Muharram, Bulan Mulia yang Terselubung Mitos

Setiap tahun, saat bulan Muharram tiba, khususnya pada malam 1 Suro, kita mendapati suasana yang berbeda di sebagian masyarakat Indonesia, terutama di Jawa. Menurut sebagian masyarakat malam itu penuh berbagai kepercayaan dan larangan. Tidak boleh keluar rumah, tidak boleh menikah, tidak boleh memulai usaha, tidak boleh membangun rumah, dan sebagainya.
Malam 1 Suro disebut-sebut sebagai waktu keramat, penuh risiko sial dan energi gaib. Padahal, di balik semua itu, tersimpan pesan agung dari ajaran Islam yang sering kali terabaikan karena kabut mitos.
Ingat, bulan Muharram, dalam Islam, bukan bulan penuh malapetaka, melainkan bulan yang mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah Ramadan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” (HR. Muslim, no. 1163). Muharram bahkan disebut sebagai syahrullah (bulan Allah), istilah yang jarang digunakan Nabi untuk bulan lain. Artinya, Muharram adalah waktu yang sangat istimewa dalam pandangan Islam.
Pada bulan inilah kita dianjurkan untuk memperbanyak puasa, salah satunya puasa Asyura (10 Muharram), yang menurut hadits Nabi SAW dapat menghapus dosa setahun sebelumnya (HR. Muslim, no. 1162). Sayangnya, nilai-nilai luhur ini justru tenggelam oleh dominasi mitos lokal.
Dalam budaya Jawa, misalnya, 1 Suro lebih dikenal sebagai malam “mistis” yang kerap dikaitkan dengan makhluk halus, ritual-ritual gaib, bahkan aura “kesialan”. Beberapa orang memilih untuk menghindari aktivitas penting di bulan ini, takut usahanya gagal, rumah tangganya bermasalah, atau kesehatannya terganggu. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, semua itu tidak ada sandaran sama sekali dalam ajaran Islam.
Kepercayaan semacam ini disebut tathayyur, yaitu anggapan sial terhadap sesuatu tanpa dasar. Rasulullah SAW dengan tegas bersabda, “Tidak ada tathayyur (anggapan sial), dan aku menyukai fa’l (prasangka baik).” (HR. Bukhari dan Muslim). Islam justru mengajarkan kita untuk optimis, berpikir positif, dan menjauhkan diri dari prasangka buruk yang tidak berdasar.
Mengutip pernyataan Ghoffar Ismail dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, mitos 1 Suro adalah bentuk khurafat, yaitu kepercayaan yang tidak bersumber dari wahyu maupun logika yang sahih. Lebih jauh lagi, jika kepercayaan itu diyakini bisa memberi manfaat atau mudarat, maka ia bisa mengarah pada syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang sama sekali tidak berkuasa atas kehidupan kita. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
“Janganlah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mudarat kepadamu.” (QS. Al-Anbiya: 66).
Maka, sangat penting bagi umat Islam untuk meluruskan pemahaman ini. Namun, meluruskan keyakinan yang sudah mendarah daging dalam tradisi tidak bisa dilakukan dengan cara mencela atau menghakimi. Islam mengajarkan dakwah dengan hikmah dan kasih sayang,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Momentum Muharram seharusnya menginspirasi kita untuk lebih taat, diisi dengan hal-hal yang menyimpan nilai optimis, bukan lebih takut kepada hal-hal gaib yang tidak berdasar. Mari kita ubah cara pandang kita terhadap Muharram. Gantilah rasa takut dengan semangat ibadah. Gantilah larangan membangun rumah atau menikah dengan motivasi untuk memulai kebaikan. Gunakan bulan ini untuk berpuasa, bersedekah, membaca Al-Qur’an, dan mempererat hubungan sosial. Maka dengan demikian, kita dapat meninggalkan mitos dan menguatkan iman, serta menyambut Muharram dengan keyakinan yang lurus.
Penulis: Taufiq H
(Mahasiswa aktif Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan aqidah dan filsafat Islam)