkan kampanye independent expenditure puluhan juta dolar.

Dampak nasional? Partai Demokrat mungkin terbelah: sayap Biden‑Harris merasa perlu menyeimbangkan; sayap “Squad” akan bersorak. Bahkan Partai Buruh Inggris ikut memonitor—mencari inspirasi kampanye iklim‑biaya hidup.

Kota & Manusia dalam Dialektika

Zohran Mamdani mencerminkan dialektika klasik kota modern: pusat finansial global yang juga ladang subur gerakan kiri. Di jalanan New York, sejarah sering berputar: sosialisme sewing‑circle abad 19, bohemian Greenwich Village 1930‑an, Occupy Wall Street 2011. Kini, musim panas 2025, panggung itu diisi anak imigran yang percaya pembekuan sewa bisa menekan emisi karbon.

Apakah cita itu akan pecah di tembok lobi real‑estate? Atau justru membuka jalur baru bagi “solidaritas akar rumput” yang ia kumandangkan? Jawabannya belum final. Tetapi, seperti kata Mamdani di akhir debat ketiga:

“Saya tak berjanji menjadi wali kota yang sempurna; saya berjanji membuka pintu Balai Kota paling lebar agar gerakan rakyat‎—bukan saya—yang menulis bab berikutnya New York.” (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Promo Spesial!

Iklan

Beriklan di sini. Diskon 50% hari ini!