Noam Chomsky: How the World Work?

Angin subuh mengibaskan tirai kota.
Langit masih kelabu, tetapi kata‑kata sudah mengetuk.
Di warung pojok, kopi mengepul tanpa bicara.
Seorang pembaca koran membuka halaman dunia.
Baris demi baris, ketakutan dirajut dalam berita.
Aku ingat Noam Chomsky setiap kali huruf‑huruf menjerit.
Ia berkata, bahasa adalah senjata pertama.
Bukan bedil, bukan bom, melainkan tanda yang berbisik.
Dan aku percaya, karena propaganda lebih sunyi daripada letusan.
Sunyi itu perlahan merasuki pikiran orang banyak.
Di jalanan, klakson berlomba menegakkan ego.
Suara besi itu juga sejenis tata bahasa.
Ia menata siapa boleh lewat, siapa mesti menunggu.
Chomsky menyebutnya tata kuasa yang tak terlihat.
Seno mungkin akan tertawa, mengisap rokok, lalu mencatat.
Karena di balik asap ada cerita yang lebih tebal.
Cerita tentang bagaimana dunia bekerja diam‑diam.
Tanpa suara, tetapi dengan gema yang panjang.
Gema itu menubruk papan reklame, memantul ke jendela kaca.
Ia ribut tetapi sekaligus membuat kita terpejam.
Seorang ibu menuntun anak ke sekolah negeri.
Di kantongnya, uang saku tipis seperti harapan.
Namun kurikulum tebal dengan ideologi halus.
Di kelas, Pancasila diulang seperti doa.
Tak ada yang salah dengan doa, kata gurunya.
Tapi pilihan kata selalu memilih siapa yang diam.
Chomsky menuliskan itu dalam esai tentang kebisuan.
Ia mendengar kesunyian sebagai bentuk kebisingan lain.
Seno akan menambahkan, kesunyian itu berdebu di rak perpustakaan.
Dan debu adalah waktu yang lupa disapu.
Di kedai fotokopi kampus, teori postmodern dijilid hitam‑putih.
Suara mesin seret seperti batuk tua.
Mahasiswa menunggu dengan tatapan gundah gulana.
Katanya, gelar bukan lagi jaminan pekerjaan.
Aku tersenyum getir, karena pekerjaan hanyalah kata lain bagi keterikatan.
Chomsky menyebut sistem pasar sebagai penjara tanpa kamar.
Temboknya dibuat dari keterpaksaan memilih.
Di luar, hujan turun mengguyur helm‑helm plastik.
Air mengalir ke selokan, membawa sisa gorengan pasar.
Begitulah makroekonomi mengalir menyangga omong kosong di televisi.
Televisi masih menyalakan talk show jam prime time.
Pembawa acaranya tertawa dengan gigi putih sponsoran.
Di belakang layar, produser menghitung angka rating.
Angka itu sakral, lebih sakral dari ayat ruhani.
Chomsky akan berkisah tentang Manufacturing Consent.
Seno akan menulisnya sebagai kisah cinta yang retak.
Karena rakyat jatuh cinta pada layar yang memanipulasi cermin.
Cermin itulah yang membuat kita lupa wajah sendiri.
Dan lupa wajah sendiri adalah awal dari tunduk.
Tunduk, kata orang bijak, lebih mematikan dari tembakan.
Di halte busway, seorang kakek berdehem menunggu kartu elektroniknya berfungsi.
Teknologi menjanjikan kemudahan, tetapi juga memilih siapa yang layak masuk.
Chomsky menengarai algoritma sebagai penjaga gerbang baru.
Ia tak memakai seragam, tetapi ia menolak tanpa senyum.
Aku menulis catatan kecil tentang wajah algoritma yang licin.
Seno pasti akan membubuhkan aroma tembakau di lembar itu.
Karena tembakau mengingatkan pada masa kecil, pada kesederhanaan yang nyaris punah.
Dan setiap masa kecil adalah bahasa yang belum terkorupsi.
Bahasa polos, kata Chomsky, adalah fondasi garis tipis kemanusiaan.
Tetapi garis itu dihapus perlahan oleh iklan berwarna neon.
Di sebuah ruang rapat, pejabat memuji angka pertumbuhan.
Grafik naik adalah mantra publik modern.
Tak ada yang bertanya dari mana angka itu menetes.
Seperti hujan buatan, ia jatuh tanpa awan.
Chomsky akan bicara soal statistik sebagai dongeng legitimasi.
Seno akan menambahkan soundtrack kecapi di latar.
Karena dongeng selalu diiringi musik, agar mudah tertelan.
Sedang kritik berdiri sendiri, tanpa panggung, tanpa lampu.
Cahaya hanya datang dari keyakinan bahwa kata‑kata bisa menggulingkan meja.
Meja itu berat, terbuat dari birokrasi solid.
Aku berjalan lewat gang sempit, mencatat aroma got yang jujur.
Dalam bau amis, kebenaran sering bersembunyi.
Chomsky mencari kebenaran di arsip rahasia pemerintah.
Seno mencarinya di balik selimut malam Jakarta.
Keduanya paham, kebenaran suka sembunyi di tempat tak terduga.
Namun publik diajar bersolek, menolak wajah asli.
Masker sosial diproduksi massal, bahkan sebelum pandemi.
Masker itu bernama eufemisme, sinonim bagi kekerasan yang disamarkan.
Ketika bom jatuh, media menyebutnya operasi presisi.
Ketika korban berteriak, mikrofon memilih bisu.
Hari berganti senja, langit menyalakan jingga yang murung.
Burung gereja berkerumun di kabel listrik, mematung seperti koma.
Koma adalah jeda, bukan titik.
Dan dunia memilih koma agar narasi bisa diteruskan.
Chomsky mengingatkan, tiada akhir kecuali kita menolak lanjutan.
Seno menuliskan, hidup adalah cerpen tanpa kata selesai.
Di kursi taman, pasangan muda menonton ponsel.
Cinta mereka tercatat dalam bentuk emoji kuning.
Tak ada tangan yang berkeringat memegang kertas surat.
Cinta, seperti berita, kini diukur dengan notifikasi.
Malam turun, lampu jalan memanjangkan bayangan trotoar.
Bayangan itu meniru langkahku dengan setia.
Aku bertanya pada bayangan, mengapa dunia bekerja.
Bayangan menjawab, karena cahaya tak pernah lelah.
Tapi cahaya pun bisa dipadamkan, bisikku.
Chomsky menulis, pemadaman paling efektif adalah distorsi.
Distorsi memecah putih menjadi spektrum tak harmonis.
Seno akan mengibaratkan distorsi sebagai gitar listrik patah senar.
Nada serak, tapi penonton tetap bertepuk.
Dan tepuk tangan itu menutup hari seperti noktah.
Tepuk tangan tidak selalu karena suka, kadang karena kebiasaan.
Seperti dunia yang terus bekerja bukan karena baik, tapi karena sudah telanjur.
Sudah telanjur dibuat seperti ini, sudah telanjur dijaga agar tak berubah.
Chomsky bilang: status quo bukan hukum alam, ia adalah keputusan elit.
Dan keputusan itu diambil dalam rapat tanpa publik, tanpa suara, tanpa jeda.
Sementara kita sibuk membubuhkan tanda suka di layar lima inci.
Seno mungkin akan menuliskannya dengan ironi: “Manusia modern adalah makhluk tap yang tak sadar sedang ditap balik.”
Ia akan menyelipkan tawa dalam sunyi, karena tawa adalah bentuk perlawanan paling sederhana.
Tawa yang tahu bahwa kenyataan tak bisa diubah, tapi bisa ditelanjangi.
Dan dalam telanjang itu, manusia belajar mengingat malu.
Di perempatan, pengemis menengadah, mobil mewah menunduk.
Kaca film memisahkan dua dunia dalam satu semesta.
Seorang sopir memutar volume musik agar tak dengar ketukan jendela.
Musik keras adalah alibi dari kebisuan hati.
Chomsky mencatatnya dalam analisis politik linguistik.
Bahwa bahasa membentuk kekuasaan, dan diam adalah alatnya.
Seno akan memotret adegan itu lewat jendela metromini.
Lalu menyisipkan catatan kecil: dunia ini dibagi antara mereka yang bisa melihat dan mereka yang pura-pura buta.
Dan kebutaan paling menyakitkan adalah yang dipilih secara sadar.
Karena ia melahirkan kekuasaan tanpa tentara.
Aku berjalan di antara gedung-gedung tinggi yang seperti puisi tanpa isi.
Gedung itu berdiri karena tanah dijual, dan tanah dijual karena sejarah dihapus.
Sejarah disederhanakan menjadi monumen dan nama jalan.
Chomsky menyentuh sejarah seperti bedah mayat.
Ia membuka luka-luka imperialisme dengan jarum kata-kata.
Dan luka itu, meski tak berdarah, menganga dalam kurikulum sekolah.
Seno mungkin akan membawa kita ke ruang arsip, ke map-map tua yang sudah menguning.
Di sana, sejarah berbisik lirih: aku pernah ditulis ulang oleh penguasa.
Dan penguasa itu kini duduk dalam buku pelajaran sebagai pahlawan.
Padahal tangannya masih bau tinta sensor.
Sore mulai redup, dan kota menyalakan lampu-lampu.
Lampu itu tak memberi terang, hanya ilusi terang.
Seperti media yang tak memberi informasi, hanya memberi arah.
Arah itu dibentuk oleh mereka yang membayar lebih.
Chomsky menyebutnya kepemilikan media sebagai bentuk otoritarianisme halus.
Tak perlu membungkam wartawan, cukup bayar pemilik medianya.
Seno akan menyusup ke ruang redaksi, mengendus ketakutan yang dipoles menjadi etika.
Ketakutan itu bukan karena senjata, tapi karena cicilan.
Dan cicilan membuat banyak jurnalis kehilangan kata-kata.
Kata-kata itu pun jatuh ke jalanan, diambil anak-anak punk dan dijadikan lagu.
Lagu-lagu jalanan lebih jujur daripada siaran pers kementerian.
Karena mereka tidak takut kehilangan proyek.
Chomsky bilang: ketakutan adalah metode paling elegan untuk mengatur warga negara.
Seno menambahkan: ketakutan membuat puisi jadi berita dan berita jadi dongeng.
Lalu kita bertanya-tanya, mengapa semua terasa datar dan aman?
Karena dunia memang didesain agar terlihat bekerja, meski hanya di permukaan.
Permukaan itu mengkilap, seperti etalase yang tak pernah memberi apa-apa.
Di balik kaca, semua hanya ilusi: demokrasi, keadilan, bahkan harapan.
Dan Noam Chomsky duduk di perpustakaannya, mengunyah fakta-fakta yang ditolak publik.
Ia menulis seperti mesin tik yang tidak pernah tidur.
Di negeri ini, mesin tik diganti dengan sensor suara.
Bukan karena kita kekurangan tinta, tapi karena takut pada bunyinya.
Bunyi itu menggetarkan meja parlemen, membuat tangan-tangan gemetar.
Namun rakyat tak pernah dengar getaran itu, karena disamarkan oleh jingle iklan.
Jingle yang berbunyi “kemajuan”, “pertumbuhan”, “stabilitas”.
Chomsky akan menertawai kata-kata itu seperti menertawai kamus militer.
Kamus yang mendefinisikan bom sebagai “alat pembebasan”.
Seno akan menuliskan monolog seorang tukang ledeng yang mendengar ledakan sebagai hujan berkarat.
Karena dunia, katanya, telah kehilangan cara membedakan air dan api.
Dan ketika air terasa panas, kita mulai percaya bahwa neraka bisa disalurkan lewat keran.
Di lorong rumah sakit, pasien menunggu dengan nomor antrean.
Nomor itu lebih pasti daripada diagnosis.
Seorang anak batuk sejak pagi, tapi dokter belum datang.
Birokrasi lebih cepat menghitung anggaran daripada denyut nadi.
Chomsky tahu, sistem dibuat bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menyeleksi.
Seleksi itu tidak adil, karena ia menyaring berdasarkan dompet, bukan gejala.
Seno akan menggambar anak itu dalam sketsa hitam putih.
Sketsanya tak punya mata, karena harapan telah diganti oleh biaya administrasi.
Dan bila harapan punya tarif, maka kemanusiaan adalah utang yang tak bisa dilunasi.
Kita hidup dalam sistem yang menganggap sehat sebagai hak istimewa.
Di sudut warung kecil, seorang kakek menonton berita tanpa suara.
Teks berjalan menyebut perang sebagai “ketegangan”.
Padahal di balik kata itu, anak-anak kehilangan ibu.
Tapi siapa peduli? Kata sudah dimanipulasi sampai tak lagi menyakitkan.
Chomsky menulis panjang lebar soal eufemisme.
Bahwa kekuasaan tak butuh senapan jika bisa mengendalikan kamus.
Seno akan menuliskan cerpen tentang kamus yang dijaga oleh polisi.
Karena arti kata “rakyat” sudah dipatenkan oleh negara.
Dan ketika rakyat protes, mereka dituduh menyalahartikan diri sendiri.
Sebab dalam dunia yang bekerja seperti ini, definisi adalah penjara tak terlihat.
Aku berjalan ke pasar malam yang penuh lampu kelap-kelip.
Anak-anak tertawa mengejar balon, ayah mereka sibuk menghitung harga minyak goreng.
Inflasi adalah kata yang diajarkan di televisi, tapi tak pernah dimengerti.
Karena yang mereka tahu, uang seratus ribu kini cuma bisa beli dua plastik belanja.
Chomsky menyebut ekonomi global sebagai sistem penghisapan dengan wajah bersahabat.
Ia seperti badut yang tertawa sambil mencuri dompetmu.
Seno mungkin akan menuliskannya dalam catatan harian seorang penjual cilok.
Catatan itu berkata: “Harga tepung naik, tapi Tuhan tidak marah.”
Karena Tuhan pun kini digambarkan dalam diagram APBN.
Dan ibadah menjadi pelipur lara ketika subsidi dicabut.
Lampu-lampu jalan menyala, tapi bayangan tetap tak bisa ditangkap.
Bayangan itu milik kita semua: harapan yang tak sempat dibesarkan.
Chomsky menulis harapan bukan sebagai mimpi, tapi sebagai strategi bertahan.
Karena manusia tanpa harapan seperti komputer tanpa sinyal.
Ia menyala, tapi tak bisa memuat halaman.
Seno akan menyisipkan kisah seorang teknisi warnet yang membaca filsafat Yunani.
Katanya, Plato lebih jujur daripada sinetron jam sembilan malam.
Dan Aristoteles tidak pernah membicarakan rating, hanya etika.
Tapi sekarang, bahkan etika pun diukur dengan jumlah subscriber.
Dan dunia tetap bekerja, karena kita terus menonton sambil pura-pura berpikir.
Seorang anak menyusun lego di ruang tamu.
Ia tidak tahu bahwa mainannya adalah miniatur tatanan sosial.
Balok-balok warna-warni itu punya hierarki terselubung.
Yang besar di bawah, yang kecil di atas, tapi semua harus seimbang.
Chomsky akan berkata: keseimbangan semacam itu adalah ilusi struktural.
Ilusi yang dibangun agar sistem terlihat alami, padahal rapuh sejak fondasi.
Seno mungkin akan mengajak anak itu naik ke loteng dan membaca pasal-pasal konstitusi.
Ia akan berkata pelan, “Nak, hukum adalah bangunan lain yang dibangun dari kata-kata.”
Dan kata-kata bisa dikutuk atau dimuliakan, tergantung siapa yang menyusunnya.
Begitulah dunia ini bekerja, lewat struktur yang tampak stabil tapi terus diguncang.
Di kantor kelurahan, warga antre membuat surat keterangan miskin.
Formulirnya panjang, pertanyaannya seperti interogasi.
Seakan menjadi miskin adalah kejahatan yang harus dibuktikan.
Chomsky akan menyebut ini sebagai kekerasan administratif.
Sebuah bentuk dominasi yang tidak terlihat, tapi menyakitkan.
Seno akan menuliskannya sebagai kisah seorang bapak yang malu pada anaknya.
Bukan karena tak mampu beli sepatu, tapi karena diminta fotokopi KTP lima lembar.
Dan tiap lembar itu seperti penegasan bahwa kemiskinan harus didokumentasikan.
Padahal kemiskinan bukan fakta pribadi, melainkan hasil kebijakan.
Namun kebijakan selalu bersembunyi di balik frasa “keterbatasan anggaran”.
Di stasiun, pengumuman terus mengulang: “Kereta akan segera tiba.”
Tapi kereta tidak datang-datang.
Seorang ibu tua mulai gelisah, karena janji adalah waktu yang menipu.
Chomsky akan mencatat bahwa pengulangan adalah teknik pembiusan.
Bahkan kebohongan bisa terdengar masuk akal jika cukup sering diulang.
Seno akan membuat metafora: bahwa negara ini seperti kereta yang selalu menjanjikan kedatangan tapi tak pernah berhenti di peron rakyat.
Dan para penumpangnya terus menunggu sambil menggigil.
Gigil karena harapan, bukan karena angin.
Angin tak pernah membekukan seperti kecewa yang dijanjikan berulang kali.
Dan kecewa yang terus diulang menjadi kebiasaan nasional.
Di kampus, seorang dosen menjelaskan pentingnya teori pembangunan.
Tapi di luar jendela, tukang parkir sudah kuliah di universitas kenyataan.
Ia tahu bahwa teori tak bisa menahan hujan, atau membeli beras.
Chomsky pernah menyindir akademia sebagai menara gading yang dibangun dengan anggaran publik tapi tak pernah menyapa publik.
Seno akan menuliskan kisah dua orang: satu punya gelar, satu punya lapar.
Dan gelar tak pernah bisa mengenyangkan lapar, kecuali lapar akan status.
Status itulah yang kini dijual dalam brosur beasiswa, akreditasi, dan seminar.
Semua sibuk mendesain masa depan, tapi lupa mengakui masa kini sebagai kegagalan.
Karena keberhasilan paling aman adalah keberhasilan yang diceritakan di powerpoint.
Malam jatuh seperti kantuk yang dipaksa berjaga.
Lampu-lampu kota memantulkan keraguan ke aspal basah.
Chomsky menyukai malam, karena di situlah propaganda istirahat sejenak.
Seno juga menyukai malam, karena sunyi lebih jujur daripada wacana.
Aku duduk di balkon, menyalakan radio tua yang hanya bisa menangkap siaran AM.
Seorang penyiar membacakan puisi Chairil, diselingi iklan deterjen.
Kontras yang aneh, tapi begitulah kehidupan sekarang.
Puisi dijadikan jeda dari pasar, bukan perlawanan terhadapnya.
Dan dalam jeda itu, kita merasa sedang berpikir, padahal hanya beristirahat dari konsumsi.
Pikiran yang tak diolah hanya jadi dekorasi, bukan pembebasan.
Di televisi pagi, seorang motivator berteriak tentang sukses.
Sukses diukur dari rumah dua lantai, mobil dua garasi, dan senyum dua baris.
Tak ada yang menyebut soal waktu tidur yang dicuri atau relasi sosial yang lapuk.
Chomsky menulis bahwa ide sukses adalah konstruksi kapital yang dipoles hingga menyilaukan.
Seno akan menuliskannya sebagai dialog dua burung pipit di atap rumah subsidi.
Burung pertama bertanya: “Mengapa manusia terus bekerja tanpa tahu untuk apa?”
Burung kedua menjawab: “Karena mereka takut miskin, padahal miskin adalah awal dari jujur.”
Tapi kejujuran tak masuk dalam indikator pembangunan manusia.
Yang dihitung hanya panjang jalan, jumlah investor, dan kecepatan sinyal.
Padahal sinyal yang kuat tak menjamin percakapan yang bermakna.
Seorang bocah menjual tisu di perempatan.
Ia mengangkat tangannya setiap kali lampu merah, menunduk saat lampu hijau.
Dunia mengajarinya untuk membaca warna sebagai tanda nasib.
Chomsky akan menyebutnya sebagai struktur simbolik yang menormalisasi ketimpangan.
Seno akan menuliskannya dalam fragmen puisi di bawah rembulan yang malu-malu.
Puisi yang hanya dibacakan oleh pengendara motor yang terlalu lelah untuk berkata “tidak.”
Karena “tidak” kini dianggap lebih kasar daripada ketidakpedulian itu sendiri.
Dan di balik kaca helm, mata orang-orang menyimpan air yang tak jadi tumpah.
Air mata yang diajari menahan karena empati dianggap beban.
Beban yang tak bisa diuangkan, tak bisa dilaporkan ke kantor pusat.
Di ruang rapat pemerintah, sebuah presentasi dimulai dengan kalimat: “Visi 2045.”
Tapi tak ada yang bertanya tentang hari ini.
Hari ini yang penuh antrean, potongan gaji, dan banjir data tanpa makna.
Chomsky akan menulisnya sebagai penundaan tanggung jawab atas nama impian.
Seno akan menuliskannya dalam catatan harian seorang pegawai yang kehilangan anaknya karena demam berdarah.
Karena nyamuk tak bisa ditunda ke tahun depan.
Dan kematian tak bisa diajak negosiasi seperti proyek perumahan.
Tapi angka-angka lebih penting dari nyawa jika mereka cukup besar.
Semakin besar angka, semakin kecil empati.
Dan empati adalah mata uang yang tak laku dalam tender nasional.
Aku melewati pusat perbelanjaan yang sepi pengunjung.
Diskon digantung seperti bendera negara yang setengah tiang.
Para kasir berdiri seperti patung, menunggu transaksi yang tak datang.
Chomsky menulis tentang pasar sebagai teater keputusasaan kolektif.
Seno menuliskannya sebagai naskah absurd yang dipentaskan setiap akhir pekan.
Di mana manusia pura-pura butuh barang yang tak mereka perlukan.
Karena kebutuhan telah dibentuk bukan dari realita, tapi dari kekurangan buatan.
Dan kekurangan buatan itu ditanam sejak kecil, lewat kartun, sinetron, dan tokoh pahlawan yang bisa membeli semuanya.
Sementara pahlawan nyata tak bisa membeli obat flu.
Dan dunia terus bekerja, seperti roda yang berputar bukan karena ingin, tapi karena didorong mesin besar bernama kepentingan.
Di masjid, suara azan terdengar di sela-sela klakson.
Suara Tuhan harus bersaing dengan bunyi cicilan.
Chomsky tak menulis tentang Tuhan, tapi ia tahu bahasa agama bisa jadi alat negara.
Seno akan menulisnya dalam kisah imam yang juga tukang servis televisi.
Ia tahu, kadang tivi lebih ditonton daripada khutbah.
Dan layar lebih dipercaya daripada mimbar.
Karena di layar ada warna, ada gerak, dan ada selebritas.
Sementara mimbar kini berdiri di antara politisi yang pandai menyebut ayat tapi lupa makna.
Dan makna, seperti kebenaran, selalu lebih samar daripada suara yang mengucapkannya.
Di rumah-rumah petak, listrik menyala seperti napas yang tertahan.
Televisi menayangkan kuis berhadiah lemari es.
Orang-orang tertawa karena pertanyaan yang mudah, bukan karena jawaban yang berarti.
Chomsky menulis bahwa hiburan massa adalah alat pengalihan struktural.
Seno akan menuliskannya sebagai dongeng tentang raja yang membagi kue dari layar kaca.
Rakyat bertepuk tangan, walau tak mencicipi apa pun.
Karena rasa bisa dibayangkan, dan kenyang bisa ditunda oleh optimisme.
Optimisme menjadi alat ampuh yang dijual dalam iklan asuransi dan seminar motivasi.
Padahal dunia ini tak pernah adil, bahkan kepada janji.
Janji yang dikemas dalam brosur, dibungkus jargon, lalu ditinggal di meja resepsionis.
Di pabrik-pabrik, mesin bekerja seperti doa yang diulang tanpa jeda.
Buruh tak banyak bicara, hanya mengikuti ritme produksi.
Ritme yang lebih sakral dari jam shalat.
Chomsky akan menyebut ini sebagai alienasi dalam struktur industri.
Seno akan mencatat percakapan senyap antara jari dan baut.
Karena suara manusia tenggelam oleh deru mesin.
Dan hak bicara telah diganti dengan upah minimum.
Upah yang cukup untuk bertahan, tapi tak cukup untuk bermimpi.
Sebab mimpi dianggap berbahaya dalam sistem yang ingin semua tetap pada tempatnya.
Dan tempat itu bukan dipilih, melainkan ditentukan oleh kartu keluarga dan ijazah terakhir.
Di desa yang jauh, sebuah sekolah berdiri dengan cat yang mulai pudar.
Guru mengajar sambil sesekali menahan batuk.
Anak-anak duduk di kursi yang sudah rapuh, tetapi tetap menulis.
Mereka menulis bukan karena disuruh, tapi karena percaya pada kemungkinan.
Chomsky percaya pendidikan bisa menjadi alat pembebasan, jika tak dibajak negara.
Seno akan menuliskannya sebagai surat dari guru kepada murid masa depan.
“Jangan percaya semua buku, tapi cintailah membaca.”
Karena cinta membaca lebih langka daripada kurikulum yang berganti setiap tahun.
Dan dalam setiap buku, ada dunia yang lebih jujur dari dunia nyata.
Dunia yang bekerja tidak berdasarkan utang luar negeri atau rapat komisi.
Malam merangkak masuk lewat celah jendela kos-kosan.
Mahasiswa merapikan catatan kuliah yang tertinggal debu.
Di luar, suara knalpot menggaung seperti tanya yang tak dijawab.
Chomsky mungkin sedang membaca laporan Pentagon, sambil mencatat kejanggalan kata.
Seno mungkin sedang menulis cerpen tentang pemuda yang kehilangan aksara.
Karena kehilangan aksara berarti kehilangan cara untuk melawan.
Dan perlawanan tak selalu dalam bentuk demonstrasi, kadang dalam bentuk tidak tertawa pada lelucon negara.
Negara yang sering salah, tapi selalu ingin terlihat benar.
Karena kebenaran telah dibentuk seperti logo: mudah diingat, sulit disangkal.
Aku menatap langit malam, mencari bintang tapi yang terlihat hanya polusi.
Polusi visual, polusi suara, polusi batin.
Dunia terus bekerja, meski tak jelas siapa yang menghidupkan mesinnya.
Chomsky tahu jawabannya: perusahaan, negara, dan propaganda.
Seno tidak menjawab, hanya memberi catatan kaki berbunyi: “Ikuti jejak uang.”
Jejak uang lebih jujur dari biografi pejabat.
Dan uang, seperti air, selalu mencari jalan yang paling mudah.
Jalan itu biasanya tidak melalui rakyat.
Rakyat hanya berdiri di pinggir, menonton arus yang tak pernah bisa mereka sentuh.
Karena arus itu terlalu deras, dan kaki mereka terlalu lelah.
Seorang penyair tua menyalakan lilin di kamar kos sempitnya.
Listrik padam, tapi ia tetap menulis dengan cahaya seadanya.
Katanya, cahaya bisa dipadamkan negara, tapi tidak imajinasi.
Chomsky mungkin akan tersenyum, karena penyair adalah anomali dalam dunia yang bekerja untuk memadamkan makna.
Seno akan menuliskannya dalam cerita pendek lima halaman tanpa titik.
Karena dunia ini kadang tak butuh titik, hanya koma yang tak kunjung berhenti.
Penyair itu menulis bukan untuk dibaca, tapi untuk mengingat bahwa ia masih manusia.
Karena manusia yang berhenti menulis telah menyerah pada mesin yang bekerja tanpa rasa.
Dan rasa adalah sesuatu yang kini dianggap beban dalam sistem.
Beban karena ia tak bisa dikalkulasi, tak bisa diukur, tak bisa dijadikan dasar kebijakan.
Di pusat kota, gedung pencakar langit menjulang seperti arogansi.
Lampunya menyala semalaman, meski banyak ruangan kosong.
Chomsky melihat itu sebagai simbol surplus yang menyamar sebagai kebutuhan.
Seno akan menggambarkannya sebagai jari telunjuk yang menunjuk langit tapi lupa bumi.
Gedung itu dibangun untuk siapa? Untuk siapa kursi-kursi rapat itu dipasang?
Sementara di kaki lima, orang antre nasi bungkus.
Mereka tidak pernah diundang ke rapat tentang mereka.
Karena yang dibicarakan bukan mereka, tapi angka-angka yang menjelaskan kenapa mereka harus tetap begitu.
Angka yang disusun dalam slide presentasi, diucapkan dengan senyum.
Senyum yang diajarkan dalam pelatihan komunikasi publik, bukan dari empati.
Di penjara, seorang tahanan politik menulis puisi di balik sobekan buku primbon.
Ia tahu bahwa kata-kata bisa menyeberangi tembok lebih cepat dari surat resmi.
Chomsky menulis bahwa kebebasan berbicara hanya ada jika ia diuji.
Dan bila bicara adalah kemewahan, maka diam adalah ketakutan yang dilembagakan.
Seno akan menuliskan potret laki-laki itu dengan latar langit yang sempit.
Langit yang hanya selebar jeruji besi, tapi cukup untuk menyisipkan mimpi.
Karena mimpi tidak bisa dipenjara, walau tubuh bisa.
Dan tubuh yang bermimpi lebih hidup daripada negara yang bekerja tapi tak sadar untuk siapa.
Negara yang bekerja seperti robot, patuh pada protokol, tapi tak mengenal cinta.
Padahal cinta adalah alasan pertama mengapa manusia membentuk komunitas, sebelum jadi bangsa.
Aku duduk di bawah pohon waru, menulis dengan pensil yang tinggal separuh.
Di sekitarku, debu beterbangan bersama kenangan masa kecil.
Waktu ketika sekolah masih mengajarkan bahwa negara ini dibangun oleh semangat dan gotong royong.
Sekarang gotong royong berarti crowd-funding untuk biaya rumah sakit.
Dan semangat tinggal dalam spanduk Hari Kemerdekaan.
Chomsky akan mencatat bahwa simbol dipelihara untuk menutupi kenyataan.
Seno akan menulis sajak yang hanya berisi nama-nama jalan.
Jalan yang tak tahu lagi kepada siapa ia mengantarkan.
Karena kota ini tak lagi tahu ke mana harus tumbuh, hanya tahu bagaimana memperluas.
Dan perluasan tanpa arah adalah kerja tanpa jiwa.
Senja menyusup ke sela-sela kabel listrik dan tiang reklame.
Reklame berganti gambar setiap pekan, tapi selalu menjual rasa aman.
Rasa aman yang dikemas dalam aplikasi, asuransi, dan alarm rumah pintar.
Padahal rasa aman adalah hal paling primitif, yang mestinya tak perlu dibeli.
Chomsky tahu bahwa ketakutan adalah dagangan paling laku abad ini.
Seno tahu bahwa rasa takut membuat sastra menjadi lebih sunyi.
Karena suara sastrawan dibungkam bukan dengan senjata, tapi dengan diabaikan.
Dan pengabaian adalah cara paling elegan untuk membunuh perlahan.
Seperti bunga yang tidak disiram, ia mati tanpa jejak.
Begitulah sistem bekerja: bukan dengan kekerasan langsung, tapi dengan pelapukan batin.
Malam meneteskan embun ke trotoar yang retak.
Di sela ubin yang mengelupas, tumbuh rumput liar tanpa izin.
Rumput itu tak masuk rencana tata ruang kota, tapi tetap tumbuh.
Chomsky menyebut ini sebagai bentuk kecil perlawanan terhadap sistem yang seragam.
Seno akan menuliskannya sebagai kisah seorang tukang sol sepatu yang menyiram rumput tiap pagi.
Ia percaya bahwa yang liar tak selalu berbahaya, justru kadang lebih jujur.
Karena kota dibangun oleh orang-orang yang takut pada keacakan, tapi lupa bahwa hidup selalu acak.
Dan dalam keacakan itu, kadang tumbuh makna yang tak disangka.
Seperti puisi yang tak direncanakan, tapi muncul dari bunyi hujan di atap seng.
Bunyi yang tak bisa disensor, tak bisa dibungkam, karena terlalu alami untuk diatur.
Di terminal tua, sopir angkot memutar lagu dangdut lama.
Penumpang duduk diam, hanya angin yang bicara.
Tak ada yang tahu ke mana hidup membawa mereka, tapi semua tetap naik.
Chomsky menyebut ini sebagai kesadaran setengah, bukan kebodohan.
Seno akan menggambarkannya dalam narasi yang hening, seperti film bisu.
Karena kadang hidup tidak perlu narasi, hanya arah.
Tapi arah pun kini dikendalikan aplikasi, dan aplikasi dikendalikan investor.
Investor yang tak tahu jalan rusak, hanya tahu peta.
Dan peta dibuat tanpa lumpur, tanpa tanya, tanpa kaki yang betul-betul menapak.
Karena realitas telah disederhanakan menjadi koordinat dan algoritma.
Di dapur kontrakan, seorang ibu mengaduk air panas dan garam.
Ia bilang ini kuah ajaib agar anaknya bisa tidur.
Chomsky tidak pernah menulis soal ini, tapi ia pasti mengerti konteksnya.
Seno akan menuliskannya sebagai fragmen yang tak selesai, karena lapar memang tak pernah tuntas.
Dan rasa lapar telah jadi rutinitas yang dijinakkan dengan cinta.
Tapi cinta tak bisa mencetak sertifikat, tak bisa dipinjamkan di koperasi.
Cinta hanya berdetak dalam dada yang terbiasa menunda.
Menunda beli baju, menunda marah, menunda sedih.
Karena dunia ini terlalu cepat untuk air mata, tapi terlalu lambat untuk keadilan.
Dan keadilan, seperti cinta, terlalu sering diminta tapi jarang dijaga.
Aku melewati pasar subuh yang masih setengah gelap.
Suara teriakan pedagang memecah udara dingin seperti alarm manual.
Chomsky bilang bahasa adalah tindakan, dan pasar membuktikan itu setiap pagi.
Seno akan menuliskannya dalam dialog tanpa nama, antara cabai dan kalkulasi.
Harga naik bukan karena niat, tapi karena pola yang tak berpihak.
Pola itu diwariskan, dijaga, dikaji, tapi tak pernah diubah sungguh-sungguh.
Karena perubahan tak memberi suara dalam pemilu, stabilitaslah yang dihargai.
Dan stabilitas adalah nama lain dari ketakutan akan guncangan.
Padahal yang tak diguncang justru membatu.
Dan batu tak bisa merasakan apa pun, bahkan jika diinjak oleh sejarah.
Telepon genggam berdering di saku seorang satpam yang tertidur.
Suara notifikasi bangunkan tubuh yang terlalu lelah untuk bermimpi.
Mimpinya dipotong sif malam, diganti laporan keamanan yang tak pernah benar-benar aman.
Chomsky akan membaca laporan itu sebagai dokumen absurd dari negara pengawas.
Seno akan menuliskannya sebagai catatan pinggir dari lelaki yang hidupnya dikompres jadi jam kerja.
Karena kerja bukan lagi panggilan jiwa, tapi keharusan yang disodorkan dengan senyum HRD.
Dan dalam senyum itu, tersembunyi target yang tak manusiawi.
Target yang jika tak tercapai, akan memotong gaji, bukan menghapus rapat.
Karena rapat adalah ritual baru menggantikan doa, meski tak pernah menghasilkan kedamaian.
Pagi datang tanpa salam, hanya suara motor dan gerobak.
Burung-burung tidak lagi berkicau di pohon, tapi di sangkar yang digantung di balkon.
Chomsky akan mencatat bahwa kebebasan bisa dimodifikasi jadi dekorasi.
Seno akan menuliskannya sebagai kisah pendek burung yang tak pernah tahu langit.
Karena langit kini hanya cerita dari generasi sebelumnya.
Generasi yang mengenal awan sebagai pertanda, bukan sekadar filter cuaca.
Anak-anak tumbuh dengan game yang tak mengenal lumpur.
Sepatu bersih menjadi simbol kemajuan, padahal sejarah dibangun dari kaki yang kotor.
Kotor oleh tanah, oleh peluh, oleh keputusan-keputusan sulit yang tak masuk algoritma.
Dan algoritma tidak pernah bisa memahami pilihan yang lahir dari rasa takut kehilangan.
Di tempat ibadah, khotbah dibuka dengan ayat dan ditutup dengan program kerja.
Doa menjadi pengantar penggalangan dana pembangunan menara speaker.
Chomsky mungkin tidak menulis tentang Tuhan, tapi ia tahu kapan agama dipakai untuk menjaga sistem.
Seno akan menulisnya dalam percakapan diam antara sajadah dan laporan keuangan masjid.
Sebab spiritualitas yang dikalkulasi akan kehilangan getaran.
Dan getaran yang hilang akan digantikan oleh listrik dan pengeras suara.
Tapi pengeras suara tak bisa menyampaikan makna jika hati tak ikut berbicara.
Dan hati kadang terlalu lelah untuk bicara, karena sudah terlalu sering dipaksa percaya.
Percaya bahwa semuanya baik-baik saja, meski tidak ada yang benar-benar bisa menjelaskan bagaimana.
Dan dalam percaya itu, kadang tersimpan rasa takut yang diternakkan.
Di studio televisi, acara pagi dibuka dengan tawa palsu.
Pembawa acara memuji produk kecantikan sambil menyebut kata “perempuan tangguh”.
Tapi tak disebut bahwa tangguh itu lahir karena dipaksa bertahan.
Chomsky akan mencatat bahwa media mengaburkan sebab dan akibat dengan gaya hidup.
Seno akan menuliskannya sebagai catatan belanja ibu rumah tangga yang tak sesuai katalog.
Karena katalog adalah dunia imajiner yang tak tahu harga cabai dan biaya les anak.
Dan realitas telah dijepit di antara iklan dan berita selebriti.
Berita yang mengabaikan kenyataan, demi kenyamanan rating.
Karena kebenaran yang menyakitkan lebih cepat diganti daripada dikunyah.
Dan publik yang terlalu kenyang hiburan tak lagi lapar kebenaran.
Seorang mahasiswa menyalakan laptop, menulis makalah tentang demokrasi.
Tapi ia tak yakin bagaimana menjelaskan bahwa memilih hanya terjadi lima menit, sisanya pasrah.
Chomsky akan menyebutnya demokrasi delegatif, bentuk sunyi dari kepasrahan sistematis.
Seno akan menuliskannya dalam monolog dalam kamar kos sempit, antara nasi bungkus dan deadline.
Karena pemilu bukan pesta jika undangan tak pernah sampai ke rasa percaya.
Dan kepercayaan publik kini dikapitalisasi oleh buzzer, bukan dibangun dari diskusi.
Diskusi pun telah digantikan oleh debat cepat dengan timer digital.
Timer yang tak memberi ruang berpikir, hanya ruang menjawab.
Dan jawaban kini lebih penting dari pertanyaan, karena lebih mudah viral.
Viral adalah bentuk validasi baru, meski hanya berlangsung 24 jam.
Aku menulis di buku tua yang tepinya mulai robek.
Buku itu tak punya ISBN, tapi punya kesedihan yang tak dijual.
Kesedihan yang tak dibahas dalam riset, tak masuk jurnal, tapi tumbuh di ruang-ruang tunggu.
Chomsky percaya bahwa bahasa bisa menyelamatkan, tapi juga bisa membunuh pelan-pelan.
Seno tahu bahwa cerita bisa menyembuhkan, tapi hanya jika didengar.
Dan mendengar kini menjadi kemewahan, karena semua ingin bicara.
Semua ingin di-notice, tapi tak ingin menanggung beban dari apa yang di-notice-kan.
Maka kita hidup di dunia yang bising, tapi sepi.
Sepi karena suara tak lagi diarahkan ke hati, hanya ke layar.
Dan layar tak pernah benar-benar mendengarkan, ia hanya memantulkan keinginan.
Seorang anak muda menyeduh kopi sachet di kamar kos sempitnya.
Kopi itu bukan sekadar minuman, tapi semacam ritus harian untuk bertahan.
Ia membaca berita di ponsel yang layarnya retak: harga BBM naik lagi.
Chomsky tidak menulis tentang kopi, tapi ia tahu betul tentang retakan sistem yang terus disangkal.
Seno akan menuliskannya dalam cerpen: “Retak-retak Kecil di Uang Seratus Ribu.”
Karena uang itu selalu habis sebelum bulan habis.
Dan hidup pun tak lagi dibagi per minggu, tapi per tanggal gajian dan perpanjangan paket internet.
Internet menjadi oksigen baru, tapi juga racun yang tak bisa ditolak.
Karena dalam racun itu ada penghiburan, meski palsu, meski singkat.
Dan penghiburan singkat menjadi komoditas yang paling laku di negeri yang sunyi.
Di jalan tol, mobil-mobil melaju tanpa tahu mereka sedang berlari dari apa.
Papan iklan menyala seperti sabda Tuhan yang hanya bicara pada mereka yang bisa beli.
Chomsky akan menyebut jalan tol sebagai metafora modernitas: cepat tapi tak semua bisa naik.
Seno akan menuliskannya sebagai puisi yang dibacakan sopir truk pada lampu rem di depannya.
Karena lampu rem itu adalah satu-satunya tanda bahwa ia tidak sendirian di jalan panjang.
Tapi kebersamaan di jalan raya hanyalah kebersamaan dalam ketergesaan.
Tak ada ruang untuk saling sapa, hanya klakson dan aturan ganjil-genap.
Dan aturan dibuat bukan untuk semua, tapi untuk mereka yang bisa mengubahnya dari dalam.
Karena dari dalam, segalanya bisa dinegosiasikan—termasuk makna hukum.
Dan hukum yang bisa dinegosiasikan hanya berlaku pada mereka yang punya kartu nama.
Di ruangan pendingin udara, rapat membahas “pengentasan kemiskinan”.
Tapi di luar gedung, anak-anak berdiri dengan kardus bertuliskan “butuh makan.”
Chomsky akan mencatat diksi: pengentasan, seolah miskin itu beban yang harus dibuang.
Seno akan menuliskannya sebagai fragmen gambar: sepatu mengkilap menginjak bayangan bocah.
Karena bayangan tak bisa dihapus, hanya bisa dipijak agar tak mengganggu estetika.
Dan estetika kemiskinan sekarang dikemas sebagai konten kemanusiaan.
Orang-orang berdonasi sambil merekam, agar kebaikan bisa viral.
Tapi kebaikan yang butuh penonton terlalu dekat dengan iklan.
Dan iklan tak pernah peduli kenyataan, hanya peduli bagaimana menjual emosi.
Emosi pun jadi barang dagangan, dipak dengan hashtag dan ending sedih.
Aku naik angkot yang tuanya seperti lirik lagu lama.
Supirnya mendengarkan radio berita, tapi matanya tetap pada spion.
Karena lebih penting mengawasi polisi lalu lintas daripada politikus.
Chomsky akan menyebut ini sebagai realisme fungsional: menyelamatkan hari ini dulu.
Seno akan menuliskannya dalam catatan harian supir yang kehilangan hak pilih karena tak sempat antre.
Karena hidup lebih mendesak daripada demokrasi.
Dan demokrasi yang tak menjawab nasi hanyalah tata bahasa kosong.
Tata bahasa yang diajarkan di sekolah tapi tak berguna di konter pulsa.
Karena konter pulsa lebih paham denyut masyarakat daripada debat calon presiden.
Dan denyut itu kini mengalir dalam paket data, bukan dalam manifesto politik.
Langit berubah warna, dari biru ke oranye, dari janji ke ingatan.
Senja menjadi pengingat bahwa waktu tak bisa diajak kompromi.
Chomsky tahu bahwa waktu pun telah dikapitalisasi: siapa cepat, dia menang.
Seno tahu bahwa menang pun kadang tak berarti apa-apa jika harus kehilangan cara menangis.
Karena menang tanpa rasa adalah kekalahan yang dipoles.
Dan dunia terus bekerja, seperti mesin tua yang meski batuk-batuk, tetap dinyalakan tiap pagi.
Mesin yang tak pernah diberi jeda, karena jeda dianggap dosa oleh sistem.
Sistem yang dibangun bukan dari pertanyaan, tapi dari efisiensi.
Dan efisiensi tak kenal puisi, hanya tabel dan grafik.
Padahal dunia yang tanpa puisi hanya menghasilkan manusia yang mahir menghitung tapi gagal mencintai.
Dunia ini terus bekerja, bukan karena dunia ingin, tapi karena ia dipaksa.
Dipaksa oleh tangan-tangan yang tak terlihat, tapi sangat terasa.
Tangan yang mengatur irama dan makna, tapi lupa akan suara-suara yang tersembunyi.
Chomsky mengajarkan kita bahwa dunia ini adalah hasil konstruksi, bukan takdir.
Bahwa kita bisa memilih cara dunia ini bekerja, atau berhenti membiarkannya berputar pada logika yang merampas kemanusiaan.
Seno mengajak kita untuk mendengar bisikan-bisikan di sela kesunyian,
bisikan yang mengingatkan bahwa kerja bukan hanya soal mesin, angka, dan aturan.
Tapi soal rasa, harapan, dan kemerdekaan yang tak bisa dipatenkan oleh siapa pun.
Jika dunia bekerja, semoga ia bekerja untuk membebaskan, bukan mengekang.
Jika dunia bekerja, semoga ia bekerja agar manusia bisa hidup dengan martabat, bukan sebagai alat.
Dan jika dunia bekerja, biarlah ia bekerja juga untuk mimpi-mimpi yang tak pernah habis,
karena mimpi adalah tenaga yang paling kuat, bahkan melebihi mesin-mesin yang menindas.
Di ujung tulisan ini, aku mengundangmu untuk melihat sekeliling,
melihat bukan hanya apa yang tampak, tapi apa yang tersembunyi di balik tirai.
Dunia ini bekerja, ya, tapi ia bisa saja berhenti, dan kita bisa memilih untuk mengubah cara kerjanya.
Karena dunia tidak pernah bekerja untuk dirinya sendiri,
tapi untuk kita semua yang hidup di dalamnya, yang kadang lupa bagaimana caranya bermimpi dan mencinta.
Terima kasih telah mengikuti esai panjang ini.