Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme yang kuat sebagai fondasi berdirinya negara ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat. Lebih dari 1.300 suku bangsa, ratusan bahasa daerah, dan enam agama yang diakui secara resmi.

Dalam kondisi tersebut, merawat harmoni sosial bukan perkara mudah. Terlebih, ketika isu agama yang bersifat sangat personal dan sensitif muncul di ruang publik, khususnya di era digital yang sangat terbuka.

Di tengah derasnya arus informasi dan komunikasi yang melintas tanpa sekat ruang dan waktu, tantangan keberagamaan menjadi semakin kompleks. Dulu, perdebatan antaragama terjadi dalam lingkup terbatas, seperti diskusi keagamaan atau forum akademik. Kini, cukup dengan satu unggahan di media sosial, konflik dapat meluas dan menyulut emosi massa lintas wilayah.

Ironisnya, media sosial yang seharusnya menjadi sarana edukasi dan pertukaran gagasan damai, justru kerap dijadikan alat penyebaran ujaran kebencian, provokasi sektarian, hingga penistaan agama. Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat digital Indonesia masih menghadapi krisis literasi digital, khususnya dalam konteks keberagamaan.

Banyak yang belum memahami bahwa media sosial bukanlah ruang privat. Apa yang diposting bersifat publik, terbaca dan berdampak luas. Bahkan, sekadar membagikan informasi keagamaan tanpa verifikasi dapat memicu kesalahpahaman atau konflik horizontal.

Dalam konteks inilah, moderasi beragama hadir sebagai sebuah kebutuhan mendesak. Moderasi bukan upaya untuk menyeragamkan keyakinan atau melemahkan iman seseorang, melainkan menekankan pentingnya sikap seimbang, adil, dan toleran dalam beragama.

Seorang yang moderat tetap kokoh dalam keyakinannya, namun tidak merasa superior atau memaksa orang lain untuk berpikir dan meyakini hal yang sama. Ia menghargai perbedaan sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan.

Islam sendiri sejatinya mengajarkan prinsip moderasi sejak awal. Konsep ummatan wasathan dalam Al-Qur’an menegaskan posisi umat Islam sebagai komunitas pertengahan, yang menjauhi ekstremisme dan kekerasan dalam beragama.

Nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, tolong-menolong (ta’awun), dan amanah dalam kehidupan sosial adalah dasar yang kokoh untuk membangun masyarakat yang harmonis. Namun, tantangan hari ini bukan sekadar membumikan ajaran moderat di dunia nyata, tetapi juga menjadikannya relevan di dunia maya.

Postingan Serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *